Karakter bukan milik si penulis
cerita ini~
Penulis cuma minjem karakter saja.
Karena cuma pinjam karakter jadi ada
beberapa karakter tambahan dengan nama ala kadarnya.
Cerita ini mengambil background yang
berbeda dengan anime atau manga dari Haikyuu, jadi jangan dibandingkan dengan
cerita aslinya.
Beberapa karakter ada yang gendernya
dirubah demi kelancaran penulisan
Jika ada kekurangan mohon beri kritik
atau saran
Catatan:
Daichi = cowok
Suga = cewek
Asahi = cowok
______________________________________________________________
Daichi berjalan dengan langkah tegap
ke depan gerbang dengan pahatan bertuliskan Universitas Karasuno. Universitas
Karasuno adalah universitas yang sangat ingin dia masuki semenjak SMP, dan di
sinilah dia, berdiri di depan gerbang universitas yang sangat ingin dia masuki
dari dulu dengan mengantongi status sebagai mahasiswa Universitas Karasuno
jurusan teknik mesin.
Awal-awal dia menjadi mahasiswa, dia
merasa sangat asing dengan suasana dan jadwalnya. Kalau dulu saat dia masih
menjadi siswa SMA, dia hanya perlu mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan dari
pihak sekolah, sementara sekarang dia harus menyusun jadwalnya sendiri. Bahkan
dia harus memilih salah satu diantara empat dosen dengan mata yang kuliah sama.
Setelah beberapa bulan berjalan,
Daichi pun berhasil menemukan ritme jalannya, walau di awal-awal dia agak
terseok-seok untuk mengikuti kehidupan sebagai mahasiswa. Dia berhasil mendapatkan
banyak teman yang satu jurusan dengannya atau yang satu mata kuliah tapi beda
jurusan. Salah satunya bernama Asahi.
Saat pertama kali Daichi melihat
Asahi di mata kuliah pendidikan dan kewarganegaraan, dia mengira kalau Asahi
itu mahasiswa tingkat akhir yang nakal. Selain badannya yang besar dan wajahnya
yang terkesan tua dan nakal ditambah dengan rumor-rumor jelek tentang dirinya membuat
Daichi percaya kalau Asahi bukanlah orang baik. Tapi semuanya berubah saat dia
harus satu kelompok saat membuat tugas dengan Asahi. Awalnya dia kaget saat
mengetahui kalau Asahi itu sama-sama mahasiswa baru sama seperti dirinya. Dan yang
membuat Daichi sangat kaget adalah karakter Asahi yang sangat beda dengan rumor
atau perawakannya. Ternyata dia memiliki hati yang sensitif dan penakut. Sama
sekali berbeda dengan rumor yang sering beredar selama ini. Meski penakut, dia berani
menghadapi orang-orang yang ingin menyakiti temannya. Itulah yang membuat Daichi
menghormatinya. Bukan karena penampilannya melainkan karena keberaniannya menerima
kelemahannya.
Setelah liburan semester satu berakhir,
tibalah awal semester baru. Di semester dua, Daichi bertemu dengan orang yang
berhasil menarik minatnya. Saat itu seperti biasa, Daichi bingung memilih dosen
mata kuliah yang akan diambilnya.
“Apa aku ambil saja kuliahnya bu
Tatik ya?” kata Daichi di depan papan informasi yang menempel daftar mata
kuliah dan dosen yang mengampu. Di mata kuliah bahasa Indonesia terdapat empat dosen
pengampu. Daichi sudah mengenal dua dosen pengampu mata kuliah tersebut dari
cerita kakak angkatan. Tapi dia tidak tahu dengan dua lainnya.
“Lebih baik ambil mata kuliah pak Tono
saja. Walau dia profesor, tugas yang diberikan lebih sedikit dari ke tiga dosen
lainnya. Selain itu, mendapatkan nilainya juga lebih mudah daripada bu tatik,”
kata seorang perempuan dengan rambut pendek berwarna abu-abu yang tiba-tiba berdiri
di sampingnya.
“Jika mau ambil mata kuliahnya bu
Tatik juga tidak apa. Kuliahnya katanya asyik. Cuma nilainya agak susah,”
lanjutnya lalu tersenyum lebar ke arah Daichi.
“Wah, sudah jam segini. Aku harus
pergi. Dadah,” kata perempuan itu kemudian pergi begitu saja meninggalkan
Daichi yang terbengong-bengong karenanya.
“Perempuan aneh,” kata Daichi saat
perempuan tersebut sudah tidak terlihat lagi.
*****
Di hari saat mata kuliah bahasa
Indonesia dimulai, Daichi memilih tempat duduk yang agak belakang. Awalnya dia
tidak menghiraukan orang yang duduk disampingnya sampai orang itu berkata, “Kukira
kamu tidak akan memilih kelas ini.”
Daichi menoleh ke arah sumber suara.
Dia masih ingat dengan penampakan si pemilik suara tersebut. Orang itu berjenis
kelamin perempuan dengan rambut berwarna abu-abu yang dipotong pendek dengan
poni membelah tengah. Ke dua matanya berwarna coklat muda. Daichi baru tahu
kalau perempuan tersebut ternyata memiliki tahi lalat di bawah mata kirinya.
“Namaku Sugawara Koshi. Orang-orang
sering memanggilku Suga,” kata perempuan tersebut memperkenalkan dirinya.
“Sawamura Daichi. Panggil saja Daichi,”
balas Daichi.
“Salam kenal ya,” kata Suga sambil
tersenyum lebar. Daichi yang melihat senyuman di wajah Suga sekilas menganggapnya
manis. Sadar dengan apa yang barusan dia pikirkan, Daichi berusaha membuang
jauh-jauh pikiran tersebut.
“Darimana kamu tahu kalau kelasnya
pak Tono itu enak?” tanya Daichi.
“Dari kakak-kakak tingkat akhir.
Mereka cerita kalau pak Tono itu enak, tapi tidak banyak kakak kelas yang tahu
karena kesibukannya mengambil gelar profesor. Yang tahu kelas pak Tono itu enak
hanya kakak kelas yang sedang sibuk skripsi,” jelas Suga panjang lebar.
“Hebat. Bisa kenal dengan kakak kelas
tingkat akhir sampai mendapat info-info yang cuma kakak kelas tingkat akhir
yang tahu,” puji Daichi kagum.
Suga tertawa mendengarnya, “Hahaha,
itu bukan hal yang harus dikagumi. Kebetulan kenal saja.”
“Aku saja sampai sekarang baru kenal kakak
kelas cuma beberapa saja dan itu bisa dihitung dengan jari.”
Suga hanya tertawa mendengarnya. Sayangnya
obrolan mereka harus berhenti karena dosen mereka sudah memasuki ruangan.
Sesudah kuliah selesai, Suga berseru,
“Aku lapaaar!” sambil merentangkan ke dua tangannya ke atas. Sementara itu,
Daichi sibuk memasukkan buku dan pulpennya ke dalam tas.
“Habis ini, apa kamu ada kelas?”
tanya Suga ke Daichi.
“Nggak,” jawab Daichi singkat.
“Kalau acara? Ada?” tanya Suga lagi.
“Juga tidak ada.”
Jawaban terakhir Daichi entah kenapa
membuat mata Suga berbinar-binar.
“Hei, Daichi. Maukah kamu ikut ke
suatu tempat denganku?” tanya Suga dengan penuh semangat.
“Ke suatu… tempat?” Daichi sedikit
ragu saat mendengar ajakan Suga.
“Benar sekali,” seperti menyadari
sesuatu, Suga menambahkan, “Ah, tenang saja. Bukan tempat yang aneh-aneh kok.”
“Boleh. Lagipula aku juga lagi bosan
di kosan.”
Jawaban Daichi membuat Suga berseru,
“Horeee!”
*****
“Di sini?” tanya Daichi, ragu dengan
apa yang ada di hadapannya.
Suga mengangguk. “Benar sekali,”
jawab Suga mantab.
“Ayo! Aku sudah lapar sekali,” kata
Suga sambil menggandeng tangan Daichi, menyeretnya untuk mengikuti langkahnya.
Tempat yang Suga masuki adalah warteg
yang dipenuhi dengan banyak laki-laki. Mulai dari bapak-bapak, om-om sampai mahasiswa.
Mulai dari yang berpakaian rapi dan bagus sampai berpakaian ala kadarnya yang penting pakai
baju.
“Kamu mau makan sekalian nggak?”
tanya Suga.
Ditanya tiba-tiba seperti itu, tentu
saja Daichi gelagapan, “He? Aku?”
Sebelum Daichi sempat menjawab,
perutnya menjawab pertanyaan Suga duluan. Suga tertawa mendengarnya. Ke dua
matanya langsung menyipit saat dia tertawa. Daichi yang melihatnya berpikiran
kalau itu sangat manis.
“Bibi, ramesnya dua ya!” seru Suga
dengan suara keras yang dijawab “iya” sama bibi pemilik warung.
“Minumnya apa mbak?” tanya bibi
tersebut.
“Kamu mau minum apa?” tanya Suga.
“Teh hangat saja,” jawab Daichi.
“Teh hangatnya satu sama es jeruknya
satu ya Bi!” seru Suga dan langsung mendapat jawaban “iya” lagi.
“Apa kamu sering kemari?” tanya
Daichi saat menunggu pesanan mereka berdua datang.
“Baru ke tiga kalinya ini,” jawab
Suga.
“Rames dua, es jeruk satu, teh hangat
satu,” kata seorang laki-laki yang membawa pesanan mereka di nampan berbentuk
lingkaran yang besar.
“Terima kasih,” jawab Daichi dan Suga
bebarengan.
Saat melihat wajah bahagia Suga saat
memasukkan makanannya ke dalam mulutnya, membuat Daichi ingin tertawa sendiri.
Untung dia bisa menahannya.
Setelah menghabiskan pesanan mereka
dan membayarnya, Suga dan Daichi keluar dari warung tersebut.
“Kenyang, kenyang,” kata Suga dengan
wajah sangat senang.
“Aku kaget kamu bisa makan di
warteg,” kata Daichi membuka topik pembicaraan.
“Apa aku terlihat seperti perempuan
yang jijik makan di warteg?” tanya Suga balik, membuat Daichi harus berpikir
sebentar sebelum menjawab pertanyaan Suga.
“Bukan itu maksudku…” Daichi berhenti
sebentar, lalu melanjutkan, “Agak kaget saja, kamu bisa makan di tempat yang
penuh dengan laki-laki begitu.”
“Kalau sendirian sih nggak berani.
Makanya aku mengajakmu,” jawab Suga.
“Ah benar juga, nasi ramesnya
menurutmu gimana tadi? Enak kan?” tanya Suga dengan mata berbinar-binar. Jelas
sekali kalau dia ingin mendengar kata iya.
Daichi mengangguk, “Hm. Enak dan
murah sekali tadi.”
Suga semakin senang mendengar jawaban
dari Daichi, “Benar kan!? Pokoknya makan di situ nggak bikin nyesel deh.”
Daichi mengangguk, membenarkan apa
yang dikatakan Suga.
“Sayangnya temanku yang kuajak ke
sana, suka menolak. Pada dasarnya orangnya penakut sih, jadi dia tidak mau di
sana. Katanya seram, padahal badannya besar. Orang itu memang badannya saja
yang besar,” gerutu si Suga.
Baru kali ini Daichi melihat Suga
menggerutu dan itu adalah pemandangan yang termasuk langka.
“Apa temanmu yang mengajakmu makan di
sana pertama kalinya?” tanya Daichi.
“Kakak kelas tingkat akhir yang
mengajakku ke sana. Yang memberitahu kalau kelas pak Tono itu yang paling
enak,” jawab Suga.
“Kakak kelas?”
Suga mengangguk. “Dia orangnya sangat
keren dan baik. Saat aku pertama kali ke sana dengannya kukira masakannya biasa
saja. Ternyata rasanya enak!” seru Suga.
“Apa dia pacarmu ya?” tanya Daichi
penasaran.
“Bukan. Kak Wildan bukan pacarku. Dia
sudah punya pacar,” jawab Suga yang terlihat jelas sekali tidak ingin
melanjutkan topik tersebut, padahal Daichi merasa lega mendengarnya.
“Oh iya, untuk makul science kamu
ambil kelasnya siapa?” tanya Suga mendadak mengubah topik pembicaraan.
“Aku mengambil kelas bu Fera,” jawab
Daichi.
“Wah kita satu kelas lagi kalau
begitu,” timpal Suga senang.
“Mohon bantuannya ya,” kata Suga
sambil meringis. Daichi mengangguk dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
“Terima kasih sudah menemaniku,
Daichi,” kata Suga sebelum dia pulang.
“Sama-sama. Terima kasih juga sudah
mengajakku ke tempat yang enak,” balas Daichi.
“Ah iya, aku hamper lupa. Nomor hpmu
berapa?” tanya Suga seraya mengeluarkan hpnya dari dalam tasnya.
Daichi memberitahukan nomor hpnya. Beberapa
detik kemudian, hpnya Daichi berbunyi.
“Oke, itu nomorku. Di simpan ya,”
kata Suga.
“Oke,” jawab Daichi.
“Dadah!” seru Suga seraya melambaikan
tangannya saat berlari menjauhi Daichi. Daichi juga melambaikan tangannya.
*****
Di hari Sabtu siang, Daichi bosan karena tidak
punya kegiatan untuk dilakukan. Setelah lama berpikir di dalam kamarnya,
akhirnya dia memutuskan untuk jalan-jalan ke kota S. Di kota S, dia masuk-keluar
pertokoan. Mulai dari toko computer, mesin sampai toko baju. Dia berjalan tanpa
tujuan, sampai akhirnya dia tiba-tiba menghentikan kakinya. Dia kaget dengan
pemandangan di depan ke dua matanya. Dia melihat Suga yang menyeret tangannya Asahi
ke arah sebuah toko baju. Daichi yang penasaran dengan hubungan mereka berdua,
segera membuntuti mereka diam-diam.
Selama hamper seharian dia terus
membuntuti Suga dan Asahi yang terlihat mesra sekali. Akhirnya Daichi pun
memilih pulang karena dia sudah mendapatkan jawabannya.
“Ternyata mereka berdua pacaran ya…”
katanya sambil menatap langit sore hari.
Entah kenapa Daichi merasa hatinya
sakit dan pulang dengan badan yang lemas.
*****
Kuliah bahasa Inggris adalah kuliah
di mana dia satu kelas dengan Asahi. Daichi terus menerus menghela napasnya
saat teringat hari Sabtu kemarin. Helaannya semakin panjang saat dia melihat Asahi
yang memasang wajah polosnya saat duduk di sebelah Daichi.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya
Asahi.
“Apa menurutmu, aku sedang baik-baik
saja?” jawab Daichi dengan nada judes.
Asahi langsung terdiam mendengar
jawabannya.
Pasti dia sedang ada masalah, batin Asahi.
Selama kuliah berlangsung, Asahi
keringat dingin karena aura gelap Daichi yang terus ke luar.
Setelah kuliah selesai, Daichi
memanggilnya, “Hoi, Asahi.”
Asahi kaget saat dia mendengar Daichi
memanggil namanya.
“I—iya?” jawabnya dengan rasa takut
yang terlihat sekali.
“Kukira kamu itu orang baik, ternyata
aku salah duga,” kata Daichi dengan wajah marah sebelum meninggalkan Asahi yang
terbengong-bengong mendengar perkataannya.
Di luar kelas, Daichi kaget saat
menjumpai Suga yang berdiri diam seraya mendengarkan musik lewat earphone.
Daichi diam saja, sengaja tidak
menyapanya.
“Daichi!” panggil Suga dengan suara
keras.
Daichi menghentikan langkahnya saat mendnegar
namanya dipanggil. Dia balikkan tubuhnya dan terkejut melihat wajah bahagianya
Suga.
“Ah, Suga. Ada apa?”
“Apa hari ini kamu ada acara?” tanya
Suga dengan mata berbinar-binar.
“Maaf. Hari ini aku sudah ada janji
dengan orang lain,” jawab Daichi bohong. Sebetulnya dia hari ini tidak ada
acara.
“Begitu ya…” kata Suga sambil
memasang wajah sedih.
“A—aku pergi dulu ya,” kata Daichi kemudian
dia meninggalkan Sudag begitu saja. Dia tahu dia tidak akan bisa melawan apa
yang diinginkan Suga jika dia terus berada di sana. Dia tidak bisa melakukan apa
yang dulu sering dia dan Suga lakukan.
Daichi menghentikan langkahnya saat
dia teringat wajah sedih Suga. “Apa dia masih sedih ya?” kata Daichi pada
dirinya sendiri.
Plak! Daichi memukul ke dua pipinya
sendiri seraya berkata dalam hati, Sadarlah
Daichi! Suga sudah menjadi milik orang lain. Dan cowoknya adalah temanku
sendiri. Aku harus kuat!
Dengan langkah tegap, Daichi pun
melangkah pulang menuju ke rumahnya.
*****
Sudah hamper seminggu, Daichi
berusaha menjauhi Suga. Semakin lama, niat Daichi menghindari Suga semakin
terlihat dan itu membuat Suga kesal.
“Kamu mau kemana?!” seru Suga seraya
menghadang Daichi dengan ke dua terentang.
“Suga, apa yang…”
Sebelum Daichi berhasil menyelesaikan
kalimatnya, Suga berseru, “Apa kamu akan menghindariku lagi, hari ini?”
Langsung semua perhatian menuju ke
arah mereka. Daichi yang ditatap oleh orang-orang tidak dikenalnya merasa tidak
enak.
“A—aku…” Suga langsung mengambil
langkah panjang untuk mendekati Daichi, sebelum Daichi sempat menyelesaikan
kalimatnya.
“Kenapa kamu terus menghindariku? Apa
kamu membenciku?” tanya Suga dengan jarak antara Daichi yang hanya tinggal
beberapa senti.
“Bu—bukan begitu,” jawab Daichi
gugup.
“Kalau bukan karena membenciku, lalu
kenapa terus menghindariku?” Air mata Suga mulai jatuh satu per satu, tapi dia
tetap berusaha untuk berkata dengan badan tegap menatap langsung ke kedua mata
Daichi, “Jika—jika memang kamu membenciku, harusnya kamu mengatakannya langsung
kepadaku. Jangan terus berusaha menghindariku seperti ini.”
Daichi menoleh ke kanan-kiri. Semakin
lama kerumunan orang yang melihat mereka semakin ramai.
“Su—Suga… tenanglah,” pinta Daichi.
“Seandainya kamu bilang kalau kamu
membenciku. Itu jauh lebih baik, daripada terus berusaha menghindariku,” kata
Suga dengan suara serak, sementara ke dua tangannya sibuk menghapus air matanya
yang terus mengalir dengan derasnya tanpa bisa dia bendung.
“Kenapa kamu melakukan ini padaku
Daichi… hiks,” lanjut Suga sambil terisak.
Daichi yang bingung harus melakukan
apa, segera menggenggam pergelangan tangan kanannya Suga.
Suga terkejut dengan apa yang
dilakukan Daichi, “Da—daichi…”
Lalu Daichi pun memaksanya untuk
mengikuti ke mana Daichi melangkah.
Pokoknya kabur dari perhatian mereka dulu, batin Daichi yang dari wajah dan aura
yang dia keluarkan sudah seperti akan melahap orang.
*****
“Sudah tenang?” tanya Daichi yang
duduk di samping Suga.
“Memang kenapa?” jawab Suga dengan
nada judes.
“Harusnya kamu biarkan saja aku
menangis di sana. Kenapa juga kamu harus membawaku ke sini?” protes Suga dengan
wajah yang masih kelihatan kalau dia habis menangis.
“Apa kamu membawaku ke sini, karena
kamu malu dilihat banyak orang ya?” lanjut Suga masih marah-marah.
Daichi hanya diam tidak menjawab. Jika
dia menjawab alasan dia membawa ke taman belakang kampus adalah supaya tidak
menjadi tontonan orang, Suga pasti akan mengamuk.
“Jika kamu sudah tenang, pulang lah
dan istirahat lah,” kata Daichi dengan nada sedikit khawatir.
“Kenapa kamu berkata seperti itu? Bukankah
kamu membenciku?” tanya Suga.
“Bukan begitu. Kamu salah paham,”
jawab Daichi.
Suga mendengus. “Aku? Salah paham?
Dari sikapmu selama ini saja sudah terjawab kalau kamu membenciku.”
Daichi mengehela napas, lalu berkata,
“Aku sudah SMS Asahi. Sebentar lagi dia akan ke sini untuk mengantarmu pulang.”
Suga yang geram setelah mendengar
perkataan Daichi, berhasil membuat Daichi kebingungan.
“Jika memang membenciku, katakan saja
langsung! Kenapa juga harus SMS si kambing pengecut untuk mengantarku! Aku juga
bisa pulang sendiri!” protes Suga. “Aku tidak butuh bantuanmu,” lanjut Suga
kali ini dengan tatapan benci ke arah Daichi.
“Aku tidak membencimu,” kata Daichi.
“Berhenti berbohong!” seru Suga
dengan suara sangat keras. “Jika memang yang kamu inginkan adalah menjauh
dariku. Baiklah. Akan kukabulkan keinginanmu,” kata Suga seraya menatap Daichi dengan
ekspresi penuh kebencian. Kemudian, melangkah pergi meninggalkan Daichi yang
sebetulnya ingin menghadang kepergian Suga. Namun tidak bisa dilakukannya.
Daichi kepalkan kedua tangannya, menahan amarah, sedih dan kecewa yang campur
menjadi satu.
Baru beberapa langkah yang diambil Suga,
Asahi datang dengan napas tersengal-sengal. Dia terkejut dan ketakutan saat melihat
suasana antara Daichi dan Suga.
“A—apa yang terjadi?” tanya Asahi
bingung.
Suga menatap Asahi sebentar, lalu meneruskan
langkahnya untuk pergi menjauhi Daichi. Sementara Daichi tetap diam di
tempatnya dengan ekspresi kesal sekaligus sedih.
Asahi yang melihat ekspresi ke
duanya, bingung harus melakukan apa. Akhirnya dia memilih mengikuti Suga,
karena Suga adalah seorang perempuan.
*****
Beberapa hari kemudian, Daichi
mendapat SMS dari Asahi. Isinya Asahi ingin supaya Daichi menemaninya di kos,
karena hari ini dia sendirian di kos.
“Seberapa penakutnya sebetulnya ini
orang,” kata Daichi setelah membaca SMS Asahi. Daichi sebetulnya ingin tidak mengindahkan
permohonannya Asahi. Tapi Asahi terus menerus SMS ke nomornya bahkan sampai
menelepon nomor hpnya.
Daichi langsung menerima panggilan
telepon dari Asahi dan langsung membentaknya, “Apa kamu tidak bisa berhenti
menggangguku?!” dengan nada marah.
“Kumohon Daichi… temani aku… aku
takut…” pinta Asahi dengan nada memelas dari seberang sana.
Daichi menghela napasnya, “Baiklah.
Tunggu aku di sana,” jawabnya kemudian.
“Benarkah? Apa kamu ingin aku
menjemputmu?”
“Tidak perlu. Lagipula aku masih
ingat letak kosmu,” jawab Daichi.
“Oke,” kata Asahi sebelum Daichi
menutupnya.
Daichi segera bersiap-siap ke rumah
Asahi. Tak lupa dia masukkan laptop ke dalam tasnya dan memakai jaket berwarna hitam
bertuliskan Karasuno University di punggungnya sebelum dia berangkat. Dia kunci
jendela lalu pintu kamarnya. Mengobrol sebentar diluar kamar dengan penghuni
kos lainnya, lalu berangkat ke kosan Asahi.
*****
Hal yang paling mengagetkan saat
berada di kamar kos Asahi adalah masuknya Suga ke dalam kamar. Sebetulnya Suga
masih berada di pintu, membeku saat dia melihat Daichi di dalam. Detik
berikutnya dia langsung menutup pintu tersebut dan berlari dengan wajah marah
mencari Asahi, si pemilik kamar.
“Oh Suga. Apa yang kamu lakukan di
sini?” tanya Asahi dengan wajah polos.
“Apa yang kamu lakukan di sini,
katamu,” kata Suga geram.
Dia cengkeram kerah Asahi lalu
berseru, “Dasar kambing sialan! Kamu kan yang mengundang Daichi ke sini! Bukannya
kamu sudah tahu kalau kami berdua itu sedang ada masalah! Aku kan sudah cerita
kemarin apa kamu tidak mendengarkannya?!”
“Tenang Suga. Aku memang mengundang
Daichi, karena dia kan juga temanku,” kata Asahi berusaha menenangkan Suga.
Suga melepaskan kerah Asahi kemudian
berseru, “Aku pulang.”
“Apa kamu ingin membiarkan hal ini
terus berlanjut?” tanya Asahi namun pertanyaan tersebut tidak dapat
menghentikan langkah Suga.
“Daichi tidak membencimu,” kata Asahi
kemudian. Suga langsung menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya ke
arah Asahi.
“Darimana kamu tahu dia tidak
membenciku?” tanya Suga seraya memasang ekspresi datar.
Ditanya begitu Asahi sebetulnya
bingung mau menjawab apa.
“Apa dia mengatakan padamu kalau dia
tidak membenciku?” tanya Suga lagi.
Asahi keringat dingin tidak bisa
menjawab pertanyaannya Suga.
“Ka— kamu sendiri tahu darimana kalau
Daichi membencimu? Apa dia mengatakannya pada langsung padamu?” tanya Asahi
dengan keringat dingin yang mengucur deras di punggungnya tapi tetap berusaha
memasang ekspresi biasa.
“Aku menanyakan padanya,” jawab Suga.
Aura gelap keluar dari tubuhnya membuat Asahi ingin berteriak.
“A—apa dia menjawab iya?” tanya Asahi
masih berusaha bersikap biasa walau dia sangat ingin pergi dari sana detik ini
juga.
Suga menggeleng, “Dia hanya diam.”
“Daichi tidak mengatakan apa pun?”
tanya Asahi lagi, tidak percaya dengan jawaban pertama yang diberikan Suga.
Suga menggelengkan kepalanya. “Sama
sekali tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia hanya diam saja.”
Asahi diam sebentar. Bagaikan air
yang masuk ke tenggorokan yang sangat kering, harapan bahwa Suga dan Daichi
masih dapat berbaikan, membuat Asahi senang dan lega. Dan perasaan tersebut
terlihat jelas di wajahnya Asahi.
Suga yang terkejut melihat wajah Asahi,
mencoba untuk bertanya kepada Asahi, “Asahi, kamu kena…”
Sayangnya kalimat Suga dipotong
duluan oleh Asahi sebelum dia sempat menyelesaikannya.
"Ternyata..."
“Ternyata?” ulang Suga dengan tanda tanya dan
wajah kebingungan.
Asahi menoleh ke arah Suga, kemudian
dia tersenyum bahagia. Namun senyum itu langsung menghilang saat dia melihat
ekspresi marah di wajah Suga.
Dengan tergesa Asahi menjelaskan apa
yang dia pikirkan sebelum Suga mengamuk, “Kalian berdua itu ternyata cuma salah
paham.”
Suga yang mendengar perkataan Asahi,
langsung bingung setengah mati. “Salah paham?” tanyanya. “Maksudmu?”
“Daichi itu tidak membencimu,” jawab
Asahi dengan ekspresi senang.
“Kamu pasti mengarangnya,” tuduh
Suga.
“Aku tidak mengarangnya!” seru Asahi.
“Buktinya dia tidak bilang kalau dia membencimu. Dia hanya diam saja saat kamu
bertanya apa dia membencimu atau tidak.”
“Kamu memang naif sekali, Asahi,”
ejek Suga.
“Pantas sampai sekarang kamu tidak
laku,” tambahnya.
Kalimat Suga berhasil menusuk tepat
dijantung Asahi.
“I—itu tidak ada hubungannya kan?”
tanya Asahi dengan hati yang tercabik-cabik akibat perkataannya Suga.
“Yang pasti. Kita sekarang tahu kalau
pertengkaran kalian bukan karena Daichi membencimu.” Suga diam seribu bahasa.
Dia mencoba mencerna kembali kejadian waktu itu.
“Semuanya akan kembali seperti
semula, jika kamu minta maaf duluan,” saran Asahi.
“Kenapa harus aku yang minta maaf
duluan,” gumam Suga.
“Karena ada kemungkinan Daichi juga
tidak paham penyebab hubungan kalian retak,” jawab Asahi seraya menepuk pundak
Suga.
Berat hati rasanya bagi Suga untuk menerima
saran yang diberikan Asahi, tapi jika dia tidak melakukannya, maka hubungannya
dengan Daichi akan terus seperti ini selamanya. Dan Suga tidak menginginkannya.
*****
Di kamar Asahi, Daichi sendirian. Dia kembali
mengingat ekspresi yang ditinggalkan Suga saat melihat dirinya di kamar Asahi.
Lalu ingatannya kembali ke hari Suga menatapnya penuh dengan kebencian.
“Aku ini kenapa ya?” tanya Daichi
pada diri sendiri.
Tidak lama kemudian, suara pintu
berbunyi dan Asahi muncul dibalik pintu.
“Apa sudah ketemu?” tanya Daichi
berusaha bersikap normal seperti biasa. Dia sendiri merasa tidak enak, sudah
tiba-tiba marah kepada Asahi yang tidak tahu apa-apa dengan apa yang dia
rasakan.
“Yep. Ternyata dibawa sama kak Adit. Kakak
kos yang tinggal di atas,” jawab Asahi seraya menunjukkan kabel USB berwarna
hitam. Dari balik punggung Asahi, terlihat Suga yang terus menundukkan
kepalanya.
Daichi bingung harus bagaimana saat
melihat Suga. Ingatannya di kejadian tempo hari kembali terngiang. Asahi yang terjebak
suasana tidak enak yang dihasilkan mereka berdua berusaha mencari topik
pembicaraan untuk mengusir suasana tidak enak tersebut.
“Oh iya, Daichi. Aku lupa bilang
padamu kalau Suga juga ikut. Kamu tidak keberatan kan?” tanya Asahi.
“Te—tentu saja tidak apa-apa,” jawab Daichi.
Terlihat jelas kegugupannya. “Aku sama sekali tidak keberatan.” Bersikap normal, bersikap normal, batin Daichi.
Asahi mulai sibuk mengoperasikan agar
TV-nya bisa menyambung ke PC-nya. Sementara Daichi dan Suga ditelan keheningan.
Mereka berdua bingung harus berkata apa dan bersikap seperti apa. Bagi mereka
berdua sekarang ini bersikap normal sudah termasuk misteri terbesar yang belum
diketahui jawabannya.
“Beres,” kata Asahi saat dia berhasil
memunculkan film yang akan mereka bertiga tonton di layar TV-nya. Tentu saja
keberhasilan Asahi diikuti dengan kelegaan Suga dan Daichi. Akhirnya mereka
berdua bisa menghentikan keheningan yang menyesakkan dada ini.
Saat film yang mereka nonton baru
main sekitar sepuluh menit, Asahi meninggalkan mereka berdua dengan alasan
ingin ke kamar mandi.
Beberapa detik setelah Asahi
meninggalkan mereka berdua, keheningan menyelimuti mereka berdua. Mereka berdua
berusaha memfokuskan diri ke film tersebut. Tapi gagal.
“Maaf,” kata mereka berdua serempak,
lalu kaget sendiri saat mendapati lawan bicara masing-masing mengeluarkan kata
yang sama peresis seperti yang mereka keluarkan.
“Kamu dulu,” kata Daichi menawarkan
kesempatan agar Suga bisa bicara terlebih dahulu.
“Er… aku mau minta maaf atas kejadian
beberapa hari sebelumnya,” kata Suga dengan nada bersalah dicampur kebingungan.
Merasa bersalah sudah membiarkan emosi menguasainya dan merasa bingung harus
berkata apa.
“Aku juga minta maaf,” kata Daichi. “Aku
tidak tahu kalau ternyata kamu dan Asahi pacaran. Makanya aku…” Kelanjutan
kalimat dari Daichi berhasil membuat Suga terkejut.
Sebelum Daichi menyelesaikan
kalimatnya, Suga langsung memotongnya. “Stop! Stop!” serunya. “Siapa yang
pacaran sama siapa tadi? Aku?” tunjuk Suga ke dirinya sendiri. “Sama si kambing
pengecut itu?”
Suga yang kemudian tertawa, membuat
Daichi kebingungan. Daichi merasa ada yang salah dalam perkataannya, hanya saja
dia tidak tahu di bagian mananya.
Setelah puas tertawa, Suga berkata, “Ah,
maaf. Maaf. Kamu pasti bingung,” sambil menyeka air matanya yang jatuh karena
terlalu banyak tawa. “Aku dan Asahi tidak pacaran.”
“Tidak?” tanya Daichi, masih ragu.
Suga menggelengkan kepalanya, “Tidak.”
“Kami berdua hanya teman satu SMA
saja. Tidak lebih. Lagipula dia bukan tipeku,” jawab Suga.
Daichi tertawa mendengarnya. “Memang tipemu
yang bagaimana?”
“Ada deh,” jawab Suga sambil
meringis.
Asahi yang mengintip dari celah pintu
kamar, merasa lega melihat mereka ke dua temannya itu akrab seperti semula.
Lalu dia pun memasuki kamarnya dan mereka pun mulai asyik membicarakan sesuatu.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar