By Airi Rizka
Apa
kamu tahu, benda apa yang mengusir kegelapan? Jawabannya adalah cahaya. Ada
berbagai macam cara cahaya bisa muncul. Mulai dari lampu, bintang, api,
serangga, bahkan manusia. Jika kamu melihatnya dengan teliti, kamu pasti bisa
melihatnya dan merasakan betapa hangatnya mereka.
*****
Dengungan
suara pesawat TNI yang terbang menembus langit berhasil menarik perhatianku. Hari
ini, kebetulan sekolah di kota tempat aku tinggal memulangkan muridnya lebih
cepat dari biasanya. Aku lupa, ada acara apa. Karena bukan hal penting, jadi
aku tidak terlalu memerhatikan apa yang tadi guruku katakan di kelas.
Kudongakkan
kepalaku ke arah pesawat tersebut. Karena sinar matahari terlalu menyilaukan, kubuat
telapak kananku seperti atap sehingga membentuk bayangan yang menghalangi
silaunya sinar matahari. Dengan cara itulah aku bisa melihat pesawat yang
terbang sendirian melewati birunya langit. Tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan
di pikiranku. Apa pesawat itu tidak merasa kesepian? Terbang seorang diri,
menembus langit biru yang sangat luas. Seandainya terjadi sesuatu kepadanya,
apakah ada yang akan menolongnya?
Bayangan
diriku yang sendirian mulai bermunculan. Benar sekali. Aku memang tidak punya
teman. Aku termasuk orang yang tidak mudah berteman dengan lainnya. Bahkan
untuk mengobrol dengan orang yang tidak kukenal, aku merasa kebingungan, gugup
yang berlebihan dan akhirnya memilih diam sampai ada yang mengajak berbicara. Kebanyakan
mereka mendekatiku karena nilaiku yang termasuk bagus. Mereka selalu
mendekatiku dan berakrab ria denganku saat ada tugas atau ulangan. Namun,
ketika saat-saat sedih atau bahagia melanda mereka, mereka akan meninggalkanku
begitu saja. Bertingkah seolah-olah tidak mengenalku.
Bukannya
aku menyalahkan mereka. Aku paham kekurangan dan kelemahanku. Hanya saja aku
merasa iri dengan mereka yang bisa dengan leluasa berteman dengan lainnya. Tertawa
bersama, menangis bersama, mengobrol dengan topik yang sangat mereka suka tanpa
melihat waktu. Saat melihat mereka yang melakukan hal tersebut aku selalu
berpikir, ah, enaknya atau aku juga ingin melakukannya dalam diam.
Walau
aku mengetahui kekurangan dan kelemahanku, bukan berarti aku bisa
memperbaikinya. Aku bahkan tidak tahu harus melakukan apa untuk memperbaikinya.
Saat kelas lima SD, aku pernah meniru, membaca semua buku tentang cara mengajak
berbicara orang lain, dan sebagainya. Semuanya tidak berhasil membuatku lebih
lancar berbicara dengan orang lain. Yang ada, aku semakin merasa jarak antara
diriku dengan orang yang kuajak bicara semakin menjauh. Saat aku mempraktekan apa
yang tertulis dibuku itu, aku merasa seperti mulutku bergerak sendiri,
mengeluarkan kata-kata yang tidak kupahami. Aku berusaha melihat ekspresi lawan
bicaraku untuk mengambil hati mereka. Sayangnya ekspresi yang mereka perlihatkan
padaku menjawab sebaliknya. Ah, aku sudah
gagal, itulah yang kukatakan dalam hati. Tentu saja aku melakukannya tidak
hanya sekali, melainkan berulang kali hingga aku muak bicara dengan manusia
kecuali dengan ibu tiriku dan satu-satunya teman kecilku bernama Luki. Dua
cahaya yang bagiku sangat berharga. Merekalah yang selalu menerangi jalanku dan
membuatku merasa hangat.
Setelah
membaca dan mempraktekan semua buku tersebut, anehnya, aku mendapati diriku lebih
mudah memahami maksud lawan bicaraku dari tatapan mereka, gerak-gerik kecil
mereka, gaya bicara mereka dan sebagainya. Aku langsung tahu apakah lawan
bicaraku memiliki niat jelek, tersembunyi atau memang tulus. Bukan kemampuan
bicaraku dengan manusia yang semakin meningkat, sebaliknya kemampuan membaca maksud
lawan bicara lah yang meningkat.
Aku
pernah sekali, tidak sengaja mengatakan kepada ibu tiriku tentang orang yang
berbicara dengannya. Ibu tiriku merasa takjub saat mendengarnya.
“Hebat
sekali! Dari mana kamu bisa tahu kalau dia hanya akan memanfaatkan ibu?” tanya
ibu tiriku dengan raut wajah dan nada bangga yang sama sekali tidak
disembunyikan.
Jujur
saja, dipuji seperti itu, aku merasa senang. Walau ibu tiriku selalu memujiku,
tetap saja, pujian kecil seperti itu, berhasil membuatku senang. Sayangnya,
karena aku tidak pintar menunjukkan apa yang kurasakan, aku pun hanya memasang
wajah datar seraya berkata dengan nada merendah diri, “Itu sama sekali bukan hal
yang patut dibanggakan. Jika diamati dari gerak-geriknya, terlihat jelas kalau
orang itu puya niat tersebunyi.”
“Walau
begitu, ibu tidak bisa melakukannya loh,” balas Ibu tiriku. “Dan tidak semua bisa
melakukan seperti yang Nino lakukan barusan,” lanjutnya seraya mengelus-elus
kepalaku.
Aku
hanya diam, saat ibu tiriku mengelus-elus kepalaku. Tidak menepis tangannya
atau tersenyum senang. Hanya diam seraya menatap wajah ibu tiriku yang
tersenyum bahagia.
Apakah
ada yang mengatakan padaku kalau aku ini tidak punya hati? Banyak. Tetanggaku, guruku,
bahkan ibu yang melahirkanku pernah mengatakan padaku kalau aku ini tidak punya
hati, karena tidak ada ekspresi sama sekali yang kutunjukan kepada mereka. Ayah
kandungku saja menerimaku karena terpaksa. Karena aku adalah anaknya. Karena
tidak ada yang mau menerimaku, walau orang itu sendiri lah yang melahirkanku. Seandainya
ayahku memiliki pilihan selain membawa dan merawatku, dia pasti sudah
melakukannya.
Bagaimana
aku mengetahuinya? Apakah aku cuma asal menebaknya? Jika aku memang cuma asal
menebak, aku tidak mungkin mendengarnya dengan jelas saat ayah mengatakannya
padaku. Tidak. Dia terus mengulangi perkataannya kepadaku saat dia marah bahkan
ketika ibu tiriku memelukku dan berharap supaya aku tidak mendengar
kalimat-kalimat yang ayah lontarkan. Aku tidak perlu diam-diam mendengarnya
karena kata-kata itu terus terdengar jelas seperti pisau yang menembus kulit. Bahkan
pukulan ayah tidak sesakit kata-kata yang dikeluarkannya. Setelah itu, ayah
pasti meninggalkan rumah untuk mendinginkan kepalanya, sementara ibu tiriku
akan memelukku dan mengatakan kalau semua yang dikatakan ayahku adalah bohong.
Mungkin
kalian penasaran dengan ibu kandungku. Untuk menghapus rasa penasaran kalian,
akan kujelaskan. Ibu kandungku meninggal saat aku masih duduk di kelas 1 SD. Aku
tidak ingat meninggalnya karena apa. Aku bahkan tidak ingat seperti apa rupa
ibuku. Yang kuingat tentang ibuku hanyalah bayangan gelap yang terus menghinaku
dan menyiksaku. Sampai sekarang, aku bahkan masih ingat apa yang sering
dikatakannya.
Aku membencimu! Kenapa
kamu tidak mati saja? Seandainya kamu tidak ada, aku pasti bisa hidup bahagia.
Enyah kau! Pergi dari kehidupanku! Mati sana! Dan kata-kata
penuh kebencian lainnya.
Saat
beliau mengatakannya, aku memang masih kecil. Bahkan beliau mengatakannya saat aku
masih belum bisa bicara. Orang-orang dewasa selalu mengira, kami para anak
kecil tidak paham dengan apa yang mereka katakan, padahal kami, walau masih
kecil, walau masih belum bisa bicara, kami sudah paham dengan maksud yang dikatakan
oleh mereka. Kata-kata baik, kata-kata melindungi, kata-kata pujian, kata-kata
penuh sayang, kata-kata benci, kata-kata yang menyakiti, kami sudah memahaminya
bahkan sebelum kami bisa mengucapkan sepatah kata dengan benar. Kami memang
masih kecil. Ukuran kami bahkan tidak ada setengah dari ukuran manusia dewasa,
namun kami sudah paham dengan apa yang kalian para manusia dewasa katakan.
Namanya juga manusia, tempatnya lupa. Mereka sering lupa kalau dulu mereka juga
pernah kecil dan akhirnya mereka jadi sombong saat ukuran mereka lebih besar
dari yang lainnya.
Sebetulnya,
aku juga pernah ditinggal ibu kandungku saat aku masih balita. Aku tidak
terlalu ingat saat itu umurku berapa tahun. Aku bahkan tidak ingat bagaimana
caraku bisa berhasil pulang dalam keadaan selamat. Yang masih segar dalam
ingatanku hanyalah teriakannya yang penuh amarah kepadaku, “Kenapa kamu
kembali? Padahal aku meninggalkanmu, supaya kamu menghilang dari kehidupanku
selamanya!”
Apa
aku tidak sedih? Apa aku tidak menangis? Sebelum masuk TK, aku selalu menangis
setiap ibu mengatakan kalimat penuh kebencian itu kepadaku. Semakin lama, aku
pun belajar untuk tidak mempedulikan perkataan di sekitarku. Semua orang yang
tahu kelakuan ibuku, memilih untuk pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak
mendengar ataupun pura-pura tidak mengetahui apa yang dilakukannya. Mereka
hanya diam membiarkanku, tanpa mencoba mengulurkan tangannya kepadaku. Walau
sekeras apapun aku meminta tolong, sepanjang apapun tanganku terjulur untuk memohon,
tidak ada yang mau menerimanya.
Semua
hinaan dan siksaan dari ibu kandungku berhenti saat beliau meninggal. Aku hanya
melihat tubuh kaku beliau tanpa sebersit pun rasa sedih yang melintas. Apa ibu tidak akan bangun lagi? batinku.
Setetes rasa lega tiba-tiba muncul. Air mataku jatuh begitu saja tanpa kusadari.
Yang melihatku pasti mengira aku menangis sedih karena ditinggal ibuku. Padahal
yang kurasakan adalah sebaliknya. Aku merasa lega ibuku meninggal dunia. Dengan
begitu, semua siksaan dan hinaan akan menghilang.
Beberapa
menit kemudian, aku harus menelan kenyataan pahit. Siksaan dan hinaan memang
sudah tidak lagi kurasakan, tapi perasaan kebencian dan tidak diinginkan masih menamparku
dengan sangat keras. Aku harus tinggal dengan ayahku yang tidak menginginkan keberadaanku.
Ayahku memang tidak pernah memukulku atau menyiksaku. Tapi sorot matanya yang
penuh kebencian saat menatapku sudah cukup membuat tubuhku kesakitan.
Beberapa
bulan kemudian, ayah menikah dengan perempuan muda bernama Rika. Bayangan
siksaan dan hinaan yang kuterima dari ibu kandungku terus berputar di kepalaku.
Aku akan disiksa dan dihina lagi, batinku
pasrah. Ternyata semuanya berbeda. Ibu tiriku tidak pernah menyiksa, memukul,
menghina bahkan meninggalkanku di suatu tempat seperti yang ibu kandungku
lakukan. Dia mengajariku, memanggil namaku, memelukku, menemaniku dan
sebagainya. Dia tidak pernah menyakitiku. Bahkan saat dia sedang marah, dia
tidak pernah memukulku. Dia hanya memarahiku. Kemudian dia akan menjelaskan
alasan dia marah. Duniaku yang semula gelap tiba-tiba menjadi terang. Sebuah
cahaya kecil yang sangat hangat muncul. Cahaya kecil yang sangat berharga
bagiku. Dan saat itulah, aku tidak pernah menganggapnya sebagai ibu tiriku.
Karena itulah, aku akan menulis ibu tiriku di sini sebagai ibuku.
“Kamu
sedang melihat apa, No?” tanya Luki, berhasil mengusir bayangan diriku yang
dulu. Luki mengikuti apa yang kulakukan. Ekspresinya langsung berubah antara
kaget dan senang.
“Woah,
ada pesawat!” serunya keras-keras seperti anak kecil padahal kami berdua sudah
SMA bahka sudah kelas tiga. Luki mulai melambaikan ke dua tangannya seraya
berteriak, “Oi! Oi!”
Setelah
pesawat itu tidak terlihat lagi, Luki mengalihkan pandangannya kepadaku, lalu
bertanya, “Menurutmu mereka tadi dengar tidak ya?”
“Tidak,”
jawabaku cepat dan datar.
“Pastinya
ya…” balas Luki dengan nada kecewa, namun rona bahagia masih terlihat jelas di
wajahnya.
Luki
adalah teman kecilku sejak SD. Sebetulnya kami berteman pun, itu karena sebuah
kebetulan. Kebetulan aku duduk sendirian. Kebetulan Luki diberi hukuman. Kami
menjadi teman karena kebetulan. Awalnya, dia duduk di sebelahku sebagai hukuman
karena berhasil memecahkan vas bunga di meja guru, walau dia tidak sengaja
melakukannya. Kebetulan aku duduk di baris depan dan sendirian. Alhasil sebagai
hukumannya, Luki pun disuruh duduk di sebelahku. Tujuannya supaya dia dapat
diawasi. Aku? Aku tidak keberatan. Lebih tepatnya, aku tidak peduli siapa yang
duduk di sebelahku.
Awalnya,
kami tidak pernah saling mengobrol satu sama lain. Entah bagaimana caranya,
kami berdua mulai sering mengobrol dan menghabiskan waktu bersama. Mungkin
karena kami duduk bersebelahan, jadi mau tidak mau, ada komunikasi yang
terjalin diantara kami berdua. Luki selalu menertawaiku saat jam pelajaran olahraga
berlangsung. Sebaliknya, dia selalu menangis minta tolong kepadaku saat jam
pelajaran lainnya.
Luki
termasuk anak yang tidak bisa diam. Selain tidak bisa diam, dia juga berisik. Rambut
hitamnya yang sangat pendek selalu berdiri ke atas tanpa memakai gel rambut
atau semacamnya. Luki selalu bilang kalau ibunya itu selalu jengkel dengan
rambutnya yang tidak bisa diatur, walau rambutnya itu lurus. Alhasil rambutnya
selalu dipotong hampir gundul saat TK. Julukannya saja saat TK adalah tuyul.
Karena sering dipanggil tuyul, Luki pun menolak rambutnya dipotong saat dia
duduk di kelas 1 SD. Luki memiliki tinggi yang sama seperti diriku. Kulitnya
berawarna coklat tua karena sering berpanasan ria. Di hidungnya, ada plester
coklat yang setia menempel di sana. Alasannya sih karena keren, bukan karena
hidungnya terluka.
Suatu
hari, bu Ani, guru IPA yang mengajar di kelasku, memberikan tugas kelompok yang
berisikan dua orang. Saat itu, aku sudah berpikir kalau aku akan diikutkan
kelompok lain yang mau tidak mau, kelompoknya akan berisi tiga orang atau aku
akan mengerjakannya sendiri. Hal itu, bukan hal yang biasa lagi buatku. Yang
mengagetkanku justru apa yang dikatakan Luki ke Anto, teman sepermainannya.
“Aku
sudah sama Nino,” jawab Luki.
Lagi-lagi
aku merasa ada cahaya kecil hangat yang muncul.
“Oh,
oke deh,” balas Anto dan langsung sibuk mengajak yang lainnya.
Baru
saat itulah, ada yang menolak ajakan temannya supaya bisa satu kelompok
denganku.
“Hm?
Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Luki yang bingung saat aku menatapnya
dengan wajah tidak percaya.
“Ah,
bukan apa-apa,” jawabku seraya menundukkan kepalaku ke buku IPA yang sedang
terbuka.
“Luk,”
panggilku.
“Hm?”
jawabnya.
“Apa
tidak apa-apa kamu tidak satu kelompok sama Anto?” tanyaku dengan nada
canggung.
“Tentu
saja tidak apa-apa. Memang kenapa?” balas Luki sambil balik tanya.
“Takutnya
kamu nanti dijauhi sama Anto dan lainnya,” jawabku, kemudian menelan ludah.
“Tenang
saja. Mereka biasa saja kok. Lagipula tidak kaget kan satu kelompok sama teman
satu meja,” jawab Luki sambil nyengir.
Aku
merasa lega sendiri mendengarnya. Semenjak itulah, Luki sering mengajakku
bermain bersama dengannya, mengerjakan tugas bersama dengannya, belajar bersama
dengannya, mengobrol dengannya. Itulah pertama kalinya aku memiliki teman sepermainan
sejak kecil. Akan kujaga dua cahaya kecil ini. Cahaya kecil yang berharga.
Itulah keinginanku.
*****
Tahun
ke enam kami berdua di SD berakhir tanpa kami ketahui. Masa-masa ujian akhir
dan ujian masuk SMP datang. Kebetulan kami berdua mengincar sekolah yang sama,
SMP W, SMP yang terkenal dengan fasilitas penunjang pendidikan yang sangat
lengkap. Saat kami saling mengetahui tujuan sekolah kami yang ternyata sama,
kami pun membuat rencana apa saja yang akan dilakukan saat kami diterima di SMP
tersebut. Kami berdua belajar bersama setiap hari. Berjuang bersama di hari
ujian masuk. Sampai akhirnya, hari hasil pengumuman di tempel di papan
pengumuman datang.
Sambil
berdesak-desakan dengan anak seumuranku dan orang dewasa, aku berusaha mencari
nomor ujianku dan ada. Nomorku tercantum di papan pengumuman tersebut. Aku
masih ingat, saat perasaan bahagia memeluk diriku di tengah keramaian dan tangis
anak-anak yang gagal masuk di sekolah tersebut. Aku segera mencari nomor ujian
milik Luki. Aku yakin dia juga pasti berhasil masuk.
Sayangnya,
setelah beberapa menit dan berulang kali aku mencari nomornya, aku tidak
berhasil menemukannya. Aku ke luar dari balik kerumunan untuk mencari Luki
berada. Ternyata dia berdiri di belakangku. Dia melihatku dengan wajah
tersenyum.
“Selamat
ya, Nino,” katanya.
Aku
mengangguk. “Nomormu—”
“Aku
gagal,” potong Luki sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.
“Aku
sudah menduganya, tapi tetap saja rasanya kesal,” kata Luki seraya tersenyum.
Air matanya menetes satu demi satu. Aku ingin menghapus air mata itu, namun
pada akhirnya aku hanya menatapnya tanpa bisa menggerakkan tubuhku sama sekali.
“Maaf
ya. Padahal kamu sudah terus mengajariku,” kata Luki dengan senyum masih
menghiasi wajahnya dan air mata yang mengalir semakin deras. “Maaf ya... hiks… sudah
membuat… hiks… semua rencana kita… hiks… terbuang sia-sia,” lanjut Luki sambil
terisak dengan lengan kanannya yang sibuk menghapus air matanya.
Jujur
saja aku merasa kecewa mendapati Luki tidak dapat satu sekolah denganku. Entah
kenapa aku tidak berani menunjukkan rasa kecewaku itu. Melihatnya menangis
sambil minta maaf sudah membuatku bingung harus berbuat apa. Sampai kami pulang
pun, aku hanya diam tidak melakukan apa-apa. Tidak memeluknya, menghiburnya
ataupun menenangkannya.
Itulah
terakhir kalinya aku melihat Luki saat aku duduk di bangku SMP. Aku dengar dari
ibuku, dia berhasil masuk SMP C. Luki memang pernah cerita kalau dia sudah
diterima di SMP C, tapi tetap saja dia ingin masuk SMP W. Karena itulah, dia berusaha
keras agar diterima di SMP tersebut. Sayangnya, kenyataan yang datang bagaikan
tamparan yang berhasil menghancurkan impian dan rencana kami berdua.
Cahaya
kecil berhargaku hilang satu. Apakah aku merasa sedih? Tentu saja. Aku sangat
sedih, walau kesedihan yang kurasakan itu tidak terlihat di wajahku.
Di
SMP W, aku menjalani kehidupan anak SMP sama seperti yang kualami saat aku
menginjak bangku di SD sebelum aku berteman dengan Luki. Sendirian. Walau aku
kenal beberapa anak seumuranku, bukan berarti aku dekat dengan mereka seperti
yang kulakukan dengan Luki. Jujur saja aku merindukannya. Tapi bayangan
wajahnya yang sedih karena gagal di ujian masuk, terus menghantuiku. Walau aku
tahu itu bukan salahku, entah kenapa perasaan bersalah tetap menghantuiku.
Mungkin jika aku menghiburnya saat itu, hubunganku dengan dia masih seperti
dulu dan berbagai kemungkinan lainnya mulai bermunculan dipikiranku. Perasaan
menyesal pun datang dan semakin membuat keinginanku untuk menemui Luki hilang.
Luki
pun juga tidak pernah menghubungiku. Kalau dulu, dia pasti akan main ke rumahku
atau meneleponku. Mungkin dia merasa tidak enak karena sudah menghancurkan
rencana yang kami buat. Entahlah. Aku juga tidak pernah menemuinya untuk
menanyakannya.
*****
Di
tahun ke tigaku saat masih semester satu di SMP, aku tidak sengaja bertemu
dengan Luki di tempat fotokopi.
“Hai,
Nino. Mau fotokopi juga ya?” tanya Luki basa-basi. Aku mengangguk.
“Ah
iya, bagaimana kabarmu, No?” tanya Luki lagi.
“Baik,”
jawabku datar.
“Kabar
ibumu gimana? Sehat?” tanya Luki lagi.
Aku
mengangguk. “Ibu sehat,” jawabku singkat dan datar.
Hening.
Sepertinya Luki kehabisan bahan pembicaraan, sementara aku sendiri tidak tahu
harus mengatakan apa. Dari gerak-gerik Luki, aku tahu kalau dia tidak ingin bertemu
denganku.
Beberapa
menit, kami habiskan dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Apa
kamu berhasil punya teman di sana?” tanya Luki, memecah keheningan.
Aku
diam sebentar. “Aku tidak tahu apakah bisa disebut teman atau tidak. Tapi aku
berhasil mengobrol dengan beberapa orang di sana. Walau tidak sebanyak dan
sedekat dirimu,” jawabku kemudian, masih dengan nada datar.
“Begitu
ya…” jawab Luki lirih.
“Kalau
kamu sendiri? Pasti kamu punya banyak teman di sana,” kataku, akhirnya berhasil
mengatakan apa yang ada di pikiranku.
“Dari
awal, SMP C memang bukan sekolah unggulan sih. Orang sepertimu langka di sana.
Dan tentu saja aku berhasil punya banyak teman di sana,” jawab Luki sambil
nyengir kuda. Melihat cengirannya, mau tidak mau aku ikut tersenyum.
Pemilik
fotokopi akhirnya selesai memfotokopi lembaran milik Luki. “Sepuluh ribu,” kata
orang tersebut.
Luki
mengeluarkan satu lembar uang sepuluh ribu, lalu orang itu menyerahkan
fotokopian Luki yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik.
“Fotokopi
berapa?” tanya orang tersebut.
“Satu
saja,” jawabku datar.
Pemilik
fotokopi itu mengangguk kemudian sibuk memfotokopi lembaran yang kuserahkan
kepadanya.
“Aku
duluan ya, No. Kapan-kapan main bareng lagi yuk,” kata Luki.
Aku
mengangguk. Setelah itu, kami berdua berpisah. Tapi perpisahan itu, tidak diselimuti
dengan kesedihan dan penyesalan seperti sebelumnya.
*****
“SMA
E!?” seru Luki. “Aku dengar ujian masuknya susah sekali di sana,” lanjutnya
kemudian sibuk mengisap jus alpukat lewat sedotan.
Aku
mengangguk. “Aku tahu itu.”
“Yah,
aku tidak kaget sih. Kamu kan memang suka masuk ke sekolah unggulan,” kata
Luki.
“Kudengar
hanya sedikit lulusan dari sekolahku yang berhasil masuk ke sana,” balasku.
Luki
mengangguk. “Aku juga pernah mendengarnya.” Luki memajukan badannya, memasang
wajah serius kemudian berkata, “Selain itu, karena ujian masuknya yang sangat
susah, banyak anak-anak dari sekolah sini yang tidak PD mendaftar ujian
masuknya. Karena itulah, sekolah itu dipenuhi anak-anak dari kota tetangga.”
“Kamu
tidak mau mencoba mendaftar ke sana?” tanyaku ke Luki. Bayangan Luki yang gagal
di ujian masuk dulu muncul. Aku baru menyadari kalau kata-kataku barusan sudah
membuka luka lama.
“Boleh
juga,” jawab Luki dengan nada santai. Aku terkejut mendengarnya. Kukira dia
akan memasang wajah sedih atau kecewa, tapi ternyata pemikiranku salah.
“Jika
aku diterima di SMA E, semua orang pasti akan kaget. Anak SMP C berhasil
diterima masuk di SMA E padahal anak SMP W saja hanya sedikit yang berhasil
diterima di sana,” kata Luki seraya menutup ke dua matanya sambil mengangguk. “Baiklah.
Aku akan mencobanya!” seru Luki kemudian.
“Apa
kamu yakin?” tanyaku memastikan.
Luki
mengangguk. “Tentu saja.” Luki menatap ke dua mataku dengan wajah senang sambil
berkata, “Selain itu, pasti menyenangkan bisa satu sekolah denganmu lagi.”
Mendengar
perkataan tersebut, entah kenapa aku merasa bahagia.
Luki
baru teringat sesuatu, lalu berkata, “Ah, tapi aku harus kerja sangat keras. Maukah
kamu membantuku, No?”
Aku
mengangguk.
“Oke.
Sudah diputuskan. Kita berdua akan berusaha masuk ke SMA E! Yeah!” seru Luki
dengan semangat tinggi.
Dan
hari di mana kami berdua belajar bersama dimulai lagi. Kami memulai kegiatan belajar
bersama, lima bulan sebelum ujian akhir dan ujian masuk SMA E di mulai. Lebih
lama dari yang kami lakukan saat masih duduk dibangku SD dulu. Kami bergantian
memilih tempat belajar bersamanya. Minggu pertama kami belajar di rumahnya
Luki, minggu berikutnya kami belajar di rumahku. Awalnya, ke dua ibu kami kaget,
saat melihat kami belajar bersama lagi. Meski begitu, tidak perlu meunggu lama,
ke dua ibu kami sudah terbiasa dengan rutinitas kami. Mereka bahkan memberi
kami ruang dan waktu supaya kami bisa belajar dengan tenang.
Ujian
akhir sekolah berjalan mulus tanpa hambatan. Kemudian hari ujian masuk SMA E
pun dimulai. Kebetulan aku satu kelas dengan Luki saat ujian berlangsung. Aku
duduk tepat dua kursi di belakang Luki, di baris sebelah kanannya. Karena itulah,
aku dapat melihatnya namun tidak bisa melihat ekspresi seperti apa yang muncul
di wajah Luki saat ujian sedang berlangsung. Dalam hati, aku berdoa semoga Luki
dan aku dapat satu sekolah bahkan sekelas lagi. Aku tidak ingin cahaya kecil tersebut
hilang untuk ke dua kalinya.
Satu
bulan berlalu dengan cepatnya. Hari pengumuman hasil ujian masuk SMA E, mulai
dipasang di papan pengumuman masing-masing sekolah. Di papan pengumuman SMA E
yang terletak tidak jauh dari gerbang depannya, tampak segerombolan manusia
mulai dari yang seumuranku sampai orang dewasa, rela berdesak-desakkan untuk
melihat apakah anaknya, kenalannya, atau dirinya berhasil masuk di sekolah
tersebut. Tentu saja, aku dan Luki termasuk dalam gerombolan manusia tersebut.
Ke dua mataku mulai sibuk mencari nomor ujianku dan ada. Nomor ujianku tertulis
di papan pengumuman tersebut. Sebelum rasa bahagia sempat menyelimuti, aku
langsung mencari nomor ujian milik Luki.
“Tidak
ada…” gumamku. Seakan tidak mau menghadapi kenyataan yang ada, aku mencari
nomor ujian Luki sekali lagi. Tidak ada.
Aku terus menerus mengulangi pencarian nomor ujian Luki, walau dalam hati
kecilku aku sudah tahu nomor ujian Luki tidak tertulis di papan tersebut.
Aku
merasakan ada seseorang yang menepuk bahuku, kemudian berbisik, “Sudah cukup, Nino.
Terima kasih.”
Mendengar
kalimat tersebut dari seseorang yang sudah lama kukenal membuatku terpaksa
menelan pahit rasa kecewa itu.
*****
“Tadi
itu banyak sekali orangnya. Aku sampai takut terinjak-injak tadi. Padahal hasil
pengumumannya juga akan dikirim ke rumah dan sekolah,” kata Luki dalam
perjalanan pulang ke rumah.
“Tapi,
kebanyakan orang merasa sangat penasaran, apakah berhasil masuk atau tidak di
ujian masuk SMA E. Mana ujian masuknya kemarin susah sekali,” tambahnya.
Luki
menghela napasnya, kemudian berkata, “Jika ada yang bisa masuk, berarti ada
juga yang gagal. Bukan hal yang mengagetkan, sih. Karena itulah, hapuslah air
matamu kawan.”
Benar.
Sepanjang perjalanan pulang, air mataku terus mengalir tanpa bisa kuhentikan. Bingung,
akhirnya aku terus berjalan dengan kepala tertunduk. Mungkin aku terlalu kecewa
dengan kenyataan yang ada di hadapanku.
“Err…
jujur saja. Aku tidak tahu cara menghentikan supaya orang tidak menangis lagi.
Entah itu laki-laki atau perempuan…” kata Luki dengan nada lirih. “Tetapi…”
Luki menarik napas panjang, lalu berkata, “Terima kasih, kawan. Sudah menangis
demi diriku.” Kemudian dia menepuk punggungku.
Saat
itu, aku sendiri sebetulnya tidak paham, kenapa air mataku tidak mau berhenti
menetes. Semakin aku ingin berhenti, semakin deras air mata ini mengalir. Namun,
setelah mendengar kata terima kasih dari Luki, tiba-tiba ada perasaan yang menguap
begitu saja. Aku tidak tahu perasaan apa itu. Kecewa? Atau sedih? Memang air
mataku tidak bisa langsung berhenti seketika, setidaknya jatuhnya sudah tidak
sederas sebelumnya.
“Oh
iya, aku hampir saja lupa memberitahumu,” kata Luki seperti baru saja teringat
sesuatu. “Aku berhasil diterima di SMA A.”
“SMA
A?” tanyaku dengan nada lirih seraya menoleh ke arah Luki. Tentu saja dengan air
mata yang masih menetes.
“Betul
sekali!” jawab Luki sambil menyerigai.
“Jujur
saja, aku sangat kaget. Aku tidak menduga kalau ternyata aku bisa berhasil
masuk SMA A. Padahal itu SMA tersulit nomor dua setelah SMA E,” lanjutnya
dengan senyum menghiasi wajahnya. “Oh iya, aku dengar banyak anak-anak dari
sekolahmu yang memilih sekolah di sana loh. Huwaaa, harus terus semangat
belajarnya nih kalau tidak mau ketinggalan.”
Akhirnya
air mataku sudah berhenti menetes. Kuhentikan langkahku. Luki yang melihatku
berhenti, ikut berhenti.
“Ada
apa?” tanya Luki seraya membalikkan tubuhnya ke arahku. Setelah itu, dia
berjalan mendekatiku.
“Apa
kamu tidak kecewa?” tanyaku lirih ketika jarak kami hanya tinggal beberapa
senti.
Luki
berpikir sebentar. “Jika ditanya apa aku tidak kecewa, tentu saja aku kecewa.
Tidak bisa satu sekolah denganmu lagi. Tidak bisa sekelas denganmu lagi. Tentu
saja aku sangat kecewa,” jawab Luki kemudian.
Pastinya, ya. Dia pasti
yang paling kecewa. Dia pasti yang paling sedih. Semua usaha kerasnya selama
ini terbuang sia-sia, batinku dengan ke dua tangan
mengepal erat.
“Tetapi,
tidak satu sekolah bukan berarti kita tidak dapat berteman seperti dulu kan?” Kalimat
yang Luki lontarkan membuatku terkejut.
Luki
menundukkan kepalanya seraya berkata, “Sebetulnya aku selalu berpikir, apa yang
harus kulakukan jika aku gagal. Apakah aku akan merasakan hal yang sama seperti
dulu lagi saat itu terjadi. Pikiran itu terus saja muncul. Dan aku tidak mau
itu terjadi.”
Dengan
gerakan perlahan, Luki mendongakkan kepalanya ke arahku. Dia tatap mataku
lekat-lekat. “Jujur saja. Aku tidak ingin kita putus hubungan seperti di awal
SMP dulu. Aku ingin kita menghabiskan waktu berdua. Bermain bersama,
jalan-jalan, tertawa bersama, sama seperti saat kita SD dulu walau kita beda
sekolah.” Luki diam sebentar. Lalu dia menambahkan dengan kalimat, “Itu jika
kamu tidak keberatan,” sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Aku
maju ke arah Luki berdiri, lalu menepuk punggungnya seraya berkata. “Jawabannya
tentu saja, aku tidak keberatan.”
“Pffft.
Hahaha.” Luki tertawa mendengar jawabanku. “Apaan itu?! Keren sekali gayamu!
Dari mana kamu belajar gaya seperti itu, ha?”
Aku
ikut tersenyum mendengarnya. Aku lega, cahaya kecilku tidak menghilang lagi
untuk ke dua kalinya.
*****
Jika
ada yang mengatakan SMA adalah masa terindah, aku sedikit tidak setuju. Bagiku,
tiga tahun yang kuhabiskan di SMA tidak jelek dan juga tidak bagus. Biasa saja.
Hubunganku dengan Luki memang masih sama seperti saat kami masih di bangku SD,
yang berbeda hanyalah sekolah kami saja. Luki masih sering main ke rumahku,
begitu juga sebaliknya. Kami sering belajar bersama dan meluangkan waktu
bersama.
Kesannya
seperti temanku hanya Luki seorang. Walau tidak salah sebetulnya. Temanku
memang hanya Luki seorang. Aku sempat kenal dengan beberapa orang tapi tidak
sampai dekat. Tidak sedekat Luki, lebih tepatnya. Karena itulah, tiga tahun di
SMA bagiku berjalan terasa sangat cepat. Tanpa terasa, aku sudah menjadi siswa
kelas tiga. Benar. Aku dan Luki sekarang sudah menjadi murid SMA yang paling
atas. Yang artinya, kami berdua akan menghadapi ujian kelulusan.
Karena
kami berdua pulang lebih cepat dari biasanya, kami pun memutuskan untuk belajar
bersama di rumah Luki.
“Lagi-lagi
ujian,” gerutu Luki sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Sudah
kelas tiga. Jadi tidak kaget,” balasku datar.
“Aku
benci ujian,” gerutu Luki. Kemudian dia tiduran di lantai dengan ke dua
lengannya yang ditekuk menutupi ke dua matanya, sementara aku menikmati es
sirup yang dibuatkan ibu Luki sebelum beliau pergi karena ada acara yang harus
dihadiri.
“Mau
gimana lagi. Kalau tidak ikut ujian, tidak akan lulus,” balasku dengan nada
datar.
“Jika
tidak lulus, tidak akan bisa kuliah,” lanjutku masih dengan nada datar.
Hening
sesaat.
“Sudah
kuduga kamu akan kuliah setelah lulus SMA,” kata Luki sambil merentangkan ke
dua tangannya dengan pandangan menatap langit-langit atap. Lalu dia merubah
posisinya menjadi duduk dan mulai meneguk es sirupnya.
“Memang
kamu tidak kuliah, Ki?” tanyaku dengan nada datar.
“Hm?
Aku?” katanya dengan sedotan dimulutnya. Luki diam sebentar kemudian menjawab,
“Tidak.”
“Dipikir
berapa kali pun, aku tetap tidak mau kuliah,” lanjutnya. “Karena aku malas
belajar dan benci ujian.”
“Apa
ke dua orang tuamu sudah tahu tentang hal ini?” tanyaku lagi.
Luki
mengangguk. “Ibu dan ayahku menyerahkan keputusan itu kepadaku. Padahal kukira
mereka akan memarahiku saat aku mengatakannya.”
Luki
berdeham. “Sebetulnya, aku harus berterima kasih kepadamu.” Luki diam sebentar,
berpikir. “Tidak. Kata terima kasih pun belum cukup. Jika bukan karena kamu,
diterima di SMA A pasti menjadi hal yang mustahil bagi diriku,” lanjutnya. Luki
diam lagi. Kemudian dia garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan kepala
tertunduk kebawah. “Ja — jadi. Jika kamu ada masalah atau butuh bantuan.
Katakan saja padaku. Mungkin aku bisa membantumu,” kata Luki dengan nada yang
jelas sekali canggungnya.
Baru
kali ini aku melihat Luki yang seperti ini. Rasanya…
“Jijik,”
balasku datar.
Luki
sangat terkejut mendengarnya. “Kamu tadi bilang apa, No?”
“Menjijikkan,”
ulangku tanpa basa-basi.
Luki
masih memasang ekspresi tidak percaya. Lalu dia tertawa. Kemudian dia mengamuk,
“Kamu bilang apa?! Jijik, katamu?! Minta dihajar ya?!”
Aku
tidak kaget dengan reaksi Luki yang mengamuk. Meskipun begitu, aku tetap tidak
bisa mengusir rasa jijik yang menyelimuti.
“Berhenti
mengeluarkan kalimat seolah-olah aku perempuan yang mau kamu tembak,” balasku.
Luki
yang mendengar perkataanku, langsung kebingungan. Tidak paham dengan apa yang
kumaksud.
“Caramu
bicara tadi. Itu sangat menjijikkan,” lanjutku. “Selain itu, bukannya normal
jika teman saling membantu saat berada dalam kesusahan?”
Luki
diam sebentar, mencoba menelaah perkataanku barusan. Beberapa detik kemudian,
senyum menghiasi wajahnya. Sepertinya dia sudah paham dengan yang kumaksud.
“Aku
tidak ingin mendengar kata-kata itu dari orang yang sama sekali tidak punya
teman selain diriku,” balasnya seraya menyengir. Mau tak mau, aku ikut nyengir
mendengarnya.
*****
Sebelum
ujian akhir SMA dimulai, aku mendapat berita kalau aku sudah diterima di
Universitas dengan jurusan yang kuincar. Luki tentu saja senang saat mendengar
kabar ini, begitu juga dengan ibuku. Ayahku? Seperti biasa, dia tidak
mempedulikanku. Aku tidak kaget mendapati reaksinya yang seperti itu.
Tak
lama kemudian, masa SMA pun berakhir dan kehidupanku sebagai mahasiswa baru pun
dimulai. Karena Universitas yang kupilih itu letaknya di kota tetangga, mau
tidak mau, aku pun memilih untuk meninggalkan kota tempat ke dua orang tua dan
temanku satu-satunya berada. Aku memilih tinggal di rumah susun yang termasuk
salah satu fasilitas yang ditawarkan oleh Universitas. Selain harganya murah,
lokasi yang tidak jauh dengan kampus, aku mendapat hak istimewa karena berhasil
mendapatkan beasiswa. Hak istimewanya adalah bisa menempati satu kamar
sendirian.
Apa
aku tidak merasa kesepian? Jawabannya tidak. Ibuku sering meneleponku, entah
sekadar menanyakan tentang kabarku atau ingin mengajakku ngobrol. Selain itu,
Luki juga sering main di tempatku bahkan menginap. Jadi aku tidak merasa
kesepian sama sekali. Hanya saja, kehidupan yang bahagia itu hanya bisa
kunikmati sesaat.
Ibuku
mendadak jatuh sakit. Aku berusaha menyempatkan waktu untuk pulang dan menginap
di rumah setiap hari sabtu dan minggu, dua minggu sekali. Setiap kali aku
pulang, rona bahagia selalu menghiasi wajah ibuku, membuatku tidak ingin
kembali ke kehidupan mahasiswaku.
Setelah
itu, masa-masa sibuk pun datang. Aku mendapat tugas dari dosenku untuk membantu
penelitiannya. Diriku yang semula masih bisa menyempatkan pulang walau hanya
beberapa menit, demi melihat keadaan ibuku, sekarang sudah tidak bisa lagi
kulakukan. Jujur aku kesulitan dalam mengatur waktuku. Bahkan tugas-tugas
kuliahku pun hampir terbengkalai karena penelitian tersebut. Karena sudah
terbiasa harus mendapatkan hasil sempurna, aku pun mulai mengorbankan sesuatu
demi mendapatkan hasil yang sempurna tersebut. Ya. Waktu untuk mengunjungi
ibuku, itulah yang kukorbankan.
Awalnya,
aku meminta izin, karena tidak bisa menemui ibu sementara waktu. Ibu pun
menyetujuinya. Beberapa hari kemudian, ibu sering meneleponku. Katanya ingin melepas
rindu, walau hanya bisa mendegar suaraku dari telepon saja. Minggu-minggu
sebelum jadwal mulai mencekikku, aku membiarkan ibuku meneleponku saat dia
ingin bicara denganku. Makin lama, aku semakin ditelan kesibukan sehingga hanya
bisa minta maaf dan mengatakan pada ibuku kalau aku sibuk. Untuk menebus rasa
bersalahku, aku pun meminta tolong ke Luki untuk menemani ibuku di saat dia
sedang senggang. Luki menyetujuinya. Dia mengatakan kalau dia malah senang
mengunjungi ibuku. Aku lega mendengarnya. Aku semakin lega saat mendengar nada
bahagia ibu yang menceritakan tentang kedatangan Luki.
Di
setiap sambungan teleponku dengan ibuku mau berakhir, aku selalu minta maaf
padaku atas kesibukanku yang membuatku bahkan tidak sempat menjenguk ibu. Ibu
selalu menjawab, “Tidak apa. Selama kamu di sana sehat. Ibu sudah senang.” Aku
selalu bisa membayangkan senyum ibu saat mengatakannya.
Deadline
penelitian dikumpulkan semakin dekat. Aku semakin tenggelam dalam kesibukan
hingga bingung sendiri mengatur jadwalku. Ibu yang memahami keadaan dan situasi
yang sedang kuhadapi, mulai mengurangi frekuensi meneleponnya. Yang semula dua
hari sekali menjadi empat hari sekali. Empat hari sekali, menjadi seminggu
sekali. Seminggu sekali, menjadi dua minggu sekali. Begitu seterusnya, hingga
aku tidak ingat kapan terakhir kalinya ibu meneleponku. Sampai akhirnya, ayah
meneleponku. Beliau menyuruhku untuk menjenguk ibuku, karena kondisi ibuku yang
semakin kritis. Padahal aku sedang dalam kondisi tidak bisa pergi kemana-mana. Benar.
Karena penelitian itu, waktu semakin mengikatku.
“Maaf,
ayah. Aku tidak bisa. Aku sedang dalam penelitian dan…”
“Penelitian!
Penelitian! Apakah penelitian lebih penting daripada ibumu!? Orang yang selalu
merawatmu dan menjagamu sejak kamu masih kecil. Apa kamu aku akan membuangnya
begitu saja!?” potong ayah dengan suara keras.
“Bukan
begitu, ayah…” Aku juga… aku juga ingin
bersama ibu. Aku juga ingin menemani ibu. Ingin sekali aku mengatakan pikiranku
itu, hanya saja tidak bisa kulakukan, karena aku memang tidak bisa melakukannya
sekarang.
“Ayah…”
terdengar suara seorang wanita bernada lembut yang sangat kukenal dan
kurindukan.
“Apa
aku boleh bicara dengan Nino sebentar?” tanyanya.
Terdengar
suara gemeresek, sepertinya ayah menyerahkan handphone miliknya ke wanita tersebut.
“Halo?”
kata wanita tersebut yang ditutup dengan nada bertanya.
“Halo,”
jawabku,
“Nino,
ini ibu.”
Aku
mengangguk tanpa mengatakan sepatah kata pun. Walau aku tahu ibu tidak bisa
melihat anggukanku lewat telepon, entah kenapa kepalaku bergerak begitu saja.
“Bagaimana
keadaanmu di sana, sayang?” tanyanya dengan suara lembut dan lemas.
“Aku
baik-baik saja di sini,” jawabku datar.
“Syukurlah.
Apa kamu makan dengan teratur?” Lagi-lagi aku mengangguk tanpa suara.
“Jangan
lupa istirahat yang cukup. Kamu itu kalau sudah fokus melakukan sesuatu, pasti
lupa segalanya,” nasihat ibu.
Aku
mengangguk. Air mataku menetes tidak bisa dihentikan.
“Ibu
tutup dulu ya, nak. Lanjutkan apa yang sedang kamu kerjakan sekarang. Jangan
cemaskan ibu. Ibu baik-baik saja di sini.” Untuk kesekian kalinya, aku
mengangguk tanpa menjawab.
“Dah,
sayang.” Sambungan pun terputus.
Lututku
langsung lemas seketika. Aku jatuh terduduk. Kemudian ke dua tanganku menyentuh
lantai, kepalaku menunduk ke bawah. Posisiku seperti posisi balita yang hendak
merangkak. Bedanya aku diam tidak bergerak dengan air mata yang terus mengalir
tanpa henti.
*****
Terdengar
suara pintu di ketuk, saat aku sedang berada di dunia mimpi. Kubuka ke dua
mataku dengan malas sambil berharap suara ketukan itu hanyalah mimpi. Namun
suaranya semakin keras. Akhirnya aku berdiri dan berjalan menuju ke arah sumber
suara dengan malas.
Kubuka
kenop pintu yang semula kukunci dan sinar mentari yang menyilaukan langsung
menyerang ke dua mataku. Butuh waktu beberapa detik sampai aku akhirnya dapat
melihat siapa yang mengetuk pintu. Ternyata orang tersebut adalah Luki, teman
kecilku. Dia menatapku dengan tatapan cemas yang terlihat sekali di raut
mukanya. Saat itulah aku baru menyadari, penampilanku sangat berantakan.
Sebetulnya,
seminggu ini aku terus mengerjakan penelitian. Tiga hari ini, aku benar-benar
memfokuskan diriku untuk menyelesaikan penelitian. Aku tidak mandi ataupun ke
luar dari kamar, demi menyelesaikan bagian penelitian yang kukerjakan. Makan?
Aku makan seadanya. Kebetulan aku sudah membeli banyak mie instant sebelum mendapat tugas penelitian tersebut. Kuliah? Aku
menggunakan kesempatan bolosku agar aku bisa cepat menyelesaikan bagian
penelitianku, sehingga aku dapat segera pulang dan menjenguk ibuku. Itulah
rencanaku. Tentu saja, setelah aku tidur beberapa jam.
“Kamu
baik-baik saja?” tanya Luki akhirnya.
Aku
mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
Hening
sebentar.
“Masuklah,”
kataku kemudian.
Saat
aku melihat ke dalam kamarku, aku pun baru menyadari betapa berantakannya
kamarku sekarang. Baju-baju yang tergeletak di kursi meja dan lantai, yang
bahkan aku tidak tahu lagi mana yang kotor dan mana yang bersih. Piring-piring
dan gelas kotor yang tergeletak di lantai begitu saja. Buku-buku dalam keadaan
terbuka yang juga berserakan di lantai dan barang lainnya. Intinya kondisi kamarku
sekarang sudah seperti kapal pecah.
“Maaf,
kamarku berantakan. Aku belum sempat membersihkannya,” kataku. Luki hanya diam
saja memandangi kamarku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Kelihatannya dia
sangat kaget dengan kacaunya isi kamarku.
“Mau
minum apa?” tanyaku kepadanya.
“Apa
pun boleh,” jawab Luki akhirnya.
Kulangkahkan
kakiku ke tempat aku biasa meletakkan gelas-gelasku. Sayangnya tidak ada gelas
atau peralatan makanan lainnya di sana. Semuanya
belum kucuci ya? batinku dengan wajah datar.
“Aku mau pergi ke luar dulu. Kamu mau minum
apa?” tanyaku lagi.
“Tidak
perlu repot-repot. Lagipula aku tidak haus,” jawab Luki dengan posisi duduk di
atas kasurku.
Aku
menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Sebaiknya
kamu segera mandi deh. Lalu kita bersihkan tempat ini,” perintah Luki seraya menggulung
lengan kemejanya.
Aku
menatap isi kamarku dengan pandangan tidak tertarik.
“Kebetulan
aku sedang libur, jadi aku bisa membantumu bersih-bersih,” lanjut Luki.
Aku
menghela napasku, kemudian mencari handukku dan pergi ke kamar mandi, sesuai
perintahnya. Setelah beberapa menit kemudian, aku sudah menyelesaikan kegiatan
mandiku. Saat aku sedang mengeringkan tubuhku dengan handuk, aku baru sadar
kalau tidak membawa baju ganti. Akhirnya aku ke luar dari kamar mandi dengan
bertelanjang dada.
“Pakai
ini,” kata Luki seraya menyerahkan T-shirt
berwarna hijau kepadaku. “Aku sudah memilah bajumu yang kotor dan bersih. Jadi
pakailah,” lanjut Luki. Kuterima T-shirt
hijau tersebut dan langsung memakainya.
“No,
apa pelitianmu sudah selesai?” tanya Luki yang sibuk mencuci piring kotorku.
“Sudah,”
jawabku dengan ke dua tangan sibuk menggosok rambutku yang masih basah dengan
handuk.
“Yang
benar?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
Aku
mengangguk. “Aku sudah menyelesaikan semuanya. Karena itulah, jadwalku sekarang
kosong. Aku jadi bisa menjenguk ibuku sekarang,” jawabku dengan nada datar.
Walau
sekarang, Luki sedang mengelap ke dua tangannya dengan serbet motif kotak-kotak
merah, tetapi tatapannya saat memandangku menunjukkan kesedihan yang aku tidak
paham alasannya. Seketika aku mendapat firasat buruk. Berbagai macam
kemungkinan buruk muncul di pikiranku.
Aku
menelan ludahku. “Ada apa?” tanyaku, memberanikan diri untuk bertanya.
“Di
mana handphone mu?” tanya Luki yang
kemudian duduk di atas kasurku. Bukannya menjawab pertanyaanku, Luki malah
balik bertanya.
“Handphone?” Aku mencoba mengingat di
mana aku meletakkan benda hitam kecil berbentuk persegi panjang itu.
Aku
mencoba mencari di tempat yang sepertinya, terakhir kali aku melihat benda
kecil itu tergeletak seraya berkata, “Hm… aku tidak ingat di mana meletakkannya.”
Beberapa
menit kemudian, aku berhasil menemukan benda kecil itu dalam keadaan tidak
menyala. Jujur saja aku tidak kaget saat mendapati benda kecil itu mati, karena
beberapa hari ini aku tidak mengurusinya. Saat berbunyi atau ada pemberitahuan
apa, aku mengabaikannya. Makanya aku tidak ingat di mana benda kecil tersebut berada.
Luki
menghela napasnya saat melihatku yang akhirnya berhasil menemukan handphoneku. “Sudah kuduga, kamu akan
lupa di mana kamu menaruh handphonemu,”
katanya. “Segera isi bateraimu, lalu dengarkan apa tujuanku ke mari.”
Aku
menurut. Setelah aku selesai memasang kabel untuk mengisi baterai handphoneku, aku duduk di lantai,
berhadapan dengan Luki. Luki menatap langsung ke dua mataku, kemudian dia pun
memberitahuku kalau ibuku meninggal tadi pagi.
"Aku
terus meneleponmu tadi malam saat ibumu dalam kondisi kritis. Namun, kamu tidak
mengangkatnya, sampai ada pemberitahuan kalau handphonemu mati." Aku mencoba mengingat keadaan tadi malam,
tapi gagal. Yang muncul hanyalah rangkaian kalimat dari penelitian yang
kukerjakan tadi malam.
"Jujur
saja, aku marah kepadamu. Aku kemari pun sebetulnya ingin menghajarmu. Tapi
keinginan itu hilang saat aku melihat keadaanmu," lanjut Luki disusul
dengan helaan napas yang panjang dari dirinya. Sementara aku hanya diam
membisu. Bingung harus berbuat apa. Aku melihat ke arah jam dinding yang
menunjukkan pukul 11. Ibu pasti sudah dikubur, batinku.
Rasanya
semuanya gelap. Cahaya yang selama ini membimbingku, menemaniku dan
melindungiku, kini telah lenyap. Air mataku jatuh satu per satu, tanpa bisa
kutahan. Luki mendekatiku, kemudian menepuk punggungku tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun.
*****
Kuputuskan
untuk pulang ke rumah dengan diantar oleh Luki menggunakan sepeda montornya. Di
rumah, masih banyak orang yang berkumpul di sana. Ada beberapa wajah yang
kukenal dan ada juga yang tidak. Walau ada banyak orang di sana, entah kenapa
rasanya ada yang berbeda. Tanpa menghiraukan perkataan dan pandangan mereka,
aku segera masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke dalam kamarku. Kamarku
masih sama kondisinya dengan terakhir kali kutinggal. Tak ada yang berubah
sedikit pun. Benar. Yang tidak berubah hanya kondisi kamarku. Lalu bayangan ibu
yang selalu menyambutku pulang, muncul. Aku merasakan air mataku hampir jatuh,
namun kutahan sekuat tenaga.
“Jangan
menangis,” perintahku pada diriku sendiri. “Kamu harus menahannya. Inilah hasil
yang kamu dapat karena keputusanmu sendiri.”
Aku
segera mengganti bajuku. Ke luar dari kamarku, kemudian membantu entah hanya
mengantarkan piring berisi makanan atau minuman kepada para tamu yang datang. Berbicara
pun ketika ada yang bertanya atau mengajak ngobrol. Itu pun hanya bicara
seperlunya. Selama aku menyibukkan diriku, perasaan aneh terus mengganjal
diriku. Aku tidak tahu perasaan apa itu, jadi aku tidak bisa menuliskannya di
sini.
Akhirnya,
langit biru yang cerah sudah berganti gelap. Jam dinding menunjukkan pukul
sembilan. Para tamu sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Di rumah itu
hanya tinggal aku dan ayahku. Aku berjalan ke arah dapur sambil membawa piring
dan gelas kotor ke tempat cuci piring. Lalu mulai sibuk mencucinya.
Hening.
Bahkan suara air yang turun dari keran air, diiringi dengan suara piring yang
bersentuhan dengan peralatan makan lainnya pun, tidak mampu menghilangkan
keheningan yang menyelimuti. Semakin lama, keheningan itu semakin mencekikku. Aku
ingin berteriak, tapi tidak bisa. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk
menghilangkan keheningan tersebut.
Tiba-tiba
ayahku mendeham. “Nino, jika kamu sudah selesai, maukah kamu menemani ayah
sebentar? Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Baik,
ayah,” jawabku tanpa berhenti mencuci piring.
Setelah
menyelesaikan kegiatan mencuciku, kututup keran air seerat mungkin supaya tidak
ada tetesan air yang keluar. Kemudian mengeringkan tanganku dengan serbet
bermotif kotak-kotak putih-merah yang tergeletak di meja makan. Kulangkahkan
kakiku ke tempat ayah yang sedang duduk manis sambil membaca koran. Lalu duduk di
depan ayahku dengan posisi duduk bersila.
Ayah melipat koran yang sedari tadi dibacanya
dan meletakkannya di sampingnya. Dia menghela napasnya. “Sebetulnya aku tidak
tahu mau bicara apa sama kamu,"
Aku
diam, tidak menjawab. Hanya menundukkan kepala seperti orang yang sudah
melakukan perbuatan salah.
“Suasana
ini menyakitkan,” lanjutnya. “Jujur saja aku tidak menyukainya. Di tambah lagi,
ini pertama kalinya kita duduk hanya berdua di rumah ini, saling berhadapan.”
Memang
benar. Ini pertama kalinya kami melakukannya. Bahkan saat ibu kandungku masih
hidup, tidak pernah sekali pun kami berdua duduk berhadapan seperti ini.
“Yang
ingin kukatakan adalah…” Ayah diam sebentar. “Maafkan aku,” lanjutnya dengan
nada penuh penyesalan.
Kubelalakkan
ke dua mataku, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Dengan gerakan perlahan,
kudongakkan kepalaku sehingga aku bisa melihat raut wajah yang dipasang ayahku.
“Maafkan
aku, Nino. Atas semua yang sudah kulakukan padamu, ayah minta maaf.”
Ha? Apa yang baru saja
kudengar? Ayah… minta maaf? Ini bohong kan? Jangan-jangan ini mimpi.
“Dulu,
ayah bingung tidak tahu harus berbuat apa. Ayah membiarkanmu saat ibumu…” Ayah
berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perkatannya lagi, “Ibu kandungmu menghajarmu,
menghinamu. Bahkan ayah ikut-ikutan melakukan apa yang ibumu lakukan. Tapi,
ayah ingin berubah. Ayah ingin mengulang dari awal lagi. Memang apa yang ayah
lakukan sekarang, bagimu pasti semua sudah terlambat. Tapi ayah ingin
mencobanya.”
Hening.
Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Apa
ibu yang memintanya sebelum ibu meninggal?” tanyaku beberapa detik kemudian.
“Rika
hanya menyuruhku untuk menjagamu,” jawab ayah singkat.
Rika
adalah nama ibu tiriku. Ibu yang sangat kusayang dan kini aku sudah tidak dapat
bertemu dengannya lagi.
“Mungkin
kamu bertanya-tanya kenapa baru sekarang ayah minta maaf kepadamu setelah Rika
sudah tidak ada di sini lagi. Sebetulnya aku…” Ayah berhenti lagi, dia
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ekspresi bingung terlihat jelas di
wajahnya saat dia melanjutkan apa yang akan dikatakannya. “Ayah ingin segera
minta maaf kepadamu. Ayah ingin kita menjadi keluarga seperti keluarga yang
lainnya. Saling menyayangi, saling memaafkan satu sama lain. Ayah ingin
melakukannya sebelum Rika meninggal. Dan ayah baru bisa melakukan ini saat Rika
meninggal. Aku benar-benar bodoh. Aku benar-benar pengecut,” kata ayah sambil
mengepalkan ke dua tangannya erat-erat. Dari raut wajahnya, terlihat sekali
kalau ayah menahan agar air matanya tidak terjatuh.
Aku
memalingkan pandanganku ke arah lainnya. Tidak ingin melihat ekspresi ayah yang
menahan kesedihan. Tidak ingin mempercayai apa yang dikatakannya. Sayangnya,
aku tidak bisa membuang ingatan tentang ekspresi ayah yang barusan.
“Kamu
boleh tidak percaya dengan apa yang kukatakan,” lanjut ayah.
Mendengar
kalimat yang dikeluarkannya, aku memberanikan diriku untuk menatap ke arah
ayah. Melihat wajah seperti apa yang ayah tunjukkan. Jujur saja aku terkejut
setelah melihatnya. Ayah menundukkan kepalanya dengan wajah penuh penyesalan. Badannya
yang selalu tampak besar di mataku, kini terlihat kecil. Apakah ini ayahku?
Ayahku yang selalu terlihat besar dan galak?
“Bohong,”
kataku dengan nada tidak percaya. “Ayah pasti bohong kan?” Ayah mendongakkan
kepalanya ke arahku. Menatap langsung ke dua mataku.
“Jika
ayah benar-benar ingin kita saling menyayangi. Ingin kita seperti keluarga
bahagia lainnya, lalu kenapa…” Tubuhku gemetar penuh amarah. “Lalu kenapa ayah
memukulku, menghinaku di depan ibu Rika?!” bentakku marah.
Aku
langsung berdiri, kemudian berseru dengan amarah yang masih menyelimuti diriku,
“Apa ayah ingat betapa takutnya ibu saat melihat ayah marah? Ibu gemetaran. Ibu
memelukku dengan tubuh gemetaran. Dengan air mata yang terus mengalir, dia
memohon supaya ayah tenang!”
“Ayah
memang tidak pernah memukulku ataupun ibu, tapi kata-kata yang ayah keluarkan…”
Aku menghentikan perkataanku yang masih belum selesai. Kutundukkan kepalaku
saat ingatan ketika ayah mengamuk terus menerus berputar di kepalaku.
“Kamu
benar,” kata ayah dengan nada pasrah. “Apa yang kulakukan dulu itu sangat jahat.
Dan permintaan maafku, menurutmu pasti sudah sangat terlambat sekarang. Ayah
menyadari hal itu.”
Aku
mendongakkan kepalaku. Ekspresi ayah yang penuh penyesalan masih belum berubah.
“Karena
itulah, jika kamu tidak ingin memaafkan apa yang sudah ayah lakukan. Tidak
apa,” kata Ayah dengan tatapan sedih.
“Nino…”
panggil ayah.
Dengan
gerakan spontan, kututup ke dua telingaku. Tiba-tiba ayah memelukku. Aku tentu
saja terkejut. Aku ingin meronta tapi tidak kulakukan. Hening. Ayah memelukku
tanpa bicara sepatah kata pun, begitu juga dengan diriku. Namun, beberapa detik
kemudian aku merasakan tetesan air dipundakku.
“Nino…” panggil ayah sambil terisak. “Maafkan
ayah.”
Ayah
terus mengulang permintaan maafnya sampai aku tidak bisa menghitungnya. Sebetulnya,
aku masih meragukan ayah. Apakah ayah
benar-benar minta maaf dengan tulus? Apakah ini hanya sandiwara ayah saja,
supaya aku menerimanya kemudian dia akan membuangku lagi? Pikiran negatif
terus menyelimutiku, sampai aku teringat dengan perkataan ibu. Jika ada yang minta maaf. Maafkanlah. Mau
dia tulus atau hanya pura-pura.
*****
Saat
itu, langit berwarna orange. Aku
duduk dipangkuan ibuku dengan seragam SD yang masih melekat di tubuhku. Kalau
tidak salah, saat itu pertengkaranku pertama kalinya dengan Luki.
“Jika
ada yang minta maaf. Maafkanlah. Mau dia tulus atau hanya pura-pura,” kata ibu seraya
mengelus-elus rambutku.
“Tapi
kita tidak tahu apakah orang itu benar-benar menyesal atau tidak?” balasku.
“Kalau
begitu apa Nino tahu seperti apa orang yang benar-benar menyesal?” balas ibu.
Pertanyaan ibu berhasil membuatku tidak bisa menjawab.
Kemudian
ibu memelukku lalu berkata, “Kamu akan menyesal jika kamu tidak memaafkannya
nanti.”
“Apa
ibu pernah melakukannya?” tanyaku. “Tidak memaafkan orang yang minta maaf
kepada ibu? Padahal orang itu benar-benar menyesali perbuatannya?”
“Pernah,”
jawab ibu dengan jawaban yang tidak pernah kuduga. “Kemudian ibu merasa sangat
menyesalinya sampai sekarang.”
“Karena
itulah, ibu tidak ingin Nino mengalami apa yang ibu rasakan,” lanjut ibu.
*****
Aku
masih tidak mengatakan apapun sampai ayah melepas pelukannya. Saat melihat ayah
yang sibuk menghapus air matanya, aku merasakan sebuah perasaan yang tidak bisa
kujelaskan dengan kata-kata.
“Ayah,”
panggilku.
“Hm?”
jawab ayah yang sibuk menghapus bekas air matanya dengan bagian paling bawah T-shirt biru tua yang dipakainya.
“Apa
ayah menyayangi ibu Rika?” tanyaku.
“Tentu
saja. Jika tidak, ayah tidak akan menikah dengannya,” jawab ayah dengan tatapan
bahagia, seakan dia baru saja teringat kenangan indahnya bersama ibu.
Ah orang ini sama
sepertiku. Dia juga sangat sayang sama ibu. Selama ini, aku
mengira kalau ayah tidak menyayangi ibuku. Aku selalu berpikir kalau ayah
sebetulnya ingin membuangku dan keinginannya terkabul saat dia menikah dengan
ibu Rika. Ibu Rika menyayangiku seperti anaknya sendiri. Aku juga
menyayanginya. Karena itulah, aku rela jika ayah membuangku kepadanya. Ternyata
selama ini, aku salah.
“Jika
kamu tidak ingin berada di rumah ini lagi karena ayah. Tidak apa. Kamu tidak
perlu takut tentang biaya kuliah, biaya sewa kamar ataupun uang sakumu. Ayah
akan mengirimkannya langsung ke rekeningmu,” lanjut ayah setelah berhasil menenangkan
dirinya lagi.
“Aku
akan sering pulang. Saat aku punya waktu luang, akan kuhabiskan waktuku di
sini. Di rumah ini,” jawabku. “Itu, jika ayah tidak keberatan,” lanjutku.
Ayah
terkejut dengan jawabanku, kemudian dia tersenyum. Baru kali ini aku melihat
ayahku tersenyum langsung kepadaku. Rasa sedih ditinggal ibu memang tidak
lenyap begitu saja. Namun aku merasa kalau tubuhku lebih ringan daripada
sebelumnya.
Ibu terima kasih. Terima
kasih sudah menyayangiku, menemaniku dan melindungiku. Sekarang aku tidak
merasa kesepian lagi. Selain ada Luki yang menemaniku, ada ayah yang kali ini
akan menjagaku. Jadi ibu tidak perlu mencemaskanku lagi.
Cahaya-cahaya
kecil yang berharga. Walau mereka kecil tapi mereka sangat berharga bagiku. Mereka
sangat hangat. Aku akan berusaha menjaga cahaya ini agar tidak lenyap lagi.
—The End—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar