Rabu, 10 Januari 2018

CAHAYA KECIL BERHARGA

By Airi Rizka


Apa kamu tahu, benda apa yang mengusir kegelapan? Jawabannya adalah cahaya. Ada berbagai macam cara cahaya bisa muncul. Mulai dari lampu, bintang, api, serangga, bahkan manusia. Jika kamu melihatnya dengan teliti, kamu pasti bisa melihatnya dan merasakan betapa hangatnya mereka.

*****

Dengungan suara pesawat TNI yang terbang menembus langit berhasil menarik perhatianku. Hari ini, kebetulan sekolah di kota tempat aku tinggal memulangkan muridnya lebih cepat dari biasanya. Aku lupa, ada acara apa. Karena bukan hal penting, jadi aku tidak terlalu memerhatikan apa yang tadi guruku katakan di kelas.

Kudongakkan kepalaku ke arah pesawat tersebut. Karena sinar matahari terlalu menyilaukan, kubuat telapak kananku seperti atap sehingga membentuk bayangan yang menghalangi silaunya sinar matahari. Dengan cara itulah aku bisa melihat pesawat yang terbang sendirian melewati birunya langit. Tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan di pikiranku. Apa pesawat itu tidak merasa kesepian? Terbang seorang diri, menembus langit biru yang sangat luas. Seandainya terjadi sesuatu kepadanya, apakah ada yang akan menolongnya?
Bayangan diriku yang sendirian mulai bermunculan. Benar sekali. Aku memang tidak punya teman. Aku termasuk orang yang tidak mudah berteman dengan lainnya. Bahkan untuk mengobrol dengan orang yang tidak kukenal, aku merasa kebingungan, gugup yang berlebihan dan akhirnya memilih diam sampai ada yang mengajak berbicara. Kebanyakan mereka mendekatiku karena nilaiku yang termasuk bagus. Mereka selalu mendekatiku dan berakrab ria denganku saat ada tugas atau ulangan. Namun, ketika saat-saat sedih atau bahagia melanda mereka, mereka akan meninggalkanku begitu saja. Bertingkah seolah-olah tidak mengenalku.
Bukannya aku menyalahkan mereka. Aku paham kekurangan dan kelemahanku. Hanya saja aku merasa iri dengan mereka yang bisa dengan leluasa berteman dengan lainnya. Tertawa bersama, menangis bersama, mengobrol dengan topik yang sangat mereka suka tanpa melihat waktu. Saat melihat mereka yang melakukan hal tersebut aku selalu berpikir, ah, enaknya atau aku juga ingin melakukannya dalam diam.
Walau aku mengetahui kekurangan dan kelemahanku, bukan berarti aku bisa memperbaikinya. Aku bahkan tidak tahu harus melakukan apa untuk memperbaikinya. Saat kelas lima SD, aku pernah meniru, membaca semua buku tentang cara mengajak berbicara orang lain, dan sebagainya. Semuanya tidak berhasil membuatku lebih lancar berbicara dengan orang lain. Yang ada, aku semakin merasa jarak antara diriku dengan orang yang kuajak bicara semakin menjauh. Saat aku mempraktekan apa yang tertulis dibuku itu, aku merasa seperti mulutku bergerak sendiri, mengeluarkan kata-kata yang tidak kupahami. Aku berusaha melihat ekspresi lawan bicaraku untuk mengambil hati mereka. Sayangnya ekspresi yang mereka perlihatkan padaku menjawab sebaliknya. Ah, aku sudah gagal, itulah yang kukatakan dalam hati. Tentu saja aku melakukannya tidak hanya sekali, melainkan berulang kali hingga aku muak bicara dengan manusia kecuali dengan ibu tiriku dan satu-satunya teman kecilku bernama Luki. Dua cahaya yang bagiku sangat berharga. Merekalah yang selalu menerangi jalanku dan membuatku merasa hangat.
Setelah membaca dan mempraktekan semua buku tersebut, anehnya, aku mendapati diriku lebih mudah memahami maksud lawan bicaraku dari tatapan mereka, gerak-gerik kecil mereka, gaya bicara mereka dan sebagainya. Aku langsung tahu apakah lawan bicaraku memiliki niat jelek, tersembunyi atau memang tulus. Bukan kemampuan bicaraku dengan manusia yang semakin meningkat, sebaliknya kemampuan membaca maksud lawan bicara lah yang meningkat.
Aku pernah sekali, tidak sengaja mengatakan kepada ibu tiriku tentang orang yang berbicara dengannya. Ibu tiriku merasa takjub saat mendengarnya.
“Hebat sekali! Dari mana kamu bisa tahu kalau dia hanya akan memanfaatkan ibu?” tanya ibu tiriku dengan raut wajah dan nada bangga yang sama sekali tidak disembunyikan.
Jujur saja, dipuji seperti itu, aku merasa senang. Walau ibu tiriku selalu memujiku, tetap saja, pujian kecil seperti itu, berhasil membuatku senang. Sayangnya, karena aku tidak pintar menunjukkan apa yang kurasakan, aku pun hanya memasang wajah datar seraya berkata dengan nada merendah diri, “Itu sama sekali bukan hal yang patut dibanggakan. Jika diamati dari gerak-geriknya, terlihat jelas kalau orang itu puya niat tersebunyi.”
“Walau begitu, ibu tidak bisa melakukannya loh,” balas Ibu tiriku. “Dan tidak semua bisa melakukan seperti yang Nino lakukan barusan,” lanjutnya seraya mengelus-elus kepalaku.
Aku hanya diam, saat ibu tiriku mengelus-elus kepalaku. Tidak menepis tangannya atau tersenyum senang. Hanya diam seraya menatap wajah ibu tiriku yang tersenyum bahagia.
Apakah ada yang mengatakan padaku kalau aku ini tidak punya hati? Banyak. Tetanggaku, guruku, bahkan ibu yang melahirkanku pernah mengatakan padaku kalau aku ini tidak punya hati, karena tidak ada ekspresi sama sekali yang kutunjukan kepada mereka. Ayah kandungku saja menerimaku karena terpaksa. Karena aku adalah anaknya. Karena tidak ada yang mau menerimaku, walau orang itu sendiri lah yang melahirkanku. Seandainya ayahku memiliki pilihan selain membawa dan merawatku, dia pasti sudah melakukannya.
Bagaimana aku mengetahuinya? Apakah aku cuma asal menebaknya? Jika aku memang cuma asal menebak, aku tidak mungkin mendengarnya dengan jelas saat ayah mengatakannya padaku. Tidak. Dia terus mengulangi perkataannya kepadaku saat dia marah bahkan ketika ibu tiriku memelukku dan berharap supaya aku tidak mendengar kalimat-kalimat yang ayah lontarkan. Aku tidak perlu diam-diam mendengarnya karena kata-kata itu terus terdengar jelas seperti pisau yang menembus kulit. Bahkan pukulan ayah tidak sesakit kata-kata yang dikeluarkannya. Setelah itu, ayah pasti meninggalkan rumah untuk mendinginkan kepalanya, sementara ibu tiriku akan memelukku dan mengatakan kalau semua yang dikatakan ayahku adalah bohong.
Mungkin kalian penasaran dengan ibu kandungku. Untuk menghapus rasa penasaran kalian, akan kujelaskan. Ibu kandungku meninggal saat aku masih duduk di kelas 1 SD. Aku tidak ingat meninggalnya karena apa. Aku bahkan tidak ingat seperti apa rupa ibuku. Yang kuingat tentang ibuku hanyalah bayangan gelap yang terus menghinaku dan menyiksaku. Sampai sekarang, aku bahkan masih ingat apa yang sering dikatakannya.
Aku membencimu! Kenapa kamu tidak mati saja? Seandainya kamu tidak ada, aku pasti bisa hidup bahagia. Enyah kau! Pergi dari kehidupanku! Mati sana! Dan kata-kata penuh kebencian lainnya.
Saat beliau mengatakannya, aku memang masih kecil. Bahkan beliau mengatakannya saat aku masih belum bisa bicara. Orang-orang dewasa selalu mengira, kami para anak kecil tidak paham dengan apa yang mereka katakan, padahal kami, walau masih kecil, walau masih belum bisa bicara, kami sudah paham dengan maksud yang dikatakan oleh mereka. Kata-kata baik, kata-kata melindungi, kata-kata pujian, kata-kata penuh sayang, kata-kata benci, kata-kata yang menyakiti, kami sudah memahaminya bahkan sebelum kami bisa mengucapkan sepatah kata dengan benar. Kami memang masih kecil. Ukuran kami bahkan tidak ada setengah dari ukuran manusia dewasa, namun kami sudah paham dengan apa yang kalian para manusia dewasa katakan. Namanya juga manusia, tempatnya lupa. Mereka sering lupa kalau dulu mereka juga pernah kecil dan akhirnya mereka jadi sombong saat ukuran mereka lebih besar dari yang lainnya.
Sebetulnya, aku juga pernah ditinggal ibu kandungku saat aku masih balita. Aku tidak terlalu ingat saat itu umurku berapa tahun. Aku bahkan tidak ingat bagaimana caraku bisa berhasil pulang dalam keadaan selamat. Yang masih segar dalam ingatanku hanyalah teriakannya yang penuh amarah kepadaku, “Kenapa kamu kembali? Padahal aku meninggalkanmu, supaya kamu menghilang dari kehidupanku selamanya!”
Apa aku tidak sedih? Apa aku tidak menangis? Sebelum masuk TK, aku selalu menangis setiap ibu mengatakan kalimat penuh kebencian itu kepadaku. Semakin lama, aku pun belajar untuk tidak mempedulikan perkataan di sekitarku. Semua orang yang tahu kelakuan ibuku, memilih untuk pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak mendengar ataupun pura-pura tidak mengetahui apa yang dilakukannya. Mereka hanya diam membiarkanku, tanpa mencoba mengulurkan tangannya kepadaku. Walau sekeras apapun aku meminta tolong, sepanjang apapun tanganku terjulur untuk memohon, tidak ada yang mau menerimanya.  
Semua hinaan dan siksaan dari ibu kandungku berhenti saat beliau meninggal. Aku hanya melihat tubuh kaku beliau tanpa sebersit pun rasa sedih yang melintas. Apa ibu tidak akan bangun lagi? batinku. Setetes rasa lega tiba-tiba muncul. Air mataku jatuh begitu saja tanpa kusadari. Yang melihatku pasti mengira aku menangis sedih karena ditinggal ibuku. Padahal yang kurasakan adalah sebaliknya. Aku merasa lega ibuku meninggal dunia. Dengan begitu, semua siksaan dan hinaan akan menghilang.
Beberapa menit kemudian, aku harus menelan kenyataan pahit. Siksaan dan hinaan memang sudah tidak lagi kurasakan, tapi perasaan kebencian dan tidak diinginkan masih menamparku dengan sangat keras. Aku harus tinggal dengan ayahku yang tidak menginginkan keberadaanku. Ayahku memang tidak pernah memukulku atau menyiksaku. Tapi sorot matanya yang penuh kebencian saat menatapku sudah cukup membuat tubuhku kesakitan.
Beberapa bulan kemudian, ayah menikah dengan perempuan muda bernama Rika. Bayangan siksaan dan hinaan yang kuterima dari ibu kandungku terus berputar di kepalaku. Aku akan disiksa dan dihina lagi, batinku pasrah. Ternyata semuanya berbeda. Ibu tiriku tidak pernah menyiksa, memukul, menghina bahkan meninggalkanku di suatu tempat seperti yang ibu kandungku lakukan. Dia mengajariku, memanggil namaku, memelukku, menemaniku dan sebagainya. Dia tidak pernah menyakitiku. Bahkan saat dia sedang marah, dia tidak pernah memukulku. Dia hanya memarahiku. Kemudian dia akan menjelaskan alasan dia marah. Duniaku yang semula gelap tiba-tiba menjadi terang. Sebuah cahaya kecil yang sangat hangat muncul. Cahaya kecil yang sangat berharga bagiku. Dan saat itulah, aku tidak pernah menganggapnya sebagai ibu tiriku. Karena itulah, aku akan menulis ibu tiriku di sini sebagai ibuku.
“Kamu sedang melihat apa, No?” tanya Luki, berhasil mengusir bayangan diriku yang dulu. Luki mengikuti apa yang kulakukan. Ekspresinya langsung berubah antara kaget dan senang.
“Woah, ada pesawat!” serunya keras-keras seperti anak kecil padahal kami berdua sudah SMA bahka sudah kelas tiga. Luki mulai melambaikan ke dua tangannya seraya berteriak, “Oi! Oi!”
Setelah pesawat itu tidak terlihat lagi, Luki mengalihkan pandangannya kepadaku, lalu bertanya, “Menurutmu mereka tadi dengar tidak ya?”
“Tidak,” jawabaku cepat dan datar.
“Pastinya ya…” balas Luki dengan nada kecewa, namun rona bahagia masih terlihat jelas di wajahnya.
Luki adalah teman kecilku sejak SD. Sebetulnya kami berteman pun, itu karena sebuah kebetulan. Kebetulan aku duduk sendirian. Kebetulan Luki diberi hukuman. Kami menjadi teman karena kebetulan. Awalnya, dia duduk di sebelahku sebagai hukuman karena berhasil memecahkan vas bunga di meja guru, walau dia tidak sengaja melakukannya. Kebetulan aku duduk di baris depan dan sendirian. Alhasil sebagai hukumannya, Luki pun disuruh duduk di sebelahku. Tujuannya supaya dia dapat diawasi. Aku? Aku tidak keberatan. Lebih tepatnya, aku tidak peduli siapa yang duduk di sebelahku.
Awalnya, kami tidak pernah saling mengobrol satu sama lain. Entah bagaimana caranya, kami berdua mulai sering mengobrol dan menghabiskan waktu bersama. Mungkin karena kami duduk bersebelahan, jadi mau tidak mau, ada komunikasi yang terjalin diantara kami berdua. Luki selalu menertawaiku saat jam pelajaran olahraga berlangsung. Sebaliknya, dia selalu menangis minta tolong kepadaku saat jam pelajaran lainnya.
Luki termasuk anak yang tidak bisa diam. Selain tidak bisa diam, dia juga berisik. Rambut hitamnya yang sangat pendek selalu berdiri ke atas tanpa memakai gel rambut atau semacamnya. Luki selalu bilang kalau ibunya itu selalu jengkel dengan rambutnya yang tidak bisa diatur, walau rambutnya itu lurus. Alhasil rambutnya selalu dipotong hampir gundul saat TK. Julukannya saja saat TK adalah tuyul. Karena sering dipanggil tuyul, Luki pun menolak rambutnya dipotong saat dia duduk di kelas 1 SD. Luki memiliki tinggi yang sama seperti diriku. Kulitnya berawarna coklat tua karena sering berpanasan ria. Di hidungnya, ada plester coklat yang setia menempel di sana. Alasannya sih karena keren, bukan karena hidungnya terluka.
Suatu hari, bu Ani, guru IPA yang mengajar di kelasku, memberikan tugas kelompok yang berisikan dua orang. Saat itu, aku sudah berpikir kalau aku akan diikutkan kelompok lain yang mau tidak mau, kelompoknya akan berisi tiga orang atau aku akan mengerjakannya sendiri. Hal itu, bukan hal yang biasa lagi buatku. Yang mengagetkanku justru apa yang dikatakan Luki ke Anto, teman sepermainannya.
“Aku sudah sama Nino,” jawab Luki.
Lagi-lagi aku merasa ada cahaya kecil hangat yang muncul.
“Oh, oke deh,” balas Anto dan langsung sibuk mengajak yang lainnya.
Baru saat itulah, ada yang menolak ajakan temannya supaya bisa satu kelompok denganku.
“Hm? Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Luki yang bingung saat aku menatapnya dengan wajah tidak percaya.
“Ah, bukan apa-apa,” jawabku seraya menundukkan kepalaku ke buku IPA yang sedang terbuka.
“Luk,” panggilku.
“Hm?” jawabnya.
“Apa tidak apa-apa kamu tidak satu kelompok sama Anto?” tanyaku dengan nada canggung.
“Tentu saja tidak apa-apa. Memang kenapa?” balas Luki sambil balik tanya.
“Takutnya kamu nanti dijauhi sama Anto dan lainnya,” jawabku, kemudian menelan ludah.
“Tenang saja. Mereka biasa saja kok. Lagipula tidak kaget kan satu kelompok sama teman satu meja,” jawab Luki sambil nyengir.
Aku merasa lega sendiri mendengarnya. Semenjak itulah, Luki sering mengajakku bermain bersama dengannya, mengerjakan tugas bersama dengannya, belajar bersama dengannya, mengobrol dengannya. Itulah pertama kalinya aku memiliki teman sepermainan sejak kecil. Akan kujaga dua cahaya kecil ini. Cahaya kecil yang berharga. Itulah keinginanku.

*****

Tahun ke enam kami berdua di SD berakhir tanpa kami ketahui. Masa-masa ujian akhir dan ujian masuk SMP datang. Kebetulan kami berdua mengincar sekolah yang sama, SMP W, SMP yang terkenal dengan fasilitas penunjang pendidikan yang sangat lengkap. Saat kami saling mengetahui tujuan sekolah kami yang ternyata sama, kami pun membuat rencana apa saja yang akan dilakukan saat kami diterima di SMP tersebut. Kami berdua belajar bersama setiap hari. Berjuang bersama di hari ujian masuk. Sampai akhirnya, hari hasil pengumuman di tempel di papan pengumuman datang.
Sambil berdesak-desakan dengan anak seumuranku dan orang dewasa, aku berusaha mencari nomor ujianku dan ada. Nomorku tercantum di papan pengumuman tersebut. Aku masih ingat, saat perasaan bahagia memeluk diriku di tengah keramaian dan tangis anak-anak yang gagal masuk di sekolah tersebut. Aku segera mencari nomor ujian milik Luki. Aku yakin dia juga pasti berhasil masuk.
Sayangnya, setelah beberapa menit dan berulang kali aku mencari nomornya, aku tidak berhasil menemukannya. Aku ke luar dari balik kerumunan untuk mencari Luki berada. Ternyata dia berdiri di belakangku. Dia melihatku dengan wajah tersenyum.
“Selamat ya, Nino,” katanya.
Aku mengangguk. “Nomormu—”
“Aku gagal,” potong Luki sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.
“Aku sudah menduganya, tapi tetap saja rasanya kesal,” kata Luki seraya tersenyum. Air matanya menetes satu demi satu. Aku ingin menghapus air mata itu, namun pada akhirnya aku hanya menatapnya tanpa bisa menggerakkan tubuhku sama sekali.
“Maaf ya. Padahal kamu sudah terus mengajariku,” kata Luki dengan senyum masih menghiasi wajahnya dan air mata yang mengalir semakin deras. “Maaf ya... hiks… sudah membuat… hiks… semua rencana kita… hiks… terbuang sia-sia,” lanjut Luki sambil terisak dengan lengan kanannya yang sibuk menghapus air matanya.
Jujur saja aku merasa kecewa mendapati Luki tidak dapat satu sekolah denganku. Entah kenapa aku tidak berani menunjukkan rasa kecewaku itu. Melihatnya menangis sambil minta maaf sudah membuatku bingung harus berbuat apa. Sampai kami pulang pun, aku hanya diam tidak melakukan apa-apa. Tidak memeluknya, menghiburnya ataupun menenangkannya.
Itulah terakhir kalinya aku melihat Luki saat aku duduk di bangku SMP. Aku dengar dari ibuku, dia berhasil masuk SMP C. Luki memang pernah cerita kalau dia sudah diterima di SMP C, tapi tetap saja dia ingin masuk SMP W. Karena itulah, dia berusaha keras agar diterima di SMP tersebut. Sayangnya, kenyataan yang datang bagaikan tamparan yang berhasil menghancurkan impian dan rencana kami berdua.
Cahaya kecil berhargaku hilang satu. Apakah aku merasa sedih? Tentu saja. Aku sangat sedih, walau kesedihan yang kurasakan itu tidak terlihat di wajahku.
Di SMP W, aku menjalani kehidupan anak SMP sama seperti yang kualami saat aku menginjak bangku di SD sebelum aku berteman dengan Luki. Sendirian. Walau aku kenal beberapa anak seumuranku, bukan berarti aku dekat dengan mereka seperti yang kulakukan dengan Luki. Jujur saja aku merindukannya. Tapi bayangan wajahnya yang sedih karena gagal di ujian masuk, terus menghantuiku. Walau aku tahu itu bukan salahku, entah kenapa perasaan bersalah tetap menghantuiku. Mungkin jika aku menghiburnya saat itu, hubunganku dengan dia masih seperti dulu dan berbagai kemungkinan lainnya mulai bermunculan dipikiranku. Perasaan menyesal pun datang dan semakin membuat keinginanku untuk menemui Luki hilang.  
Luki pun juga tidak pernah menghubungiku. Kalau dulu, dia pasti akan main ke rumahku atau meneleponku. Mungkin dia merasa tidak enak karena sudah menghancurkan rencana yang kami buat. Entahlah. Aku juga tidak pernah menemuinya untuk menanyakannya.

*****

Di tahun ke tigaku saat masih semester satu di SMP, aku tidak sengaja bertemu dengan Luki di tempat fotokopi.
“Hai, Nino. Mau fotokopi juga ya?” tanya Luki basa-basi. Aku mengangguk.
“Ah iya, bagaimana kabarmu, No?” tanya Luki lagi.
“Baik,” jawabku datar.
“Kabar ibumu gimana? Sehat?” tanya Luki lagi.
Aku mengangguk. “Ibu sehat,” jawabku singkat dan datar.
Hening. Sepertinya Luki kehabisan bahan pembicaraan, sementara aku sendiri tidak tahu harus mengatakan apa. Dari gerak-gerik Luki, aku tahu kalau dia tidak ingin bertemu denganku.
Beberapa menit, kami habiskan dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Apa kamu berhasil punya teman di sana?” tanya Luki, memecah keheningan.
Aku diam sebentar. “Aku tidak tahu apakah bisa disebut teman atau tidak. Tapi aku berhasil mengobrol dengan beberapa orang di sana. Walau tidak sebanyak dan sedekat dirimu,” jawabku kemudian, masih dengan nada datar.
“Begitu ya…” jawab Luki lirih.
“Kalau kamu sendiri? Pasti kamu punya banyak teman di sana,” kataku, akhirnya berhasil mengatakan apa yang ada di pikiranku.
“Dari awal, SMP C memang bukan sekolah unggulan sih. Orang sepertimu langka di sana. Dan tentu saja aku berhasil punya banyak teman di sana,” jawab Luki sambil nyengir kuda. Melihat cengirannya, mau tidak mau aku ikut tersenyum.
Pemilik fotokopi akhirnya selesai memfotokopi lembaran milik Luki. “Sepuluh ribu,” kata orang tersebut.
Luki mengeluarkan satu lembar uang sepuluh ribu, lalu orang itu menyerahkan fotokopian Luki yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik.
“Fotokopi berapa?” tanya orang tersebut.
“Satu saja,” jawabku datar.
Pemilik fotokopi itu mengangguk kemudian sibuk memfotokopi lembaran yang kuserahkan kepadanya.
“Aku duluan ya, No. Kapan-kapan main bareng lagi yuk,” kata Luki.
Aku mengangguk. Setelah itu, kami berdua berpisah. Tapi perpisahan itu, tidak diselimuti dengan kesedihan dan penyesalan seperti sebelumnya.

*****

“SMA E!?” seru Luki. “Aku dengar ujian masuknya susah sekali di sana,” lanjutnya kemudian sibuk mengisap jus alpukat lewat sedotan.
Aku mengangguk. “Aku tahu itu.”
“Yah, aku tidak kaget sih. Kamu kan memang suka masuk ke sekolah unggulan,” kata Luki.
“Kudengar hanya sedikit lulusan dari sekolahku yang berhasil masuk ke sana,” balasku.
Luki mengangguk. “Aku juga pernah mendengarnya.” Luki memajukan badannya, memasang wajah serius kemudian berkata, “Selain itu, karena ujian masuknya yang sangat susah, banyak anak-anak dari sekolah sini yang tidak PD mendaftar ujian masuknya. Karena itulah, sekolah itu dipenuhi anak-anak dari kota tetangga.”
“Kamu tidak mau mencoba mendaftar ke sana?” tanyaku ke Luki. Bayangan Luki yang gagal di ujian masuk dulu muncul. Aku baru menyadari kalau kata-kataku barusan sudah membuka luka lama.  
“Boleh juga,” jawab Luki dengan nada santai. Aku terkejut mendengarnya. Kukira dia akan memasang wajah sedih atau kecewa, tapi ternyata pemikiranku salah.
“Jika aku diterima di SMA E, semua orang pasti akan kaget. Anak SMP C berhasil diterima masuk di SMA E padahal anak SMP W saja hanya sedikit yang berhasil diterima di sana,” kata Luki seraya menutup ke dua matanya sambil mengangguk. “Baiklah. Aku akan mencobanya!” seru Luki kemudian.
“Apa kamu yakin?” tanyaku memastikan.
Luki mengangguk. “Tentu saja.” Luki menatap ke dua mataku dengan wajah senang sambil berkata, “Selain itu, pasti menyenangkan bisa satu sekolah denganmu lagi.”
Mendengar perkataan tersebut, entah kenapa aku merasa bahagia.
Luki baru teringat sesuatu, lalu berkata, “Ah, tapi aku harus kerja sangat keras. Maukah kamu membantuku, No?”
Aku mengangguk.
“Oke. Sudah diputuskan. Kita berdua akan berusaha masuk ke SMA E! Yeah!” seru Luki dengan semangat tinggi.
Dan hari di mana kami berdua belajar bersama dimulai lagi. Kami memulai kegiatan belajar bersama, lima bulan sebelum ujian akhir dan ujian masuk SMA E di mulai. Lebih lama dari yang kami lakukan saat masih duduk dibangku SD dulu. Kami bergantian memilih tempat belajar bersamanya. Minggu pertama kami belajar di rumahnya Luki, minggu berikutnya kami belajar di rumahku. Awalnya, ke dua ibu kami kaget, saat melihat kami belajar bersama lagi. Meski begitu, tidak perlu meunggu lama, ke dua ibu kami sudah terbiasa dengan rutinitas kami. Mereka bahkan memberi kami ruang dan waktu supaya kami bisa belajar dengan tenang.
Ujian akhir sekolah berjalan mulus tanpa hambatan. Kemudian hari ujian masuk SMA E pun dimulai. Kebetulan aku satu kelas dengan Luki saat ujian berlangsung. Aku duduk tepat dua kursi di belakang Luki, di baris sebelah kanannya. Karena itulah, aku dapat melihatnya namun tidak bisa melihat ekspresi seperti apa yang muncul di wajah Luki saat ujian sedang berlangsung. Dalam hati, aku berdoa semoga Luki dan aku dapat satu sekolah bahkan sekelas lagi. Aku tidak ingin cahaya kecil tersebut hilang untuk ke dua kalinya.
Satu bulan berlalu dengan cepatnya. Hari pengumuman hasil ujian masuk SMA E, mulai dipasang di papan pengumuman masing-masing sekolah. Di papan pengumuman SMA E yang terletak tidak jauh dari gerbang depannya, tampak segerombolan manusia mulai dari yang seumuranku sampai orang dewasa, rela berdesak-desakkan untuk melihat apakah anaknya, kenalannya, atau dirinya berhasil masuk di sekolah tersebut. Tentu saja, aku dan Luki termasuk dalam gerombolan manusia tersebut. Ke dua mataku mulai sibuk mencari nomor ujianku dan ada. Nomor ujianku tertulis di papan pengumuman tersebut. Sebelum rasa bahagia sempat menyelimuti, aku langsung mencari nomor ujian milik Luki.
“Tidak ada…” gumamku. Seakan tidak mau menghadapi kenyataan yang ada, aku mencari nomor ujian Luki sekali lagi. Tidak ada. Aku terus menerus mengulangi pencarian nomor ujian Luki, walau dalam hati kecilku aku sudah tahu nomor ujian Luki tidak tertulis di papan tersebut.
Aku merasakan ada seseorang yang menepuk bahuku, kemudian berbisik, “Sudah cukup, Nino. Terima kasih.”
Mendengar kalimat tersebut dari seseorang yang sudah lama kukenal membuatku terpaksa menelan pahit rasa kecewa itu.

*****

“Tadi itu banyak sekali orangnya. Aku sampai takut terinjak-injak tadi. Padahal hasil pengumumannya juga akan dikirim ke rumah dan sekolah,” kata Luki dalam perjalanan pulang ke rumah.
“Tapi, kebanyakan orang merasa sangat penasaran, apakah berhasil masuk atau tidak di ujian masuk SMA E. Mana ujian masuknya kemarin susah sekali,” tambahnya.
Luki menghela napasnya, kemudian berkata, “Jika ada yang bisa masuk, berarti ada juga yang gagal. Bukan hal yang mengagetkan, sih. Karena itulah, hapuslah air matamu kawan.”  
Benar. Sepanjang perjalanan pulang, air mataku terus mengalir tanpa bisa kuhentikan. Bingung, akhirnya aku terus berjalan dengan kepala tertunduk. Mungkin aku terlalu kecewa dengan kenyataan yang ada di hadapanku.
“Err… jujur saja. Aku tidak tahu cara menghentikan supaya orang tidak menangis lagi. Entah itu laki-laki atau perempuan…” kata Luki dengan nada lirih. “Tetapi…” Luki menarik napas panjang, lalu berkata, “Terima kasih, kawan. Sudah menangis demi diriku.” Kemudian dia menepuk punggungku.
Saat itu, aku sendiri sebetulnya tidak paham, kenapa air mataku tidak mau berhenti menetes. Semakin aku ingin berhenti, semakin deras air mata ini mengalir. Namun, setelah mendengar kata terima kasih dari Luki, tiba-tiba ada perasaan yang menguap begitu saja. Aku tidak tahu perasaan apa itu. Kecewa? Atau sedih? Memang air mataku tidak bisa langsung berhenti seketika, setidaknya jatuhnya sudah tidak sederas sebelumnya.
“Oh iya, aku hampir saja lupa memberitahumu,” kata Luki seperti baru saja teringat sesuatu. “Aku berhasil diterima di SMA A.”
“SMA A?” tanyaku dengan nada lirih seraya menoleh ke arah Luki. Tentu saja dengan air mata yang masih menetes.
“Betul sekali!” jawab Luki sambil menyerigai.
“Jujur saja, aku sangat kaget. Aku tidak menduga kalau ternyata aku bisa berhasil masuk SMA A. Padahal itu SMA tersulit nomor dua setelah SMA E,” lanjutnya dengan senyum menghiasi wajahnya. “Oh iya, aku dengar banyak anak-anak dari sekolahmu yang memilih sekolah di sana loh. Huwaaa, harus terus semangat belajarnya nih kalau tidak mau ketinggalan.”
Akhirnya air mataku sudah berhenti menetes. Kuhentikan langkahku. Luki yang melihatku berhenti, ikut berhenti.
“Ada apa?” tanya Luki seraya membalikkan tubuhnya ke arahku. Setelah itu, dia berjalan mendekatiku.
“Apa kamu tidak kecewa?” tanyaku lirih ketika jarak kami hanya tinggal beberapa senti.
Luki berpikir sebentar. “Jika ditanya apa aku tidak kecewa, tentu saja aku kecewa. Tidak bisa satu sekolah denganmu lagi. Tidak bisa sekelas denganmu lagi. Tentu saja aku sangat kecewa,” jawab Luki kemudian.
Pastinya, ya. Dia pasti yang paling kecewa. Dia pasti yang paling sedih. Semua usaha kerasnya selama ini terbuang sia-sia, batinku dengan ke dua tangan mengepal erat.
“Tetapi, tidak satu sekolah bukan berarti kita tidak dapat berteman seperti dulu kan?” Kalimat yang Luki lontarkan membuatku terkejut.
Luki menundukkan kepalanya seraya berkata, “Sebetulnya aku selalu berpikir, apa yang harus kulakukan jika aku gagal. Apakah aku akan merasakan hal yang sama seperti dulu lagi saat itu terjadi. Pikiran itu terus saja muncul. Dan aku tidak mau itu terjadi.”
Dengan gerakan perlahan, Luki mendongakkan kepalanya ke arahku. Dia tatap mataku lekat-lekat. “Jujur saja. Aku tidak ingin kita putus hubungan seperti di awal SMP dulu. Aku ingin kita menghabiskan waktu berdua. Bermain bersama, jalan-jalan, tertawa bersama, sama seperti saat kita SD dulu walau kita beda sekolah.” Luki diam sebentar. Lalu dia menambahkan dengan kalimat, “Itu jika kamu tidak keberatan,” sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Aku maju ke arah Luki berdiri, lalu menepuk punggungnya seraya berkata. “Jawabannya tentu saja, aku tidak keberatan.”
“Pffft. Hahaha.” Luki tertawa mendengar jawabanku. “Apaan itu?! Keren sekali gayamu! Dari mana kamu belajar gaya seperti itu, ha?”
Aku ikut tersenyum mendengarnya. Aku lega, cahaya kecilku tidak menghilang lagi untuk ke dua kalinya.

*****

Jika ada yang mengatakan SMA adalah masa terindah, aku sedikit tidak setuju. Bagiku, tiga tahun yang kuhabiskan di SMA tidak jelek dan juga tidak bagus. Biasa saja. Hubunganku dengan Luki memang masih sama seperti saat kami masih di bangku SD, yang berbeda hanyalah sekolah kami saja. Luki masih sering main ke rumahku, begitu juga sebaliknya. Kami sering belajar bersama dan meluangkan waktu bersama.
Kesannya seperti temanku hanya Luki seorang. Walau tidak salah sebetulnya. Temanku memang hanya Luki seorang. Aku sempat kenal dengan beberapa orang tapi tidak sampai dekat. Tidak sedekat Luki, lebih tepatnya. Karena itulah, tiga tahun di SMA bagiku berjalan terasa sangat cepat. Tanpa terasa, aku sudah menjadi siswa kelas tiga. Benar. Aku dan Luki sekarang sudah menjadi murid SMA yang paling atas. Yang artinya, kami berdua akan menghadapi ujian kelulusan.
Karena kami berdua pulang lebih cepat dari biasanya, kami pun memutuskan untuk belajar bersama di rumah Luki.
“Lagi-lagi ujian,” gerutu Luki sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Sudah kelas tiga. Jadi tidak kaget,” balasku datar.
“Aku benci ujian,” gerutu Luki. Kemudian dia tiduran di lantai dengan ke dua lengannya yang ditekuk menutupi ke dua matanya, sementara aku menikmati es sirup yang dibuatkan ibu Luki sebelum beliau pergi karena ada acara yang harus dihadiri.
“Mau gimana lagi. Kalau tidak ikut ujian, tidak akan lulus,” balasku dengan nada datar.
“Jika tidak lulus, tidak akan bisa kuliah,” lanjutku masih dengan nada datar.
Hening sesaat.
“Sudah kuduga kamu akan kuliah setelah lulus SMA,” kata Luki sambil merentangkan ke dua tangannya dengan pandangan menatap langit-langit atap. Lalu dia merubah posisinya menjadi duduk dan mulai meneguk es sirupnya.
“Memang kamu tidak kuliah, Ki?” tanyaku dengan nada datar.
“Hm? Aku?” katanya dengan sedotan dimulutnya. Luki diam sebentar kemudian menjawab, “Tidak.”
“Dipikir berapa kali pun, aku tetap tidak mau kuliah,” lanjutnya. “Karena aku malas belajar dan benci ujian.”
“Apa ke dua orang tuamu sudah tahu tentang hal ini?” tanyaku lagi.
Luki mengangguk. “Ibu dan ayahku menyerahkan keputusan itu kepadaku. Padahal kukira mereka akan memarahiku saat aku mengatakannya.”
Luki berdeham. “Sebetulnya, aku harus berterima kasih kepadamu.” Luki diam sebentar, berpikir. “Tidak. Kata terima kasih pun belum cukup. Jika bukan karena kamu, diterima di SMA A pasti menjadi hal yang mustahil bagi diriku,” lanjutnya. Luki diam lagi. Kemudian dia garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan kepala tertunduk kebawah. “Ja — jadi. Jika kamu ada masalah atau butuh bantuan. Katakan saja padaku. Mungkin aku bisa membantumu,” kata Luki dengan nada yang jelas sekali canggungnya.
Baru kali ini aku melihat Luki yang seperti ini. Rasanya…
“Jijik,” balasku datar.
Luki sangat terkejut mendengarnya. “Kamu tadi bilang apa, No?”
“Menjijikkan,” ulangku tanpa basa-basi.
Luki masih memasang ekspresi tidak percaya. Lalu dia tertawa. Kemudian dia mengamuk, “Kamu bilang apa?! Jijik, katamu?! Minta dihajar ya?!”
Aku tidak kaget dengan reaksi Luki yang mengamuk. Meskipun begitu, aku tetap tidak bisa mengusir rasa jijik yang menyelimuti.
“Berhenti mengeluarkan kalimat seolah-olah aku perempuan yang mau kamu tembak,” balasku.    
Luki yang mendengar perkataanku, langsung kebingungan. Tidak paham dengan apa yang kumaksud.
“Caramu bicara tadi. Itu sangat menjijikkan,” lanjutku. “Selain itu, bukannya normal jika teman saling membantu saat berada dalam kesusahan?”
Luki diam sebentar, mencoba menelaah perkataanku barusan. Beberapa detik kemudian, senyum menghiasi wajahnya. Sepertinya dia sudah paham dengan yang kumaksud.
“Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu dari orang yang sama sekali tidak punya teman selain diriku,” balasnya seraya menyengir. Mau tak mau, aku ikut nyengir mendengarnya.

*****

Sebelum ujian akhir SMA dimulai, aku mendapat berita kalau aku sudah diterima di Universitas dengan jurusan yang kuincar. Luki tentu saja senang saat mendengar kabar ini, begitu juga dengan ibuku. Ayahku? Seperti biasa, dia tidak mempedulikanku. Aku tidak kaget mendapati reaksinya yang seperti itu.
Tak lama kemudian, masa SMA pun berakhir dan kehidupanku sebagai mahasiswa baru pun dimulai. Karena Universitas yang kupilih itu letaknya di kota tetangga, mau tidak mau, aku pun memilih untuk meninggalkan kota tempat ke dua orang tua dan temanku satu-satunya berada. Aku memilih tinggal di rumah susun yang termasuk salah satu fasilitas yang ditawarkan oleh Universitas. Selain harganya murah, lokasi yang tidak jauh dengan kampus, aku mendapat hak istimewa karena berhasil mendapatkan beasiswa. Hak istimewanya adalah bisa menempati satu kamar sendirian.  
Apa aku tidak merasa kesepian? Jawabannya tidak. Ibuku sering meneleponku, entah sekadar menanyakan tentang kabarku atau ingin mengajakku ngobrol. Selain itu, Luki juga sering main di tempatku bahkan menginap. Jadi aku tidak merasa kesepian sama sekali. Hanya saja, kehidupan yang bahagia itu hanya bisa kunikmati sesaat.
Ibuku mendadak jatuh sakit. Aku berusaha menyempatkan waktu untuk pulang dan menginap di rumah setiap hari sabtu dan minggu, dua minggu sekali. Setiap kali aku pulang, rona bahagia selalu menghiasi wajah ibuku, membuatku tidak ingin kembali ke kehidupan mahasiswaku.    
Setelah itu, masa-masa sibuk pun datang. Aku mendapat tugas dari dosenku untuk membantu penelitiannya. Diriku yang semula masih bisa menyempatkan pulang walau hanya beberapa menit, demi melihat keadaan ibuku, sekarang sudah tidak bisa lagi kulakukan. Jujur aku kesulitan dalam mengatur waktuku. Bahkan tugas-tugas kuliahku pun hampir terbengkalai karena penelitian tersebut. Karena sudah terbiasa harus mendapatkan hasil sempurna, aku pun mulai mengorbankan sesuatu demi mendapatkan hasil yang sempurna tersebut. Ya. Waktu untuk mengunjungi ibuku, itulah yang kukorbankan.
Awalnya, aku meminta izin, karena tidak bisa menemui ibu sementara waktu. Ibu pun menyetujuinya. Beberapa hari kemudian, ibu sering meneleponku. Katanya ingin melepas rindu, walau hanya bisa mendegar suaraku dari telepon saja. Minggu-minggu sebelum jadwal mulai mencekikku, aku membiarkan ibuku meneleponku saat dia ingin bicara denganku. Makin lama, aku semakin ditelan kesibukan sehingga hanya bisa minta maaf dan mengatakan pada ibuku kalau aku sibuk. Untuk menebus rasa bersalahku, aku pun meminta tolong ke Luki untuk menemani ibuku di saat dia sedang senggang. Luki menyetujuinya. Dia mengatakan kalau dia malah senang mengunjungi ibuku. Aku lega mendengarnya. Aku semakin lega saat mendengar nada bahagia ibu yang menceritakan tentang kedatangan Luki.
Di setiap sambungan teleponku dengan ibuku mau berakhir, aku selalu minta maaf padaku atas kesibukanku yang membuatku bahkan tidak sempat menjenguk ibu. Ibu selalu menjawab, “Tidak apa. Selama kamu di sana sehat. Ibu sudah senang.” Aku selalu bisa membayangkan senyum ibu saat mengatakannya.
Deadline penelitian dikumpulkan semakin dekat. Aku semakin tenggelam dalam kesibukan hingga bingung sendiri mengatur jadwalku. Ibu yang memahami keadaan dan situasi yang sedang kuhadapi, mulai mengurangi frekuensi meneleponnya. Yang semula dua hari sekali menjadi empat hari sekali. Empat hari sekali, menjadi seminggu sekali. Seminggu sekali, menjadi dua minggu sekali. Begitu seterusnya, hingga aku tidak ingat kapan terakhir kalinya ibu meneleponku. Sampai akhirnya, ayah meneleponku. Beliau menyuruhku untuk menjenguk ibuku, karena kondisi ibuku yang semakin kritis. Padahal aku sedang dalam kondisi tidak bisa pergi kemana-mana. Benar. Karena penelitian itu, waktu semakin mengikatku.
“Maaf, ayah. Aku tidak bisa. Aku sedang dalam penelitian dan…”
“Penelitian! Penelitian! Apakah penelitian lebih penting daripada ibumu!? Orang yang selalu merawatmu dan menjagamu sejak kamu masih kecil. Apa kamu aku akan membuangnya begitu saja!?” potong ayah dengan suara keras.
“Bukan begitu, ayah…” Aku juga… aku juga ingin bersama ibu. Aku juga ingin menemani ibu. Ingin sekali aku mengatakan pikiranku itu, hanya saja tidak bisa kulakukan, karena aku memang tidak bisa melakukannya sekarang.
“Ayah…” terdengar suara seorang wanita bernada lembut yang sangat kukenal dan kurindukan.
“Apa aku boleh bicara dengan Nino sebentar?” tanyanya.
Terdengar suara gemeresek, sepertinya ayah menyerahkan handphone miliknya ke wanita tersebut.
“Halo?” kata wanita tersebut yang ditutup dengan nada bertanya.
“Halo,” jawabku,
“Nino, ini ibu.”
Aku mengangguk tanpa mengatakan sepatah kata pun. Walau aku tahu ibu tidak bisa melihat anggukanku lewat telepon, entah kenapa kepalaku bergerak begitu saja.
“Bagaimana keadaanmu di sana, sayang?” tanyanya dengan suara lembut dan lemas.
“Aku baik-baik saja di sini,” jawabku datar.
“Syukurlah. Apa kamu makan dengan teratur?” Lagi-lagi aku mengangguk tanpa suara.
“Jangan lupa istirahat yang cukup. Kamu itu kalau sudah fokus melakukan sesuatu, pasti lupa segalanya,” nasihat ibu.
Aku mengangguk. Air mataku menetes tidak bisa dihentikan.
“Ibu tutup dulu ya, nak. Lanjutkan apa yang sedang kamu kerjakan sekarang. Jangan cemaskan ibu. Ibu baik-baik saja di sini.” Untuk kesekian kalinya, aku mengangguk tanpa menjawab.
“Dah, sayang.” Sambungan pun terputus.
Lututku langsung lemas seketika. Aku jatuh terduduk. Kemudian ke dua tanganku menyentuh lantai, kepalaku menunduk ke bawah. Posisiku seperti posisi balita yang hendak merangkak. Bedanya aku diam tidak bergerak dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti.

*****

Terdengar suara pintu di ketuk, saat aku sedang berada di dunia mimpi. Kubuka ke dua mataku dengan malas sambil berharap suara ketukan itu hanyalah mimpi. Namun suaranya semakin keras. Akhirnya aku berdiri dan berjalan menuju ke arah sumber suara dengan malas.
Kubuka kenop pintu yang semula kukunci dan sinar mentari yang menyilaukan langsung menyerang ke dua mataku. Butuh waktu beberapa detik sampai aku akhirnya dapat melihat siapa yang mengetuk pintu. Ternyata orang tersebut adalah Luki, teman kecilku. Dia menatapku dengan tatapan cemas yang terlihat sekali di raut mukanya. Saat itulah aku baru menyadari, penampilanku sangat berantakan.
Sebetulnya, seminggu ini aku terus mengerjakan penelitian. Tiga hari ini, aku benar-benar memfokuskan diriku untuk menyelesaikan penelitian. Aku tidak mandi ataupun ke luar dari kamar, demi menyelesaikan bagian penelitian yang kukerjakan. Makan? Aku makan seadanya. Kebetulan aku sudah membeli banyak mie instant sebelum mendapat tugas penelitian tersebut. Kuliah? Aku menggunakan kesempatan bolosku agar aku bisa cepat menyelesaikan bagian penelitianku, sehingga aku dapat segera pulang dan menjenguk ibuku. Itulah rencanaku. Tentu saja, setelah aku tidur beberapa jam.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Luki akhirnya.
Aku mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
Hening sebentar.
“Masuklah,” kataku kemudian.
Saat aku melihat ke dalam kamarku, aku pun baru menyadari betapa berantakannya kamarku sekarang. Baju-baju yang tergeletak di kursi meja dan lantai, yang bahkan aku tidak tahu lagi mana yang kotor dan mana yang bersih. Piring-piring dan gelas kotor yang tergeletak di lantai begitu saja. Buku-buku dalam keadaan terbuka yang juga berserakan di lantai dan barang lainnya. Intinya kondisi kamarku sekarang sudah seperti kapal pecah.
“Maaf, kamarku berantakan. Aku belum sempat membersihkannya,” kataku. Luki hanya diam saja memandangi kamarku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Kelihatannya dia sangat kaget dengan kacaunya isi kamarku.
“Mau minum apa?” tanyaku kepadanya.
“Apa pun boleh,” jawab Luki akhirnya.
Kulangkahkan kakiku ke tempat aku biasa meletakkan gelas-gelasku. Sayangnya tidak ada gelas atau peralatan makanan lainnya di sana. Semuanya belum kucuci ya? batinku dengan wajah datar.
 “Aku mau pergi ke luar dulu. Kamu mau minum apa?” tanyaku lagi.
“Tidak perlu repot-repot. Lagipula aku tidak haus,” jawab Luki dengan posisi duduk di atas kasurku.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Sebaiknya kamu segera mandi deh. Lalu kita bersihkan tempat ini,” perintah Luki seraya menggulung lengan kemejanya.
Aku menatap isi kamarku dengan pandangan tidak tertarik.
“Kebetulan aku sedang libur, jadi aku bisa membantumu bersih-bersih,” lanjut Luki.
Aku menghela napasku, kemudian mencari handukku dan pergi ke kamar mandi, sesuai perintahnya. Setelah beberapa menit kemudian, aku sudah menyelesaikan kegiatan mandiku. Saat aku sedang mengeringkan tubuhku dengan handuk, aku baru sadar kalau tidak membawa baju ganti. Akhirnya aku ke luar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada.
“Pakai ini,” kata Luki seraya menyerahkan T-shirt berwarna hijau kepadaku. “Aku sudah memilah bajumu yang kotor dan bersih. Jadi pakailah,” lanjut Luki. Kuterima T-shirt hijau tersebut dan langsung memakainya.
“No, apa pelitianmu sudah selesai?” tanya Luki yang sibuk mencuci piring kotorku.
“Sudah,” jawabku dengan ke dua tangan sibuk menggosok rambutku yang masih basah dengan handuk.
“Yang benar?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
Aku mengangguk. “Aku sudah menyelesaikan semuanya. Karena itulah, jadwalku sekarang kosong. Aku jadi bisa menjenguk ibuku sekarang,” jawabku dengan nada datar.
Walau sekarang, Luki sedang mengelap ke dua tangannya dengan serbet motif kotak-kotak merah, tetapi tatapannya saat memandangku menunjukkan kesedihan yang aku tidak paham alasannya. Seketika aku mendapat firasat buruk. Berbagai macam kemungkinan buruk muncul di pikiranku.
Aku menelan ludahku. “Ada apa?” tanyaku, memberanikan diri untuk bertanya.
“Di mana handphone mu?” tanya Luki yang kemudian duduk di atas kasurku. Bukannya menjawab pertanyaanku, Luki malah balik bertanya.
Handphone?” Aku mencoba mengingat di mana aku meletakkan benda hitam kecil berbentuk persegi panjang itu.  
Aku mencoba mencari di tempat yang sepertinya, terakhir kali aku melihat benda kecil itu tergeletak seraya berkata, “Hm… aku tidak ingat di mana meletakkannya.”
Beberapa menit kemudian, aku berhasil menemukan benda kecil itu dalam keadaan tidak menyala. Jujur saja aku tidak kaget saat mendapati benda kecil itu mati, karena beberapa hari ini aku tidak mengurusinya. Saat berbunyi atau ada pemberitahuan apa, aku mengabaikannya. Makanya aku tidak ingat di mana benda kecil tersebut berada.
Luki menghela napasnya saat melihatku yang akhirnya berhasil menemukan handphoneku. “Sudah kuduga, kamu akan lupa di mana kamu menaruh handphonemu,” katanya. “Segera isi bateraimu, lalu dengarkan apa tujuanku ke mari.”
Aku menurut. Setelah aku selesai memasang kabel untuk mengisi baterai handphoneku, aku duduk di lantai, berhadapan dengan Luki. Luki menatap langsung ke dua mataku, kemudian dia pun memberitahuku kalau ibuku meninggal tadi pagi.
"Aku terus meneleponmu tadi malam saat ibumu dalam kondisi kritis. Namun, kamu tidak mengangkatnya, sampai ada pemberitahuan kalau handphonemu mati." Aku mencoba mengingat keadaan tadi malam, tapi gagal. Yang muncul hanyalah rangkaian kalimat dari penelitian yang kukerjakan tadi malam.
"Jujur saja, aku marah kepadamu. Aku kemari pun sebetulnya ingin menghajarmu. Tapi keinginan itu hilang saat aku melihat keadaanmu," lanjut Luki disusul dengan helaan napas yang panjang dari dirinya. Sementara aku hanya diam membisu. Bingung harus berbuat apa. Aku melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 11. Ibu pasti sudah dikubur, batinku.
Rasanya semuanya gelap. Cahaya yang selama ini membimbingku, menemaniku dan melindungiku, kini telah lenyap. Air mataku jatuh satu per satu, tanpa bisa kutahan. Luki mendekatiku, kemudian menepuk punggungku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

*****

Kuputuskan untuk pulang ke rumah dengan diantar oleh Luki menggunakan sepeda montornya. Di rumah, masih banyak orang yang berkumpul di sana. Ada beberapa wajah yang kukenal dan ada juga yang tidak. Walau ada banyak orang di sana, entah kenapa rasanya ada yang berbeda. Tanpa menghiraukan perkataan dan pandangan mereka, aku segera masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke dalam kamarku. Kamarku masih sama kondisinya dengan terakhir kali kutinggal. Tak ada yang berubah sedikit pun. Benar. Yang tidak berubah hanya kondisi kamarku. Lalu bayangan ibu yang selalu menyambutku pulang, muncul. Aku merasakan air mataku hampir jatuh, namun kutahan sekuat tenaga.
“Jangan menangis,” perintahku pada diriku sendiri. “Kamu harus menahannya. Inilah hasil yang kamu dapat karena keputusanmu sendiri.”
Aku segera mengganti bajuku. Ke luar dari kamarku, kemudian membantu entah hanya mengantarkan piring berisi makanan atau minuman kepada para tamu yang datang. Berbicara pun ketika ada yang bertanya atau mengajak ngobrol. Itu pun hanya bicara seperlunya. Selama aku menyibukkan diriku, perasaan aneh terus mengganjal diriku. Aku tidak tahu perasaan apa itu, jadi aku tidak bisa menuliskannya di sini.
Akhirnya, langit biru yang cerah sudah berganti gelap. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan. Para tamu sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Di rumah itu hanya tinggal aku dan ayahku. Aku berjalan ke arah dapur sambil membawa piring dan gelas kotor ke tempat cuci piring. Lalu mulai sibuk mencucinya.
Hening. Bahkan suara air yang turun dari keran air, diiringi dengan suara piring yang bersentuhan dengan peralatan makan lainnya pun, tidak mampu menghilangkan keheningan yang menyelimuti. Semakin lama, keheningan itu semakin mencekikku. Aku ingin berteriak, tapi tidak bisa. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan keheningan tersebut.
Tiba-tiba ayahku mendeham. “Nino, jika kamu sudah selesai, maukah kamu menemani ayah sebentar? Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Baik, ayah,” jawabku tanpa berhenti mencuci piring.
Setelah menyelesaikan kegiatan mencuciku, kututup keran air seerat mungkin supaya tidak ada tetesan air yang keluar. Kemudian mengeringkan tanganku dengan serbet bermotif kotak-kotak putih-merah yang tergeletak di meja makan. Kulangkahkan kakiku ke tempat ayah yang sedang duduk manis sambil membaca koran. Lalu duduk di depan ayahku dengan posisi duduk bersila.
 Ayah melipat koran yang sedari tadi dibacanya dan meletakkannya di sampingnya. Dia menghela napasnya. “Sebetulnya aku tidak tahu mau bicara apa sama kamu,"
Aku diam, tidak menjawab. Hanya menundukkan kepala seperti orang yang sudah melakukan perbuatan salah.
“Suasana ini menyakitkan,” lanjutnya. “Jujur saja aku tidak menyukainya. Di tambah lagi, ini pertama kalinya kita duduk hanya berdua di rumah ini, saling berhadapan.”
Memang benar. Ini pertama kalinya kami melakukannya. Bahkan saat ibu kandungku masih hidup, tidak pernah sekali pun kami berdua duduk berhadapan seperti ini.
“Yang ingin kukatakan adalah…” Ayah diam sebentar. “Maafkan aku,” lanjutnya dengan nada penuh penyesalan.
Kubelalakkan ke dua mataku, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Dengan gerakan perlahan, kudongakkan kepalaku sehingga aku bisa melihat raut wajah yang dipasang ayahku.
“Maafkan aku, Nino. Atas semua yang sudah kulakukan padamu, ayah minta maaf.”
Ha? Apa yang baru saja kudengar? Ayah… minta maaf? Ini bohong kan? Jangan-jangan ini mimpi.
“Dulu, ayah bingung tidak tahu harus berbuat apa. Ayah membiarkanmu saat ibumu…” Ayah berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perkatannya lagi, “Ibu kandungmu menghajarmu, menghinamu. Bahkan ayah ikut-ikutan melakukan apa yang ibumu lakukan. Tapi, ayah ingin berubah. Ayah ingin mengulang dari awal lagi. Memang apa yang ayah lakukan sekarang, bagimu pasti semua sudah terlambat. Tapi ayah ingin mencobanya.”
Hening. Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Apa ibu yang memintanya sebelum ibu meninggal?” tanyaku beberapa detik kemudian.
“Rika hanya menyuruhku untuk menjagamu,” jawab ayah singkat.
Rika adalah nama ibu tiriku. Ibu yang sangat kusayang dan kini aku sudah tidak dapat bertemu dengannya lagi.
“Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa baru sekarang ayah minta maaf kepadamu setelah Rika sudah tidak ada di sini lagi. Sebetulnya aku…” Ayah berhenti lagi, dia garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ekspresi bingung terlihat jelas di wajahnya saat dia melanjutkan apa yang akan dikatakannya. “Ayah ingin segera minta maaf kepadamu. Ayah ingin kita menjadi keluarga seperti keluarga yang lainnya. Saling menyayangi, saling memaafkan satu sama lain. Ayah ingin melakukannya sebelum Rika meninggal. Dan ayah baru bisa melakukan ini saat Rika meninggal. Aku benar-benar bodoh. Aku benar-benar pengecut,” kata ayah sambil mengepalkan ke dua tangannya erat-erat. Dari raut wajahnya, terlihat sekali kalau ayah menahan agar air matanya tidak terjatuh.
Aku memalingkan pandanganku ke arah lainnya. Tidak ingin melihat ekspresi ayah yang menahan kesedihan. Tidak ingin mempercayai apa yang dikatakannya. Sayangnya, aku tidak bisa membuang ingatan tentang ekspresi ayah yang barusan.
“Kamu boleh tidak percaya dengan apa yang kukatakan,” lanjut ayah.
Mendengar kalimat yang dikeluarkannya, aku memberanikan diriku untuk menatap ke arah ayah. Melihat wajah seperti apa yang ayah tunjukkan. Jujur saja aku terkejut setelah melihatnya. Ayah menundukkan kepalanya dengan wajah penuh penyesalan. Badannya yang selalu tampak besar di mataku, kini terlihat kecil. Apakah ini ayahku? Ayahku yang selalu terlihat besar dan galak?
“Bohong,” kataku dengan nada tidak percaya. “Ayah pasti bohong kan?” Ayah mendongakkan kepalanya ke arahku. Menatap langsung ke dua mataku.
“Jika ayah benar-benar ingin kita saling menyayangi. Ingin kita seperti keluarga bahagia lainnya, lalu kenapa…” Tubuhku gemetar penuh amarah. “Lalu kenapa ayah memukulku, menghinaku di depan ibu Rika?!” bentakku marah.
Aku langsung berdiri, kemudian berseru dengan amarah yang masih menyelimuti diriku, “Apa ayah ingat betapa takutnya ibu saat melihat ayah marah? Ibu gemetaran. Ibu memelukku dengan tubuh gemetaran. Dengan air mata yang terus mengalir, dia memohon supaya ayah tenang!”
“Ayah memang tidak pernah memukulku ataupun ibu, tapi kata-kata yang ayah keluarkan…” Aku menghentikan perkataanku yang masih belum selesai. Kutundukkan kepalaku saat ingatan ketika ayah mengamuk terus menerus berputar di kepalaku.   
“Kamu benar,” kata ayah dengan nada pasrah. “Apa yang kulakukan dulu itu sangat jahat. Dan permintaan maafku, menurutmu pasti sudah sangat terlambat sekarang. Ayah menyadari hal itu.”
Aku mendongakkan kepalaku. Ekspresi ayah yang penuh penyesalan masih belum berubah.
“Karena itulah, jika kamu tidak ingin memaafkan apa yang sudah ayah lakukan. Tidak apa,” kata Ayah dengan tatapan sedih.
“Nino…” panggil ayah.
Dengan gerakan spontan, kututup ke dua telingaku. Tiba-tiba ayah memelukku. Aku tentu saja terkejut. Aku ingin meronta tapi tidak kulakukan. Hening. Ayah memelukku tanpa bicara sepatah kata pun, begitu juga dengan diriku. Namun, beberapa detik kemudian aku merasakan tetesan air dipundakku.
 “Nino…” panggil ayah sambil terisak. “Maafkan ayah.”
Ayah terus mengulang permintaan maafnya sampai aku tidak bisa menghitungnya. Sebetulnya, aku masih meragukan ayah. Apakah ayah benar-benar minta maaf dengan tulus? Apakah ini hanya sandiwara ayah saja, supaya aku menerimanya kemudian dia akan membuangku lagi? Pikiran negatif terus menyelimutiku, sampai aku teringat dengan perkataan ibu. Jika ada yang minta maaf. Maafkanlah. Mau dia tulus atau hanya pura-pura.

*****

Saat itu, langit berwarna orange. Aku duduk dipangkuan ibuku dengan seragam SD yang masih melekat di tubuhku. Kalau tidak salah, saat itu pertengkaranku pertama kalinya dengan Luki.
“Jika ada yang minta maaf. Maafkanlah. Mau dia tulus atau hanya pura-pura,” kata ibu seraya mengelus-elus rambutku.
“Tapi kita tidak tahu apakah orang itu benar-benar menyesal atau tidak?” balasku.
“Kalau begitu apa Nino tahu seperti apa orang yang benar-benar menyesal?” balas ibu. Pertanyaan ibu berhasil membuatku tidak bisa menjawab. 
Kemudian ibu memelukku lalu berkata, “Kamu akan menyesal jika kamu tidak memaafkannya nanti.”
“Apa ibu pernah melakukannya?” tanyaku. “Tidak memaafkan orang yang minta maaf kepada ibu? Padahal orang itu benar-benar menyesali perbuatannya?”
“Pernah,” jawab ibu dengan jawaban yang tidak pernah kuduga. “Kemudian ibu merasa sangat menyesalinya sampai sekarang.”
“Karena itulah, ibu tidak ingin Nino mengalami apa yang ibu rasakan,” lanjut ibu.

*****

Aku masih tidak mengatakan apapun sampai ayah melepas pelukannya. Saat melihat ayah yang sibuk menghapus air matanya, aku merasakan sebuah perasaan yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
“Ayah,” panggilku.
“Hm?” jawab ayah yang sibuk menghapus bekas air matanya dengan bagian paling bawah T-shirt biru tua yang dipakainya.
“Apa ayah menyayangi ibu Rika?” tanyaku.
“Tentu saja. Jika tidak, ayah tidak akan menikah dengannya,” jawab ayah dengan tatapan bahagia, seakan dia baru saja teringat kenangan indahnya bersama ibu.
Ah orang ini sama sepertiku. Dia juga sangat sayang sama ibu. Selama ini, aku mengira kalau ayah tidak menyayangi ibuku. Aku selalu berpikir kalau ayah sebetulnya ingin membuangku dan keinginannya terkabul saat dia menikah dengan ibu Rika. Ibu Rika menyayangiku seperti anaknya sendiri. Aku juga menyayanginya. Karena itulah, aku rela jika ayah membuangku kepadanya. Ternyata selama ini, aku salah.
“Jika kamu tidak ingin berada di rumah ini lagi karena ayah. Tidak apa. Kamu tidak perlu takut tentang biaya kuliah, biaya sewa kamar ataupun uang sakumu. Ayah akan mengirimkannya langsung ke rekeningmu,” lanjut ayah setelah berhasil menenangkan dirinya lagi.
“Aku akan sering pulang. Saat aku punya waktu luang, akan kuhabiskan waktuku di sini. Di rumah ini,” jawabku. “Itu, jika ayah tidak keberatan,” lanjutku.
Ayah terkejut dengan jawabanku, kemudian dia tersenyum. Baru kali ini aku melihat ayahku tersenyum langsung kepadaku. Rasa sedih ditinggal ibu memang tidak lenyap begitu saja. Namun aku merasa kalau tubuhku lebih ringan daripada sebelumnya.
Ibu terima kasih. Terima kasih sudah menyayangiku, menemaniku dan melindungiku. Sekarang aku tidak merasa kesepian lagi. Selain ada Luki yang menemaniku, ada ayah yang kali ini akan menjagaku. Jadi ibu tidak perlu mencemaskanku lagi.
Cahaya-cahaya kecil yang berharga. Walau mereka kecil tapi mereka sangat berharga bagiku. Mereka sangat hangat. Aku akan berusaha menjaga cahaya ini agar tidak lenyap lagi.


—The End—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar