Cerita ini sekuel dari Pertemuan yang Berbuah Manis
Karakter bukan milik si penulis
cerita ini~
Penulis cuma minjem karakter saja.
Karena cuma pinjam karakter jadi ada
beberapa karakter tambahan dengan nama ala kadarnya.
Cerita ini mengambil background yang
berbeda dengan anime atau manga dari Haikyuu, jadi jangan dibandingkan dengan
cerita aslinya.
Beberapa karakter ada yang gendernya
dirubah demi kelancaran penulisan
Jika ada kekurangan mohon beri kritik
atau saran
Catatan:
Iwaizumi hajime (Iwa-chan) = cewek,
teknik elektro
Oikawa Toru (Oikawa)= cowok, teknik
mesin
Hanamaki Takahiro (makki) = cewek,
teknik mesin
Matsukawa Issei (MATTSUN) = cowok,
teknik elektro
_____________________________________________________________________
Hari Selasa pukul 19.00, seperti
biasa di bengkel jurusan teknik mesin Aoba Josai, anak-anak jurusan teknik
mesin dibantu dengan anak-anak jurusan teknik elektro berusaha untuk
menyelesaikan projek mereka.
“Oi, makan malam datang!” teriak
Hanamaki Takahiro, perempuan dengan rambut berwarna pink kecoklatan. Potongan
rambutnya yang sangat pendek menampilkan jidatnya yang ada coretan hitam akibat
dari mesin oli yang baru saja dia hadapi. Dengan wajah bosan, dia bawa masuk
dua tas kresek berisi bungkusan makanan untuk anak-anak yang ada di bengkel
tersebut. Tentu saja dia tidak sendirian. Dia dibantu dengan Matsukawa Issei,
temannya sejak duduk di bangku SMA.
Matsukawa termasuk mahasiswa paling
jangkung di jurusan teknik elektro seangkatannya. Walau di jurusan teknik mesin
pun masih belum ada yang bisa mengalahkan tinggi badannya. Matsukawa memiliki
rambut hitam yang selalu kelihatan berantakan. Entah dia sengaja membuat
rambutnya berantakan atau memang rambutnya tidak pernah dia sisir. Cowok
jangkung ini membawa empat tas kresek besar yang juga berisi bungkusan makanan.
“Iya!” seru hampir semua mahasiswa
yang berkumpul di ruangan itu. Mereka segera mengerubungi Hanamaki dan
Matsukawa, mengambil makan malam mereka, lalu memilih tempat makan yang menurut
mereka nyaman. Tidak perlu menunggu waktu lama, semua bungkusan makanan yang
dibawa Hanamaki dan Matsukawa sudah ludes. Untung Hanamaki berhasil
menyelamatkan empat bungkus makanan untuk dia dan ke tiga temannya.
“Oikawa. Makan dulu,” kata Matsukawa.
“Iyaaa,” jawab Oikawa Tohru yang
masih sibuk mengutak-atik mesin di depannya.
“Oi, Oikawa! Makan dulu!” seru
Iwaizumi Hajime yang langsung dijawab “Iyaaa,” sama Oikawa. Walau Oikawa sudah
menjawab “Iya,” dia masih sibuk mengutak-atik mesin dihadapannya.
“Bocah satu itu…” geram Iwaizumi
melihat Oikawa yang tidak bergeming sedikit pun dari mesin dihadapannya.
“Sabar, sabar,” kata Hanamaki yang
sibuk merapikan bungkusan tas kresek yang sudah tidak ada isinya.
“Orang itu kalau sudah di depan
mesin, pasti lupa semuanya,” kata Matsukawa.
Perempuan berambut hitam pendek cepak
yang memiliki nama lengkap Iwaizumi Hajime hanya bisa menekuk wajahnya.
Sebetulnya dia sudah tahu kalau cowok bernama Oikawa itu kalau sudah asyik atau
sibuk dengan sesuatu, pasti yang lain akan diabaikannya.
Tiba-tiba sebuah ide muncul dipikiran
Hanamaki. “Oi Oikawa, jika kamu tidak segera makan, kamu tidak akan disuapin
sama Iwaizumi, loh,” kata Hanamaki dengan nada menggoda.
“A—apa?! Siapa yang bilang aku akan—”
Sebelum Iwaizumi sempat menyelesaikan kalimatnya Oikawa sudah mendekati mereka
seraya berkata, “Disuapi sama Iwa-chan, mauuu~”
“Hanamaki!” seru Iwaizumi yang
langsung menyeret Hanamaki menjauh dari Matsukawa dan Oikawa.
“Sabar, sabar. Lihat dia sudah ada di
sini tuh,” kata Hanamaki.
“Meski begitu, siapa juga yang ingin
menyuapinya,” balas Iwaizumi dengan nada marah.
“He… Kenapa? Hanya menyuapi saja kok.
Itu tidak akan melukaimu kan?” tanya Hanamaki.
“Siapa juga yang ingin menyuapinya?!
Kamu sendiri memang tidak malu menyuapi orang apalagi dengan orang setua
Oikawa?!” protes Iwaizumi.
“Oikawa itu masih seumuran denganmu
loh,” balas Hanamaki. “Sebetulnya aku tidak masalah sih menyuapi orang seumuran
kita,” jawab Hanamaki sambil sibuk mengetik sesuatu di handphonenya. “Tetapi…” Hanamaki menghentikan kalimatnya sebentar,
lalu menatap Iwaizumi langsung ke kedua matanya. “Apa kamu tidak keberatan
kalau Oikawa kusuapi?” tanya Hanamaki dengan wajah serius.
Iwaizumi yang tidak menduga akan
mendapat pertanyaan seperti itu dari mulut Hanamaki, terkejut dan tidak bisa
menjawab sepatah kata pun.
“I—itu… tentu saja…”
“Tentu saja, kamu tidak rela kan?”
potong Hanamaki. Kali ini dia tersenyum ke arah temannya satu itu. “Kalau aku
menyuapi Matsukawa, kamu akan menyuapi Oikawa juga kan? Walau hanya satu
suapan.”
“He!? I—itu…”
“Oke. Sudah diputuskan. Aku akan
menyuapi Matsukawa, karena kamu tadi bilang apa tidak malu menyuapi orang
seumuran kita. Jadi kamu harus menyuapi Oikawa,” kata Hanamaki kemudian pergi
meninggalkan Iwaizumi yang masih terkejut dengan apa yang dikatakannya.
“Sudah selesai?” tanya Oikawa, si
cowok berambut coklat saat Hanamaki sudah menghampiri mereka.
“Sudah kok,” jawab Hanamaki pas
dengan sampainya Iwaizumi di tempat mereka bertiga berdiri.
“Di mana kita makannya?” tanya
Matsukawa ke mereka bertiga.
“Kenapa tidak di sini saja?” jawab
Oikawa yang sudah siap membuka bungkusan makanannya.
“Setuju,” jawab Iwaizumi yang juga
sudah siap membuka bungkusan makanannya.
“Tunggu dulu!” seru Hanamaki. “Apa
kalian yakin mau makan di sini?!”
“Hm?” Iwaizumi menunjukkan wajah
penuh tanda tanya.
“Memangnya kenapa?” tanya Oikawa yang
juga tidak paham dengan pertanyaannya Hanamaki.
Gawat! Dua orang ini sama sekali tidak peka, batin Hanamaki dan Matsukawa
bersamaan.
“Maksudku, kita pilih tempat yang
lebih nyaman dan enak buat makan. Seperti di depan lab atau di gazebo kampus teknik
elektro,” kata Hanamaki memberi usul.
“Depan bengkel?” tanya Oikawa.
“Gazebo di kampusku kejauhan,” protes
Iwaizumi.
Hanamaki hanya bisa menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Dia kehabisan ide untuk mencari tempat makan yang
cocok.
“Depan bengkel juga tidak masalah,”
usul Matsukawa menengahi.
Hanamaki sebetulnya tidak setuju,
tapi karena dia tidak menemukan tempat yang pas, akhirnya dia pun setuju saja
dengan usul tersebut. Alhasil mereka berempat pun duduk melingkar di depan
bengkel. Tiba-tiba Hanamaki memberi kode ke Matsukawa untuk membuka mulutnya.
“Aaa,” kata Hanamaki sambil menghadap
Matsukawa. Matsukawa menurut saja. Dia buka mulutnya dan Hanamaki pun
menyuapkan sesendok nasi dengan potongan daging ikan kecil ke dalam mulut
Matsukawa. Hanamaki tersenyum lebar saat Matsukawa menguyah suapan yang
diberikan Hanamaki. Sungguh sebuah pemandangan langka. Tentu saja ada yang
melotot melihat pemandangan tersebut kalau bukan Iwaizumi dan Oikawa.
Hanamaki melempar lirikan dan senyum
penuh kemenangan ke arah Iwaizumi. Iwaizumi ingin mengamuk rasanya setelah
melihatnya namun dia berhasil menahannya.
“Oi, Oikawa,” panggil Iwaizumi.
Oikawa menoleh ke arah Iwaizumi. “Hm?
Ada apa, Iwa-chan?”
“Buka mulutmu,” kata Iwaizumi dengan
nada agak membentak.
Matsukawa sibuk merekam pemandangan
langka yang diciptakan Iwaizumibegitu juga dengan Hanamaki walau dia juga
berusaha menahan tawanya saat melihat adegan tersebut.
“Untuk apa?” tanya Oikawa.
“Sudahlah buka saja!” bentak Iwaizumi
yang hamper mengamuk.
Oikawa menurut. Dibuka lah mulutnya
dan Iwaizumi langsung memasukkan sendok berisi nasi dan potongan daging ikan
kecil ke dalamnya.
Oikawa menutup mulutnya dengan
pandangan tidak percaya. Dia mengunyah nasi yang ada dimulutnya dengan gerakan
sangat perlahan.
“Gimana? Enak?” tanya Iwaizumi.
Oikawa menelan nasi yang sudah
dikunyahnya lalu menunjukkan dua jempol ke hadapan Iwaizumi dengan wajah hamper
menangis. “Rasanya enak sekali, Iwa-chan.”
Oikawa membuka mulutnya lagi, minta
disuap.
“Dasar, manja,” kata Iwaizumi dengan
wajah cemberut tapi tetap menyuapi Oikawa.
“Gimana?” tanya Iwaizumi lagi.
Oikawa diam sebentar, berpikir.
“Porsi nasinya sudah pas sebetulnya. Akan lebih bagus lagi kalau porsi daging
ikannya di tambah sedikit,” jawab Oikawa dengan wajah serius.
“Tapi…” Oikawa memandang Iwaizumi
dengan tatapan serius. “Apapun yang kamu suapkan kepadaku rasanya selalu enak.”
“Menjijikkan,” jawab Iwaizumi
langsung setelah mendengar rayuan Oikawa.
“Iwa-chan jahat,” kata Oikawa dengan
nada manja.
“Ciyeee, mesranya,” potong Hanamaki
dengan nada meledek. Matsukawa hanya mengangguk-nggangguk, setuju dengan
perkataannya Hanamaki.
“Ka — kalian… sedang ap — ”
“Oh, tidak perlu menggubris apa yang
sedang kami laukan. Anggap saja kami itu obat nyamuk,” potong Hanamaki yang
masih merekam. Matsukawa mengangguk lagi dengan tangan yang juga sibuk merekam
ke dua temannya itu.
Sebelum Iwaizumi sempat mengamuk,
Hanamaki mengalihkan perhatian Iwaizumi dengan bertanya, “Mumpung ingat. Kenapa
Oikawa memanggil Iwaizumi Iwa-chan?”
“Kenapa… Memangnya kenapa?” tanya
Iwaizumi balik. Sepertinya dia sudah lupa kalau adegan suap-suapannya dengan
Oikawa tadi sudah direkam Hanamaki dan Matsukawa.
“Bukan kenapa-napa sih. Cuma ingin
tahu saja. Oikawa kan sering memanggilmu Iwa-chan tapi aku tidak pernah dengar
kamu manggil Oikawa dengan Oi-chan atau sejenisnya.”
“Aku pernah memanggilnya dengan
panggilan sejenis itu,” jawab Iwaizumi yang tidak pernah diduga Hanamaki dan
Matsukawa sebelumnya.
“Ha?! Yang benar? Kok aku tidak
pernah dengar ya?” tanya Oikawa.
“Mungkin kamu perlu ke THT,” jawab
Iwaizumi.
“Iwa-chan jahat,” kata Oikawa dengan
nada manja.
“Contohnya?” tanya Matsukawa tidak
memperdulikan perkataan Oikawa.
“Sampahkawa,” jawab Iwazumi tanpa
berpikir dulu. “Jijikkawa, najiskawa. Sampah. Najis. Jijik.”
“Iwa-chan jahat,” kata Oikawa hamper
menangis.
“Bukan. Bukan. Maksudku yang seperti
Maki-chan,” kata Matsukawa mencoba menjelaskan maksud pertanyaannya.
“Atau Matssun. Seperti nama panggilan
kesayangan gitu,” tambah Hanamaki.
“Panggilan kesayangan?” Iwaizumi
berpikir sebentar.
Satu menit, dua menit, lima menit
berlalu begitu saja dan Iwaizumi masih diam berpikir.
“Toru,” kata Iwaizumi dengan lirih.
“Ha?” respon mereka bertiga
bersamaan, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar.
Iwaizumi membuang pandangannya ke
arah lain dengan tangan kanan memengang siku tangan kirinya. “Toru…” kata
Iwaizumi mengulangi jawabannya.
Manisnya, batin
mereka bersamaan.
“Tapi, Oik
juga bisa ya?" kata Iwaizumiyang baru saja mendapat ide baru.
“Oik?”
ulang Matsukawa, entah kenapa dia merasa tidak asing dengan kata itu.
“Bagus
sekali, Iwa-chan! Aku suka panggilan itu. Oik ya. Terdengar unik dan lucu,”
kata Oikawa senang.
Tiba-tiba
Oikawa merasa seperti ada yang sedang mengawasinya. Dia langsung membalikkan
tubuhnya ke belakang. Meluaskan pandangannya agar bisa menemukan siapa yang
mengawasinya.
“Ada
apa?” tanya Iwaizumi yang melihat cowok berambut coklat itu celingukan ke kanan
dan ke kiri, seperti mencari sesuatu.
Oikawa
langsung menghentikan kegiatan mencarinya, seraya meringis ke arah Iwaizumi dan
berkata, “Oh, tidak ada apa-apa kok, Iwa-chan. Cuma imajinasiku saja kok.”
Padahal
di belakang bengkel samping jendela paling kiri, memang ada seseorang yang
menguping pembicaraan mereka berempat. Orang itu langsung meninggalkan tempat
persembunyiannya saat Oikawa menjawab pertanyaan Iwaizumi dengan kalimat cuma
imajinasiku saja.
Kemudian mereka kembali kesibukan mereka
masing-masing. Tentu saja dengan mesin dan tugas yang dihadapi masing-masing.
Terkadang Iwaizumi dan Oikawa sibuk mendiskusikan sesuatu. Ditengah diskusi
tidak jarang Iwaizumi memanggil Oikawa dengan Oik.
Beberapa
menit, Matsukawa merasa biasa saja mendengar panggilan itu. Setelah dia
teringat di mana pernah mendengar kata “Oik”, Matsukawa berusaha menahan
tawanya.
“Ada
apa?” tanya Hanamaki penasaran melihat Matsukawa yang tiba-tiba tertawa
sendiri. Matsukawa membisikkan sesuatu ke telinga Hanamaki. Tawa langsung pecah
dari mulutnya Hanamaki. Hanamaki langsung menjadi pusat perhatian.
“Sssttt...!”
kata Matsukawa memberi kode diam ke Hanamaki.
Hanamaki
menutup mulutnya, supaya tawanya bisa dihentikan.
“Dua
orang itu, bisa-bisanya bercanda di saat seperti ini,” kata Oikawa saat melihat
Hanamaki dan Matsukawa bercanda gurau.
“Tidak
apa-apa kan? Lagipula kalau serius terus kan juga tidak enak,” kata Iwaizumi.
Oikawa
diam saja, tidak bisa membantah.
“Untuk
bagian ini, bukankah lebih baik... bla bla bla.” Diskusi mereka pun berlanjut.
*****
Jam
menunjukkan pukul 11 malam. Hanamaki menguap lebar-lebar. Karena sudah terlalu
sering menguap, dia pun jadi malas menutupi mulutnya.
“Kita
teruskan lagi besok,” kata Matsukawa ke tiga temannya itu.
Iwaizumi
menjawab, “Oke.”
Oikawa
menjawab, “Yoi.”
Sementara
Hanamaki menguap sambil mengangkat tangan kanannya.
Hanamaki
kemudian berdeham. “Karena tinggal kita yang masih ada di dalam bengkel, mau
tidak mau kita lah yang harus menutupnya. Jangan lupa peralatannya juga harus
dibereskan.”
Iwaizumi
menjawab, “Oke.”
Oikawa
menjawab, “Siap.”
Matsukawa
hanya menganggukkan kepala.
Saat
mereka sedang membereskan peralatan, Iwaizumi memarahi Oikawa yang merapikan
peralatan dengan sangat pelan.
“Oi,
Oik! Cepat sedikit!”
“Iya,
iya. Serahkan saja padaku,” jawab Oikawa.
Hanamaki
yang mendengar Iwaizumi mengatakan “Oik”, berusaha menahan tawanya dengan menutup
mulutnya.
“Kamu
kenapa?” tanya Iwaizuni yang bingung melihat temannya satu itu berusaha menahan
tawa.
Matsukawa
memberi kode melalui tangannya supaya Iwaizumi mendekatinya. Kemudia dia
bisikkan alasan kenapa Hanamaki tertawa. Tidak perlu menunggu lama, Oikawa yang
sudah membereskan peralatannya, menghampiri ke tiga temannya.
“Akhirnya,
selesai juga,” kata Oikawa dengan tangan kanan memegang belakang lehernya.
“Oh.
Terima kasih Oik...” Belum sempat Iwaizumi menyelesaikan kalimatnya, Hanamaki
sudah tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.
“Mattsun,
Maki-chan kenapa?” tanya Oikawa ke Matsukawa.
“Dia
tertawa karena mendengar kata Oik,” jawab Matsukawa datar.
“Memangnya
aneh ya dengan nama Oik?” tanya Oikawa lagi.
“Bukan
aneh. Lebih tepatnya bunyi Oik mirip seperti bunyi babi. Oik oik,” kata
Matsukawa menjelaskan.
Iwaizumi
menepuk pundak Oikawa. “Tidak usah terlalu dipikirkan ya, Oik,” kata Oikawa
yang kemudian ikut tertawa.
“Iwa-chan
jahat! Jangan-jangan kamu sudah merencanakannya ya?” protes Oikawa dengan nada
manja.
“Tidak,
tidak, tidak. Aku tidak sengaja melakukannya. Kalau Matsukawa tidak memberitahuku,
aku juga tidak paham,” sanggah Iwaizumi.
“Bukankah
panggilan Oik sangat cocok denganmu,” tambah Iwaizumi yang langsung disambut
dengan tawa Hanamaki.
“Tidak
cocok!” seru Oikawa ditengah tawa.
Setelah
beberapa menit kemudian, mereka berhasil menutup bengkel tanpa ada masalah.
“Aku
harus mengembalikan kunci dulu,” kata Oikawa yang disambut sahutan “Oke” dari
ke tiga temannya.
Setelah
Oikawa mengembalikan kunci bengkel di ruang jurusan, ada seseorang yang
menghadang jalannya.
Seorang
perempuan jangkung yang tingginya melebihi Oikawa sedikit tiba-tiba muncul
dihadapan Oikawa. Membuat Oikawa mau tidak mau menghentikan langkahnya.
Perempuan
itu memiliki rambut berwarna coklat gelap dengan panjang sebahu yang dikuncir
satu di belakang. Tubuhnya tinggi dan tegap. Sekilas dia mirip seperti model.
Dia memandang Oikawa dengan wajah datar, tanpa ekspresi sama sekali.
“Apa
yang sedang kamu lakukan di sini Ushiwaka-chan?” tanya Oikawa sambil memasang
wajah serius. Walau wajah yang ditunjukkan serius terkadang ekspresinya
menunjukkan kebencian. Sebetulnya perempuan itu memiliki nama Ushijima
Wakatoshi, namun Oikawa lebih suka memanggilnya Ushiwaka-chan daripada Ushijima
atau Wakatoshi.
“Jangan-jangan
kamu tersesat ya?” tanya Oikawa.
“Aku
baru tahu anak sejenius dirimu bisa tersesat di Universitas sebesar ini,” kata
Oikawa dengan nada menyindir.
“Tenang
saja. Shiratorizawa lebih besar daripada. tempat ini,” jawab Ushijima masih
memasang wajah datar.
“Aku
tidak tanya pendapatmu!” seru Oikawa kesal.
“Lalu?
Sedang apa kamu di sini?” tanya Oikawa lagi.
“Aku
sedang mencari orang. Tadi aku melihatnya pergi ke arah sini. Tapi aku
kehilangan dirinya.”
“Aku
tidak lihat ada orang lewat sini. Mungkin kamu salah lihat,” jawab Oikawa.
“Tidak,
Oik. Aku tidak salah lihat. Karena aku hapal rupa temanku itu,” jawab Ushijima.
“O — Oik…?” ulang Oikawa geram.
“Jangan panggil aku dengan sebutan
Oik!” bentak Oikawa.
“Kenapa?”
tanya Ushijima. “Bukankah kamu menyukainya?”
“Siapa
yang bilang aku menyukai
— ” Seperti baru
menyadari sesuatu, Oikawa menyeringai. “Aku tidak tahu ternyata orang sehebat
dirimu, sukanya menguping pembicaraan orang,” kata Oikawa dengan nada
menyindir.
“Aku tidak — ” Belum selesai Ushijima
berkata sudah dipotong sama Oikawa. “Hmph! Berkilah pun tidak ada gunanya. Aku
tahu kalau kamu menguping.”
“Oik, kamu itu — ”
“Jangan panggil aku Oik!” potong
Oikawa dengan nada tinggi. “Namaku itu Oikawa bukan Oik. Ingat itu!”
“Jika
urusanmu sudah selesai, sebaiknya kamu pulang sana. Tidak baik anak perempuan
pulang malam-malam,” tambah Oikawa, memberi nasihat sambil berjalan melewati
Ushijima.
Ushijima
diam sebentar. Lalu dia bertanya setelah Oikawa melewati dirinya, “Kenapa kamu
memilih Kitagawa Daichi? Padahal Universitas terbaik di kota ini adalah
Shiratorizawa.”
Oikawa
menghentikan langkahnya, kemudian membalikkan tubuhnya ke arah Ushijima yang
sudah membalikkan tubuhnya kecarah Oikawa.
“Dengar
ya. Bagiku Kitagawa Daichi itu lebih baik daripada Shiratorizawa!” seru Oikawa.
“Dalam
hal apa?” tanya Ushijima.
“Bukankah
projek kami sering mengalahkan projek kalian? Selain itu, untuk fasilitas dan
luasnya kampus, lebih besar dan lebih bagus daripada Kitagawa Daichi.”
Oikawa
diam tidak menjawab. Karena semua yang dikatakan perempuan itu memang benar.
“Tempatmu
adalah di Shiratorizawa, bukan di sini. Kamu sudah melakukan kesalahan besar
dengan memilih tempat ini. Kamu itu harusnya masuk ke Shiratorizawa. Di sana,
bakatmu akan lebih terasah daripada di sini,” kata Ushijima masih dengan wajah
datarnya.
Oikawa
diam menahan amarahnya. Dia paling tidak suka jika apa yang dia pilih, dihina
seperti itu.
“Yang
bisa menilai salah atau benar adalah aku. Aku yang memilih tempat ini. Dan bagiku
itu bukan kesalahan besar,” kata Oikawa serius. “Sebetulnya apa tujuanmu
kemari, ha?! Apa kamu ke sini cuma untuk mau mengejekku?” tanya Oikawa dengan
nada marah sambil menunjuk ke Ushiwaka.
“Tidak,”
jawab Ushijima pendek.
“Aku
ke sini karena — ”
Belum
sempat Ushijima menyelesaikan kalimatnya, seorang laki-laki kurus berambut jabrik
merah tiba-tiba muncul di belakang Oikawa dan memotong kalimat Ushijima,
“Wakatoshi-kun, di sini kamu rupanya.”
Dia
melewati Oikawa begitu saja, tanpa menyapa. “Aku dari tadi mencari dirimu,
loh.”
“Hm?”
Cowok berambut merah yang baru saja menyadari adanya Oikawa melempar
pandangannya ke arah Oikawa. “Olala, ternyada ada Oikawa di sini.”
“Kita
pergi sekarang, Tendo,” kata Ushijima. Cowok berambut merah yang memiliki nama
lengkap Tendo Satori, hanya mengangguk tanpa mengatakan sepatah kata pun.
“Sampai
jumpa lagi, Oik,” tambah Ushijima yang langsung membalikkan badannya dan
meninggalkan Oikawa begitu saja diikuti de.
“Sudah
kubilang jangan panggil aku, Oik!” bentak Oikawa.
Ushijima
sama sekali tidak menggubris Oikawa dan terus melangkahkan kakinya ke depan.
“Dasar
anak itu. Benar-benar menyebalkan,” kata Oikawa kesal.
“Akhirnya
dia pergi juga,” kata Iwaizumi yang sudah berdiri di sampingnya.
“Loh,
Iwa-chan, kok...” Oikawa menoleh ke kanan dan ke kiri, barangkali Hanamaki dan
Matsukawa juga ada di sekitarnya.
“Hanamaki
dan Matsukawa sudah menunggumu di depan kampus. Beneran deh, kukira ada apa
sampai kamu tidak kunjung balik, ternyata orang itu masih di sini,” kata
Iwaizumi yang kemudian menghela napasnya.
Sementara
itu, di depan kampus jurusan teknik mesin, Hanamaki dan Matsukawa duduk menunggu
ke dua temannya yang tak kunjung kembali.
“Ke
mana mereka berdua pergi? Lama sekali,” kata Hanamaki yang kemudian menguap
lebar-lebar.
“Mungkin
mereka di ajak ngobrol pak Irihata.
Hanamaki
terkejut. “Ha?! Orang itu masih di sini?! Jam segini?!”
“Kalau
tidak salah. Dia yang piket pegang kunci kampus hari ini,” jawab Matsukawa.
“Tapi,
mereka benaran lama sekali,” kata Hanamaki.
Di
sisi lain, di salah satu koridor kampus yang menghubungkan bengkel teknik mesin
dengan ruangan dosen, Iwaizumi dan Oikawa berjalan berdua melintasi koridor
kampus yang temaram.
“Tadi
pak Irihata cerita kalau mereka ke sini,” kata Iwaizumi membuka topic.
“Cuman
aku tidak mendengarkan tujuan mereka ke sini,” tambah Iwaizumi.
“Aku
juga. Sebelum Ushiwaka-chan sempat menjawab ada cowok kurus berambut merah
muncul. Terus mereka langsung pergi, deh,” kata Oikawa. “Kalau ingat kejadian
tadi, rasanya aku ingin menghajar Ushiwaka-chan,” tambah Oikawa dengan tangan
kanan mengepal, siap menghajar orang.
Iwaizumi
menahan ketawanya, “Pfft, memangnya kamu bisa menghajarnya? Yang ada malah kamu
yang dihajarnya.”
“Gini-gini
aku kuat loh,” kata Oikawa seraya menunjukkan otot di ke dua tangannya yang kecil.
“Oh
ya?” tanya Iwaizumi dengan nada tidak percaya. “Kalau kamu dihajarnya, jangan
minta tolong ke aku ya,” tambah Iwaizumi dengan senyum mengejek.
“Iwa-chan jahat!” seru Oikawa yang
menghentikan langkahnya.
“Ayo cepat, Hanamaki dan Matsukawa
sudah menunggu lama loh,” kata Iwaizumi.
Oikawa tersenyum kemudian menjawab,
“Baik, baik.”
Tidak perlu menunggu lama, mereka
sudah sampai di depan kampus. Di situ Hanamaki duduk dengan wajah mengantuk,
sementara Matsukawa berdiri mengawasi Hanamaki, barangkali saja dia ketiduran
benaran.
Saat Oikawa dan Iwaizumi mendekati ke
dua temannya itu, Hanamaki dan Matsukawa membalikkan badan mereka karena
mendengar suara langkah dari belakang mereka.
“Akhirnya kalian hampai huga… Howaaah.”
Kali ini Hanamaki tidak bisa menahan kantuknya, sampai-sampai dia menguap saat
kalimatnya belum selesai diucapkan. Membuat apa yang dia ucapkan menjadi tidak
jelas.
“Maaf, maaf,” kata Oikawa meminta
maaf.
“Tidak ada yang ketinggalan kan?”
tanya Matsukawa sebelum mereka berjalan ke rumah masing-masing.
Hanamaki tidak menjawab malah menguap
lebar-lebar.
Iwaizumi menggeleng.
Oikawa menjawab, “Tidak ada.”
Dan mereka berempat pun berjalan ke
rumah mereka masing-masing.
*****
Dua hari berikutnya, saat jam
menunjukkan pukul 10.00 WIB. Iwaizumi berjalan dengan santainya ke bengkel
jurusan teknik mesin. Sesampainya dia di bengkel, dia berteriak, “Oi,
Sampahkawa! Kamu dipanggil pak Irihata tuh!”
Oikawa yang sedang mendiskusikan
sesuatu denga Hanamaki, membalas kalimat Iwaizumi “Iwa-chan jahat!” dengan nada
manja seperti biasanya.
“Iwa-chan, pak Irihata tadi bilang
tidak ada urusan apa?” tanya Oikawa.
“Tentang anak mesin Karasuno yang mau
ke sini,” jawab Iwaizumi.
“Anak Karasuno berarti jadi ke sini
ya?” tanya Hanamaki.
“Sepertinya begitu,” jawab Iwaizumi.
“Ada yang cantik tidak ya di Karasuno?
Hm… aku jadi penasaran,” kata Oikawa menanyai dirinya sendiri dan langsung
mendapat lemparan buku dari Iwaizumi.
“Adaw!” seru Oikawa memegang bagian
belakang kepalanya yang terkena lemparan buku Iwaizumi. “Iwa-chan, sakit,”
rengek Oikawa.
Iwaizumi tidak menggubris rengekan
Oikawa, dia mulai sibuk dengan buku yang dipegangnya.
“Kalau anak Karasuno ke sini, pasti pak
Irihata ingin menunjukkan projek ini pada mereka,” kata Matsukawa.
“Yang artinya, deadline akan
dimajukan,” kata Hanamaki yang kemudian menghela napasnya.
“Sudah pasti. Dan kita harus
menunjukkan kehebatan kita supaya mereka takut pada mereka,” kata Oikawa yang
kemudian tertawa jahat seperti musuh di film superhero.
Sementara ke tiga temannya mulai
mengabaikan Oikawa dan fokus ke masing-masing kerjaan mereka.
Itulah salah satu kegiatan ke empat
sahabat saat mereka sedang berada di bengkel. Mengabaikan apa yang diucapkan
atau kelakuan Oikawa, tim projek mereka yang sering bersikap kekanak-kanakan.
—THE END—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar