Minggu, 09 Maret 2014

My Only Friend

Ini adalah cerpen yang kubuat untuk dimasukan dalam lomba... bertema HIV AIDS...


Sebetulnya aku juga bingung ni cerpen temanya HIV AIDS atau bukan... yang pasti para penyuka yuri subtext mungkin akan menyukainya... :3

Isi cerpen ini 10 halaman... 

ini cerpen normalku yang berhasil kubuat untuk pertama kalinya hahaha :v :3


selamat dinikmati :3

*****



Namaku Ida. Aku adalah siswi SMA yang sedang menikmati masa mudanya yang sedang mekar dengan indahnya. Walau aku hanya hidup dengan ayahku, tapi aku sangat bersyukur karena dapat bertemu dengan Nita. Satu-satunya temanku yang sangat kusayang. Semuanya terasa indah. Benar, semuanya terasa indah, sebelum aku mengetahui yang sebenarnya tentang diriku. Diriku yang ternyata mengidap penyakit HIV AIDS.

*****

Kuambil termometer yang berada di dalam mulutku. Aku menghela napas panjang saat melihat angka yang muncul di layar termometernya.

“Lagi-lagi badanku panas,” komentarku. 

Dengan langkah malas, kulangkahkan kakiku menuju ke kotak obat yang terletak di bagian ruang makan.

“Kalau tak salah masih ada...”

“Tak ada...” kataku dengan nada kecewa, saat melihat bungkus kosong obat yang ada didalamnya. “Terpaksa harus ke apotik deh.”

*****

Apotik Serba Ada, itulah nama apotik yang kukunjungi. Apotik itu buka 24 jam dan letaknya tak jauh dari rumah. Tapi kalau lagi malas, ya tetap saja malas walau jarak yang harus ditempuh itu dekat.

Seorang laki-laki muda muncul saat aku membuka pintu apotik. Dari penampilan dan guratan di wajahnya, kelihatannya selisih umurnya tak jauh dari diriku. Dia tersenyum manis kepadaku yang memandangnya dengan takut-takut. Bukan karena dia menakutkan atau gimana, aku yang memang tak terbiasa berhadapan dengan orang asing. Entah kenapa setiap berhadapan dengan orang asing aku merasa ketakutan.

“Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada ramah.

Aku cuma mengangguk tanpa menjawab pertanyaannya. Kemudian kumasukkan tangan kananku ke dalam tas untuk mengambil bungkusan obatku. Tentu saja, supaya aku tak perlu menjelaskan nama-nama obat yang susah itu. Laki-laki penjaga apotik itu mengawasiku sebelum akhirnya dia berkata sesuatu yang mengejutkanku.

“Kamu… Ida kan?” tanyanya.

Aku terkejut saat mendengar namaku disebut oleh laki-laki itu. “Ma-maaf. Bagaimana mas bisa tahu nama saya ya?” tanyaku balik.

“Ternyata beneran, Ida. Ini aku, Gilang. Tetangga sebelahmu dulu. Apa kamu masih ingat?” katanya dengan nada riang. Pertanyaanku dijawabnya dengan kalimat yang membuatku harus mengolah otak untuk sementara waktu.

“Gilang?” Kucoba mengingat orang yang ada dihadapanku ini dengan petunjuk "tetangga sebelahku dulu". Butuh waktu beberapa menit untuk menemukan ingatan tentang orang dihadapanku ini.

“Oh! Mas Gilang yang autis itu?” tanyaku memastikan ingatan yang berhasil kutemukan di otakku.

Mas Gilang langsung menunjukkan wajah tak senang saat mendengar perkataanku tersebut. “Siapa tadi yang kamu sebut autis?”

Aku cuma bisa nyengir kuda. “Habis mas itu kalau dipanggil nama sering nggak pernah ada reaksi. Makanya banyak yang bilang kalau mas Gilang itu terkena autis,” jelasku panjang lebar. Kemudian aku pun mengganti topik pembicaraan dengan bertanya, “Ngomong-ngomong, mas kerja disini?”

“Begitulah. Sebenarnya baru dua hari ini aku kerja disini,” jawabnya dengan nada ramah seperti biasa. Lega deh rasanya.

“Kamu mau beli apa?” tanyanya.

“Obat-obat ini mas,” jawabku seraya mengeluarkan bungkus obat dari dalam tas. Mas Gilang menunjukkan ekspresi terkejut saat melihat bungkus obat yang kutunjukkan padanya. “Ini kan…”

*****

Pagi yang indah, matahari bersinar dengan cerahnya, burung-burung berkicau dan angin sepoi-sepoi bertiup. Atau… harusnya pagi ini akan menjadi pagi yang indah jika aku juga ikut menikmatinya seperti yang biasa kulakukan. Sayangnya, aku tak bisa melakukannya. Percakapanku dengan ayah setelah pulang dari apotik masih segar dalam ingatanku.

          “Ayah. Apa ayah sibuk? Aku… Ada yang ingin kubicarakan dengan ayah,” kataku dengan ekspresi serius pada ayah yang baru saja pulang dari kantor.

“Kenapa kamu formal sekali, Ida. Rileks. Rileks. Santailah sedikit. Tenang saja, hari ini ayah punya banyak waktu luang,” kata ayah santai seraya duduk di salah satu kursi yang ada di sekitar meja makan.

“Lalu apa yang ingin kamu bicarakan?” kata ayah dengan sikap yang masih santai.

“Ayah… Hm... Itu... Mmm... A-apa aku terkena HIV AIDS?”

Ayah diam. Tak menjawab pertanyaan yang kuajukan padanya. Tapi aku berhasil menangkap ekspresi kaget yang muncul di wajahnya walau hanya beberapa deitk sebelum ayah kembali menjadi dirinya yang seperti biasa, santai.

“Kamu itu blak-blakan sekali, ya. Mirip sekali dengan ibumu,” katanya tanpa menjawab pertanyaanku lagi. Jujur aku sebal mendengarnya. Hari ini sudah dua kali aku bertanya, tapi pertanyaanku tak di jawab langsung.

Ayah menghela napas panjang. “Padahal aku ingin menahannya lebih lama lagi. Tapi sepertinya kamu sudah mengetahuinya. Jawabannya adalah iya,” katanya.

Kugebrak meja yang ada dihadapanku dan berkata dengan suara yang tinggi, “Kenapa ayah tak segera memberitahuku!?”

Ayah sudah pasti kaget dengan reaksiku itu. Tapi sepertinya dia memakluminya karena detik berikutnya dia berkata, “Ayah berencana akan memberitahumu ketika kamu sudah lulus SMA. Supaya kamu tak terlalu kaget. Apa boleh buat… ternyata kamu sudah mengetahuinya terlebih dahulu.”

Sorot mata ayah tiba-tiba menajam, nada suaranya berubah menjadi dingin saat dia bertanya, “Lalu darimana kamu mengetahuinya?”

Jujur melihat ayah berubah seperti itu aku jadi ketakutan. Baru kali ini aku melihat ayah dengan sorot mata dan bertanya dengan nada seperti itu. “Mm... Itu... Tadi... Obatnya habis. Jadi aku membelinya, karena suhu badanku tadi agak meninggi. Saat itulah, apotekernya memberitahuku tentang obat-obat itu...” jawabku dengan takut-takut. Sudah tak tersisa lagi diriku yang tegas sebelumnya.

“Ayah tak perlu khawatir. Sekarang suhu badanku sudah kembali normal lagi, setelah minum obat.” tambahku cepat-cepat.

“Jadi dari situ ya…” kata ayah sambil menghembuskan napas panjang. Setelah itu suasana menjadi hening. Kami terdiam untuk beberapa menit.

“Ibumu… meninggal gara-gara penyakit itu. Sebulan setelah dia melahirkanmu. Kondisinya terus memburuk selama dua hari dan akhirnya dia pun menghembuskan napas terakhirnya. Setelah kepergiannya, ayah pun memeriksakan kesehatanmu. Apakah kamu punya penyakit itu atau tidak. Sebetulnya ayah sudah menduga kamu mempunyainya karena ayah dan ibumu sudah terinfeksi. Tapi sedikit berharap tak apakan? Sayangnya harapan hanyalah harapan. Kamu juga sudah terinfeksi virus HIV AIDS. Setelah itu, ayah pun memutuskan untuk tinggal dikota lain. Kota yang terletak di pulau yang berbeda saat ibumu masih hidup,” jelasnya panjang lebar.

Kutatap langit biru dengan tatapan menerawang. Masih tak percaya dengan cerita yang kudengar dari ayah semalam. Masih belum dapat mengakui penyakit yang kuderita sejak aku masih kecil.

Angin pagi yang berhembus menggoyangkan dua kunciranku kekanan dan kekiri, sementara pikiranku semakin tenggelam. Tenggelam terus ke kegelapan tanpa dasar. Saat sedang tenggelam dalam pikiranku, aku mendengar suara yang sangat kukenal memanggil namaku. Menarik diriku yang tenggelam ke permukaan. Aku pun membalikkan badanku ke arah sumber suara.

Seorang gadis yang usianya tak jauh dariku dengan rambut di ikat satu ke belakang muncul dengan senyum menghiasi wajahnya, saat aku melihat ke arahnya. Namanya adalah Nita. Satu-satunya temanku yang kusayang. Jika kau melihatnya pertama kali kesan cewek model yang akan kau dapatkan. Nita mempunyai tinggi 178 cm dengan bodi ramping. Kulitnya eksotis, sawo matang, dengan rambut hitam lurus sebahu yang dikuncir ekor kuda.

Setiap kali dia berjalan, perempuan, laki-laki, tua muda pasti memandangnya dan memuji kecantikannya. Sudah pasti aku yang berjalan disebelahnya tak luput dari sorotan dan penilaian. Jika melihat ekspresi mereka saat menatapku aku yakin sekali mereka berkata jelek tentangku.

Rambutku memang lurus sama seperti Nita, hanya saja warnanya coklat kusam. Sudah begitu, aku hanya bisa menguncir dua rambutku. Badanku kecil dan pendek dengan kulit putih pucat yang kelihatan sekali sering sakit. Jika aku mengatakan aku tak pernah iri dengan Nita, kelihatan sekali bohongnya. Aku pernah ingin punya kulit seperti Nita, badan setinggi Nita, dan rambut sehitam Nita. Cuma ingin saja sih, tak sampai memakai sesuatu atau melakukan sesuatu agar keinginanku tercapai karena aku terlalu malas melakukannya. Alhasil inilah aku. Saat aku berjalan disampingnya, kelihatan sekali bedanya. Walau kami berdua memakai seragam putih abu-abu dengan model yang sama.

Nita itu orang terkuat yang pernah kukenal, bahkan lebih kuat dari ayahku. Bagaimana tidak? Dia itu pernah mewakili negara Indonesia di olimpiade bidang bela diri. Terus, minggu kemarin dia berhasil menghajar preman-preman kampung berbadan besar yang hendak menggangguku dan masih banyak lagi.

“Oh, Nita. Selamat pagi,” sapaku. Benar. Suara Nitalah yang berhasil menarikku ke permukaan. Sehingga aku tak berhasil tenggelam jauh ke dalam kegelapan.

Wajahnya yang semula bersinar penuh bahagia berubah saat melihat raut wajahku. “Kamu kenapa? Kok murung? Sedang ada masalah ya?” tanyanya dengan raut wajah khawatir. Kugelengkan kepalaku seraya berkata, “Nggak. Aku hanya sedikit tak enak badan saja.”

“Sudah minum obat?” Aku mengangguk. “Sudah. Tapi mungkin efeknya baru terasa nanti setelah sampai di kelas.”

“O… gitu. Syukurlah…” katanya dengan nada lega. Dalam hati aku merasa lega karena dia tak perlu mencemaskanku. Rasanya sangat menyakitkan saat dia mengkhawatirkan kondisiku. Seperti sudah melakukan kesalahan berat kepadanya. Kemudian, keheningan memeluk kami berdua untuk beberapa menit sampai Nita membuka topik pembicaraan “Oh ya, tadi malam ada…”

Dan aku memotong pembicaraan itu dengan berkata, “Maaf, Nita. Ada yang harus kulakukan di kelas. Jadi aku duluan.” Lalu berlari meninggalkannya yang kebingungan dengan tingkahku yang tergesa-gesa. Nita memang berhasil menarikku ke permukaan, tapi aku tak ingin Nita ikut tenggelam bersamaku. Lebih tepatnya aku tak ingin dia ketularan penyakitku. Karena itulah, aku pun melepaskan genggaman tanganku dari dirinya, supaya cuma aku saja yang tenggelam ke dalam kegelapan ini.

Setelah aku pergi meninggalkannya, Nita berkata kepada dirinya sendiri, “Ada yang harus dilakukan di kelas? Kan aku satu kelas dengannya juga, tapi kok aku tak tau ya? Jangan-jangan hari ini piketnya Ida. Ah iya, pasti begitu. Pantas dia tergesa-gesa begitu.” Dan akhirnya dia pun mendapat kesimpulan yang salah.

******

Selama istirahat, Nita terus saja mengikuti sambil berusaha mengajakku ngobrol tanpa mempedulikan diriku yang terus berusaha untuk menjauhinya. Saat kupelankan langkahku dia ikut memelankan langkahnya. Saat kupercepat langkahku, dia juga mempercepat langkahnya. Dia sama sekali tak mengatakan apapun tentang aku yang berusaha menjauhinya. Mungkin dia tak menyadarinya. Mungkin dia mengira aku sedang sibuk. Kalau begitu, aku harus mengatakannya dengan jelas kepadanya.

“Terus, ibuku…”

“Hei, Nita. Bisakah kamu tak mendekatiku?” potongku, karena sudah tak tahu harus gimana lagi agar dia menjauhiku. Nita diam sesaat.

“Kenapa?” tanyanya kemudian. Aku memilih untuk pergi meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab pertanyaannya. Sebaliknya, nita mengikutiku di belakang sambil memanggil-manggil namaku. “Hoi, Ida! Ida! Hoi, Ida!”

Kuabaikan dirinya yang terus memanggil namaku. Tak perlu waktu lama, dia pun terbakar emosinya. “Ida…” PLAK! Kutepis tangannya yang memegang bahuku dengan keras. Ekspresi terkejut terlihat jelas diwajahnya. Sebetulnya aku juga kaget dengan apa yang kulakukan dan ingin segera minta maaf. Tapi, kuurungkan niat itu dan memilih untuk memunggunginya.

“Jangan dekati aku lagi,” kataku, kemudian pergi meninggalkannya begitu saja.
Angin berhembus dengan agak kencang. Nita hanya memegang tangannya yang telah kutepis untuk beberapa menit sebelum akhirnya mulai berjalan ke kelas.

*****

Sejak kejadian itu, Nita pun mulai tak mendekatiku lagi. Saat berangkat, saat di kelas, dan juga saat pulang sekolah. Kami tak lagi berdekatan seperti sebelumnya. Tak ada sapaan, saling tukar senyum, atau tertawa bersama lagi. Semuanya telah menjadi kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan.

“Aku tak boleh menangis. Aku harus kuat. Demi dirinya…” kataku pada diriku sendiri.

          Dan, hal yang tak pernah kuduga terjadi padaku. Aku jatuh pingsan saat hendak menuju ke perpustakaan. Saat kubuka ke dua mataku, yang ada dihadapanku adalah Nita yang wajahnya pucat, pakaiannya lusuh, dan ekspresi khawatir yang terlihat jelas di wajahnya.

“Kamu tak apa?” tanyanya dengan nada cemas yang terdengar jelas sekali.

Kuubah posisiku yang semula berbaring menjadi duduk dengan gerakan perlahan. Kutatap kedua matanya, lalu berkata dengan nada dingin, “Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan dekati aku.”

Nita kaget mendengar perkataanku itu. “Ha? Maksudmu a…”

Kupotong perkataannya dengan nada menyindir, “Kamu tuli ya? Kan sudah kukatakan jangan dekati aku. Atau jangan-jangan kamu tak mengerti bahasa Indonesia ya?”

Hening sesaat.

“Maafkan aku,” kata Nita seraya meninggalkan ruang UKS dengan ekspresi sedih yang tertahan.

Saat langkah kaki Nita sudah tak terdengar lagi, bu Wina, orang yang bekerja di UKS berkata dari balik tirai putih yang memisahkan tempat aku tidur dengan sisi ruang UKS lainnya, “Dia datang kesini dengan keringat membasahi bajunya, wajah yang pucat, dan raut wajah yang mencemaskan sesuatu loh. Lalu dia terus menemanimu dengan duduk di sebelahmu sampai kamu membuka mata. Apa kamu tak terlalu kasar padanya tadi?”

“Itu bukan urusan anda,” jawabku pendek.

“Galaknya,” sindirnya.

“Tanggung jawab guru adalah menjaga muridnya ketika disekolah. Karena itu, guru juga punya hak untuk memberikan saran agar murid-muridnya tak berjalan ke arah yang salah,” tambahnya.

“Tapi itu bukan berarti seorang guru mempunyai hak untuk ikut campur urusan pribadi muridnya,” bantahku dengan nada datar.

“Begitukah? Tapi… jangan lupa kalau aku ini sahabat ibumu.”

Bu Wina masih tak mau kalah. Begitu juga dengan diriku. “Lalu, aku harus bereaksi seperti apa, bu guru? Anda sahabat ibu saya, bukan sahabat saya. Selain itu, ibu saya sudah meninggal lama sekali. Atau…”

Aku sengaja menghentikan perkataanku supaya menarik rasa penasaran bu Wina. Dan berhasil. “Atau?” tanyanya dengan nada penasaran yang terdengar dengan sangat jelas.

“Atau jangan-jangan ibu punya niat untuk memberitahukan semua orang disekolah ini tentang penyakit saya?” Bu Wina diam tak menjawab atau membalas.

“Karena ibu adalah sahabat ibu saya, saya yakin ibu pasti tahu penyakit apa yang membuat ibu saya meninggal. Ditambah lagi anda adalah guru UKS di sekolah ini. Jadi anda juga pasti tahu penyakit apa yang diderita oleh saya. Jika ibu ingin memberitahukan kepada semuanya, saya tidak akan menahannya,” tambahku tentu saja dengan nada menyindir yang bisa membuat orang terbakar amarahnya.

Sayangnya, bukan kata-kata penuh emosi yang kudengar darinya, melainkan tawa yang sangat keras. “Hahaha. Tenang saja. Aku tidak sekejam itu. Aku hanya ingin mengatakan bersikaplah untuk lebih jujur dengan orang yang dekat denganmu. Ingat! Kamu hidup di dunia ini tidak sendirian. Jika kamu merasa kesepian kamu bisa berbincang-bincang denganku disini. Lumayan untuk menghabiskan waktu luangku selama masih dapat bernapas.”

Setelah itu, terdengar suara kursi yang digeser dari balik tirai. “Tolong jaga UKS ya,” kata bu Wina sebelum pergi meninggalkanku yang sibuk mencerna perkataannya. Sendirian.

*****

Jam dinding yang menggantung di kelas masih menunjukkan jam 6.00 dan aku sudah berada di kelas sendirian. Ini semua gara-gara ayahku yang mengajak berangkat bersamanya. Jika saja tadi aku menolaknya, pasti aku tak perlu menghabiskan waktuku di kelas ini sendirian.

Walaupun biasanya aku tetap memilih sendirian ketika ada siswa yang lainnya, tapi tetap saja rasa sepinya berbeda.

“Kelasnya jadi terasa sangat sunyi dan sepi.”

Aku menghela napas panjang.

“Terlalu lama untuk menunggu jam pertama. Ini semua gara-gara ayah, kalau saja tadi dia tak mengajakku berangkat bersamanya,” gerutuku.

Karena bosan, kuambil sebuah novel dari dalam tasku. Saat hendak membacanya, aku melihat Nita yang berdiri di pintu kelas dengan wajah terkejut. Begitu juga dirinya yang memandangku dengan wajah terkejut. Detik berikutnya, aku memfokuskan diriku ke buku yang ada dihadapanku. Pura-pura tak menyadari keberadaannya. Begitu juga dengan Nita, yang berjalan ke arah tempat duduknya yang letaknya berada di baris diagonal kanan dari tempat dudukku. Hening sesaat sebelum akhirnya, Nita mendekati tempat dudukku dan menggebrak mejaku dengan kedua tangannya. BRAK!

Aku berkata dengan nada dingin, “Harus berapa kali kukatakan jangan…”

Perkataanku dipotong oleh Nita sebelum aku sempat menyelesaikannya. “Dekati aku lagi? Aku sudah hapal dengan hal itu. Hanya saja, aku sudah tak tahan lagi,” katanya dengan nada dingin seraya menatap langsung ke dua mataku. Kemudian dia menggenggam tanganku dan memerintahku untuk mengikutinya. “Ikut aku!”

Tentu saja aku tak menuruti perkataannya. “Lepaskan tanganku!” seruku sambil berusaha melepaskan genggamannya. Nita diam saja tak menggubris perintahku. Hanya saja, genggaman tangannya semakin mengencang, dan menyakiti pergelangan tanganku.

“Sakit! Lepas…” Aku mencoba meronta, melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku. Tapi, genggamannya terlalu kuat.

“Tak akan kulepas, sampai kamu menuruti perintahku. Ikuti aku atau kupatahkan tanganmu,” katanya dengan nada datar seraya menatapku dengan tatapan tajam. Kutatap balik dengan tatapan tak kalah tajamnya. Kemudian menyerah karena semakin aku meronta semakin kuat genggamannya. Selain itu, aku juga tak ingin tanganku dipatahkan olehnya. Bagi Nita pasti bukan hal yang sulit untuk mematahkan tanganku.

“Baiklah. Aku akan mengikutimu,” jawabku.

Nita tak menjawab apa-apa. Dia hanya diam saja sambil melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku. Kupegang pergelangan tanganku yang memerah, bekas digenggam oleh Nita tadi. Rasanya masih sakit tapi aku mencoba menunjukkan wajah datar. Nita masih tetap memandangku, kelihatannya dia menungguku untuk bergerak. Karena itulah, kucoba melangkahkan kakiku mendekatinya. Ternyata dugaanku benar, Nita melangkah keluar kelas saat aku mendekatinya.

“Kita mau kemana?” tanyaku saat kita berdua melewati ruang guru.

“Diam dan ikuti saja!” perintahnya. Aku pun menurut. Saat aku mengikutinya, aku merasa, sudah lama sekali tak melihat punggung Nita dari belakang sedekat ini. Tentu saja. Sudah sebulan aku menjauhinya, begitu pun dengan dirinya yang menjauhiku karena menuruti perintahku. Semuanya kulakukan supaya Nita tak tertular HIV AIDS. Penyakit menular yang kuderita saat ini.

Setelah berjalan beberapa menit akhirnya, Nita menghentikan langkahnya di belakang gedung sekolah. Nita balikkan badannya ke arahku, dan berkata, “Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

“Disini?” tanyaku dan mendapat anggukan kepala dari dirinya.

“Ada yang ingin kutanyakan padamu disini. Ida… Apa kamu membenciku?” Aku terkejut mendengar pertanyaannya. “Pertanyaan apa itu...”

“Jawab saja, iya atau tidak,” potong Nita dengan suara yang agak meninggi. Aku ketakutan saat mendengar bentakannya itu.

“Aku… aku tak membencimu,” jawabku dengan mengalihkan pandanganku ke arah lain. Berusaha menyembunyikan rasa takutku.

“Jika kau tak membenciku, kenapa kau menyuruhku menjauhimu? Dan juga, kenapa kau mengatakan aku tak membencimu sambil memandang ke arah lain? Apa kau membohongiku?” Aku diam, tak menjawab pertanyaannya.

“Ternyata begitu ya… Padahal kamu bilang, kamu tak membenciku? Kukira, kamu berbeda dengan yang lainnya. Ternyata kamu sama saja dengan mereka. Munafik!” serunya.

Kata munafik yang terlontar dari mulutnya bagai anak panah yang menusuk tepat di jantungku. Sangat sakit sekali. Aku memang membohonginya dengan menyuruhnya menjauhiku sambil memasang wajah dingin. Semua itu kulakukan untuk melindunginya. Aku berusaha agar tak menangis, karena ini semua demi dirinya. Demi orang yang berada dihadapanku, supaya dia tak mengalami hal yang sama denganku. Tapi saat orang yang kamu lindungi mengatakan hal yang sudah kamu lakukan dengan bersusah payah dengan nada mengejek dan meremehkan. Emosiku langsung naik.

Kukepalkan tanganku erat-erat sambil menggeram, “Kamu… tak tahu apa-apa.” Kugertakkan kuat-kuat gigiku, menahan amarah yang akan meledak.

“Ha? Kamu bilang apa?”

“Orang yang tak tahu apa-apa, sebaiknya diam saja!” bentakku dengan nada yang sangat jelas seraya menatap matanya dengan tajam.

Benar. Orang yang tak tahu apa-apa sebaiknya diam saja… “Selamanya…” Sepertinya perkataanku berhasil membuat Nita marah. Buktinya dia menarik kerahku ke arahnya. Namun itu hanya bertahan beberapa detik saja. Setelah itu, dia melepaskannya.

Dia kepalkan tangan kanannya, kemudian meninju tembok yang berada di sisi kirinya dengan satu kali tinju yang sangat keras. Mengerahkan semua amarahnya ke tembok yang tak bersalah itu. Setelah meninju tembok itu, dia berkata dengan nada tenang, “Hei, Ida. Akan kutanya sekali lagi. Apa kamu ingin aku menjauhimu?”

“Iya,” jawabku cepat dan tanpa ragu.

“Kenapa?”

“Itu bukan…” Sebelum aku sempat menyelesaikan perkataanku, Nita memotongnya dengan suara yang agak keras, “Itu sudah menjadi urusanku!”

“Tapi… itu akan berubah menjadi bukan urusanku lagi, tergantung jawaban-jawaban yang kamu berikan,” tambahnya dengan nada suara yang tenang.

“Katakan alasannya, kenapa aku harus menjauhimu?” tanyanya. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku ke bawah, memilih diam tak menjawab.

“Apa karena kamu membenciku?” Aku tetap diam tak menjawab, tapi kedua tanganku terkepal.

“Ho… Jadi karena kamu membenciku ya… sejak kapan?” Sementara kepalan tanganku semakin kuat, mulutku masih tertutup rapat.

“Jangan-jangan sejak awal berteman denganku, kamu sudah membenciku? Kamu pura-pura menjadi temanku untuk memanfaatkanku. Atau karena ingin menusukku dari belakang?” Ingin sekali aku teriak Bukan… kamu salah paham Nita! Tapi mulutku sudah terkunci rapat.

Nita masih terus menyindirku. “Padahal selama ini aku menganggapmu sebagai teman berhargaku. Tapi kamu menganggapku sebagai pengganggu.” Air mataku hampir menetes saat mendengar perkatannya. Bukan… kamu salah paham Nita. Aku tak pernah menganggapmu sebagai penggangu.

“Maaf karena selama ini aku telah mengganggumu. Tapi sekarang kamu bisa tenang karena aku tak akan mengganggumu lagi,” katanya dengan nada yang melembut. Aku masih menutup mulutku tak menjawab ataupun membalas perkataannya.

“Selamat tinggal, Ida,” kata Nita seraya melangkah pergi meninggalkanku.

Baru dua langkah yang diambil Nita, aku bergumam, “Jangan…”

Nita yang mendengar gumamanku menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku.

“Jangan seenaknya memutuskan apa yang ada dipikiranku!” teriakku.

“Kamu tidak mengerti apa-apa! Jadi jangan asal main tuduh!” lanjutku masih sambil teriak. Nita yang tak terima dengan perkataanku membalas dengan suara tak kalah keras, “Jangan asal tuduh gimana?! Bukannya sudah jelas kalau kamu membenciku?!”

“Jelas apanya! Kamu ini bodoh sekali ya!” balasku.

“Aku memang bodoh! Buktinya nilai tesku kemarin jelek semua!” balasnya dengan jawaban yang sebetulnya di luar topik.

Aku menyeringai mendengar jawabannya, dan membentaknya lagi, “Ternyata kamu menyadarinya juga kalau kamu itu bodoh! Tapi kenapa kamu tak berusaha belajar!”

“Aku sudah belajar sekeras yang kubisa! Tapi otakku memang sudah tumpul dari sananya, mau diapain seperti apa juga tak akan berubah!”

“Kamu seharusnya tak menyerah! Semua pasti ada jalannya!”

“Itu tak ada hubungannya denganmu!” balasnya. Perkataan Nita seperti sebuah batu yang dilempar ke arah kepalaku. Padahal hanya satu kalimat sederhana “Itu tak ada hubungannya denganmu”. Tapi ternyata rasanya sakit sekali saat mendengar kalimat itu dari orang yang selama ini berusaha untuk kau lindungi. “Tentu saja ada… aku ini kan…” Kuhentikan kata-kataku untuk beberapa detik, kemudian air mataku langsung jatuh saat aku meneruskan perkataanku yang sempat terhenti tadi dengan nada lirih. “Temanmu…”

Nita merasa bersalah saat dia melihatku menangis. “Ida…”

“Aku…hiks… selalu…hiks… berusaha melindungimu…hiks.” Air mataku terus menerus jatuh tanpa bisa kutahan.

“Apa maksudmu dengan melindungiku?” Diamku membuat Nita berang. Dia memegang kedua lengan atasku kuat-kuat sambil berkata dengan suara keras, “Aku tanya, apa maksudmu dengan melindungiku!”

Kutepis kedua tangannya yang memegangi lengan atasku, kemudian berjalan melewatinya. Baru beberapa langkah yang kuambil, langkahku terhenti karena dihentikan oleh Nita yang menggenggam tangan kananku.

“Lepaskan…” perintahku.

“Tak akan kulepas sebelum kamu menjelaskan maksudmu melindungiku,” kata Nita.  Kugertakkan gigiku kuat-kuat. Mencoba untuk menahan emosi agar tak meledak.

“Ida…” Panggilannya dengan nada memohon berhasil membuatku meledak. “Aku tak mau kamu ketularan penyakitku! Aku sudah terinfeksi HIV AIDS! Selama ini, aku berusaha menjauhimu supaya kamu tak tertular. Supaya kamu juga tak terkena penyakit ini. Tapi kenapa… kenapa kamu…”

Tiba-tiba Nita memelukku. Suatu tindakan yang benar-benar mengejutkan. “Nita…”

“Syukurlah… syukurlah…” kata Nita dengan nada lega sambil memelukku.

“Tunggu, maksudmu apa…” Nita memotong perkataanku. “Syukurlah… kukira kamu membenciku. Ternyata cuma HIV AIDS.”

“HIV AIDS kamu bilang cuma…”

Nita melepas pelukannya. Dia tersenyum kepadaku sambil berkata, “Tentu saja. Bagiku, dibenci olehmu adalah persoalan yang sangaaat berat. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika kamu membenciku.”

“Tapi… HIV itu…” Nita mendekatkan jari telunjuknya kemulutku membuatku langsung terdiam.

“Kamu tak perlu khawatir. Aku itu tipe orang yang tak gampang sakit. Jadi tak akan semudah itu tertular penyakitmu,” kata Nita dengan senyum masih menghiasi wajahnya. Mendengar perkataannya, melihat senyumannya. Tangisku pun pecah.

Setelah menghabiskan beberapa menit dengan menangis, rasanya entah kenapa aku merasa sangat lega. Kemudian kami pun memilih untuk duduk di bawah salah satu pohon yang terletak di belakang gedung sekolah.

“Akhirnya semuanya hanya salah paham belaka. Coba kamu mengatakannya sebelumnya. Aku tak akan stress seperti ini.” Perkataan Nita membuatku penasaran. “Kamu… stress?”

“Tentu saja. Aku stress memikirkan apa kesalahanku kepadamu sampai aku kesulitan untuk tidur. Kamu harus bertanggung jawab,” jawab Nita sambil menyandarkan kepalanya ke pundakku.

“Kamu mau apa?” tanyaku melihat kelakuannya yang tak dapat kutebak.

“Sudah jelaskan, kalau aku mau tidur. Bukannya tadi aku sudah bilang kalau aku sebulan ini aku terus kesulitan tidur? Dan entah kenapa duduk disampingmu seperti ini membuatku nyaman dan ngantuk.” katanya dengan mata mengantuk. Disusul dengan bunyi bel, tanda pelajaran akan dimulai.

“Tapi bel pelajaran kan sudah berbunyi,” kataku mengingatkan.

“Aku juga dengar. Tapi, tak apa kan kalau sesekali membolos? Aku benar-benar mengantuk sekali.” Setelah berkata begitu, Nita sudah tidur dengan pulasnya.

“Cepatnya…” kataku dengan nada sepelan mungkin, tak ingin membangunkannya.

Angin sepoi-sepoi dan rindangnya daun-daun yang menutupi cahaya matahari, membuatku ikut mengantuk. “Semoga kita berdua dapat terus bersama seperti ini. Selamanya…” kataku sebelum akhirnya ikut tertidur.


   THE END —

 Namaku Ida. Aku adalah siswi SMA yang sedang menikmati masa mudanya yang sedang mekar dengan indahnya. Walau aku hanya hidup dengan ayahku, tapi aku sangat bersyukur karena dapat bertemu dengan Nita. Satu-satunya temanku yang sangat kusayang. Semuanya terasa indah. Benar, semuanya terasa indah, sebelum aku mengetahui yang sebenarnya tentang diriku. Diriku yang ternyata mengidap penyakit HIV AIDS.

*****

Kuambil termometer yang berada di dalam mulutku. Aku menghela napas panjang saat melihat angka yang muncul di layar termometernya.

“Lagi-lagi badanku panas,” komentarku. 

Dengan langkah malas, kulangkahkan kakiku menuju ke kotak obat yang terletak di bagian ruang makan.

“Kalau tak salah masih ada...”

“Tak ada...” kataku dengan nada kecewa, saat melihat bungkus kosong obat yang ada didalamnya. “Terpaksa harus ke apotik deh.”

*****

Apotik Serba Ada, itulah nama apotik yang kukunjungi. Apotik itu buka 24 jam dan letaknya tak jauh dari rumah. Tapi kalau lagi malas, ya tetap saja malas walau jarak yang harus ditempuh itu dekat.

Seorang laki-laki muda muncul saat aku membuka pintu apotik. Dari penampilan dan guratan di wajahnya, kelihatannya selisih umurnya tak jauh dari diriku. Dia tersenyum manis kepadaku yang memandangnya dengan takut-takut. Bukan karena dia menakutkan atau gimana, aku yang memang tak terbiasa berhadapan dengan orang asing. Entah kenapa setiap berhadapan dengan orang asing aku merasa ketakutan.

“Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada ramah.

Aku cuma mengangguk tanpa menjawab pertanyaannya. Kemudian kumasukkan tangan kananku ke dalam tas untuk mengambil bungkusan obatku. Tentu saja, supaya aku tak perlu menjelaskan nama-nama obat yang susah itu. Laki-laki penjaga apotik itu mengawasiku sebelum akhirnya dia berkata sesuatu yang mengejutkanku.

“Kamu… Ida kan?” tanyanya.

Aku terkejut saat mendengar namaku disebut oleh laki-laki itu. “Ma-maaf. Bagaimana mas bisa tahu nama saya ya?” tanyaku balik.

“Ternyata beneran, Ida. Ini aku, Gilang. Tetangga sebelahmu dulu. Apa kamu masih ingat?” katanya dengan nada riang. Pertanyaanku dijawabnya dengan kalimat yang membuatku harus mengolah otak untuk sementara waktu.

“Gilang?” Kucoba mengingat orang yang ada dihadapanku ini dengan petunjuk "tetangga sebelahku dulu". Butuh waktu beberapa menit untuk menemukan ingatan tentang orang dihadapanku ini.

“Oh! Mas Gilang yang autis itu?” tanyaku memastikan ingatan yang berhasil kutemukan di otakku.

Mas Gilang langsung menunjukkan wajah tak senang saat mendengar perkataanku tersebut. “Siapa tadi yang kamu sebut autis?”

Aku cuma bisa nyengir kuda. “Habis mas itu kalau dipanggil nama sering nggak pernah ada reaksi. Makanya banyak yang bilang kalau mas Gilang itu terkena autis,” jelasku panjang lebar. Kemudian aku pun mengganti topik pembicaraan dengan bertanya, “Ngomong-ngomong, mas kerja disini?”

“Begitulah. Sebenarnya baru dua hari ini aku kerja disini,” jawabnya dengan nada ramah seperti biasa. Lega deh rasanya.

“Kamu mau beli apa?” tanyanya.

“Obat-obat ini mas,” jawabku seraya mengeluarkan bungkus obat dari dalam tas. Mas Gilang menunjukkan ekspresi terkejut saat melihat bungkus obat yang kutunjukkan padanya. “Ini kan…”

*****

Pagi yang indah, matahari bersinar dengan cerahnya, burung-burung berkicau dan angin sepoi-sepoi bertiup. Atau… harusnya pagi ini akan menjadi pagi yang indah jika aku juga ikut menikmatinya seperti yang biasa kulakukan. Sayangnya, aku tak bisa melakukannya. Percakapanku dengan ayah setelah pulang dari apotik masih segar dalam ingatanku.

          “Ayah. Apa ayah sibuk? Aku… Ada yang ingin kubicarakan dengan ayah,” kataku dengan ekspresi serius pada ayah yang baru saja pulang dari kantor.

“Kenapa kamu formal sekali, Ida. Rileks. Rileks. Santailah sedikit. Tenang saja, hari ini ayah punya banyak waktu luang,” kata ayah santai seraya duduk di salah satu kursi yang ada di sekitar meja makan.

“Lalu apa yang ingin kamu bicarakan?” kata ayah dengan sikap yang masih santai.

“Ayah… Hm... Itu... Mmm... A-apa aku terkena HIV AIDS?”

Ayah diam. Tak menjawab pertanyaan yang kuajukan padanya. Tapi aku berhasil menangkap ekspresi kaget yang muncul di wajahnya walau hanya beberapa deitk sebelum ayah kembali menjadi dirinya yang seperti biasa, santai.

“Kamu itu blak-blakan sekali, ya. Mirip sekali dengan ibumu,” katanya tanpa menjawab pertanyaanku lagi. Jujur aku sebal mendengarnya. Hari ini sudah dua kali aku bertanya, tapi pertanyaanku tak di jawab langsung.

Ayah menghela napas panjang. “Padahal aku ingin menahannya lebih lama lagi. Tapi sepertinya kamu sudah mengetahuinya. Jawabannya adalah iya,” katanya.

Kugebrak meja yang ada dihadapanku dan berkata dengan suara yang tinggi, “Kenapa ayah tak segera memberitahuku!?”

Ayah sudah pasti kaget dengan reaksiku itu. Tapi sepertinya dia memakluminya karena detik berikutnya dia berkata, “Ayah berencana akan memberitahumu ketika kamu sudah lulus SMA. Supaya kamu tak terlalu kaget. Apa boleh buat… ternyata kamu sudah mengetahuinya terlebih dahulu.”

Sorot mata ayah tiba-tiba menajam, nada suaranya berubah menjadi dingin saat dia bertanya, “Lalu darimana kamu mengetahuinya?”

Jujur melihat ayah berubah seperti itu aku jadi ketakutan. Baru kali ini aku melihat ayah dengan sorot mata dan bertanya dengan nada seperti itu. “Mm... Itu... Tadi... Obatnya habis. Jadi aku membelinya, karena suhu badanku tadi agak meninggi. Saat itulah, apotekernya memberitahuku tentang obat-obat itu...” jawabku dengan takut-takut. Sudah tak tersisa lagi diriku yang tegas sebelumnya.

“Ayah tak perlu khawatir. Sekarang suhu badanku sudah kembali normal lagi, setelah minum obat.” tambahku cepat-cepat.

“Jadi dari situ ya…” kata ayah sambil menghembuskan napas panjang. Setelah itu suasana menjadi hening. Kami terdiam untuk beberapa menit.

“Ibumu… meninggal gara-gara penyakit itu. Sebulan setelah dia melahirkanmu. Kondisinya terus memburuk selama dua hari dan akhirnya dia pun menghembuskan napas terakhirnya. Setelah kepergiannya, ayah pun memeriksakan kesehatanmu. Apakah kamu punya penyakit itu atau tidak. Sebetulnya ayah sudah menduga kamu mempunyainya karena ayah dan ibumu sudah terinfeksi. Tapi sedikit berharap tak apakan? Sayangnya harapan hanyalah harapan. Kamu juga sudah terinfeksi virus HIV AIDS. Setelah itu, ayah pun memutuskan untuk tinggal dikota lain. Kota yang terletak di pulau yang berbeda saat ibumu masih hidup,” jelasnya panjang lebar.

Kutatap langit biru dengan tatapan menerawang. Masih tak percaya dengan cerita yang kudengar dari ayah semalam. Masih belum dapat mengakui penyakit yang kuderita sejak aku masih kecil.

Angin pagi yang berhembus menggoyangkan dua kunciranku kekanan dan kekiri, sementara pikiranku semakin tenggelam. Tenggelam terus ke kegelapan tanpa dasar. Saat sedang tenggelam dalam pikiranku, aku mendengar suara yang sangat kukenal memanggil namaku. Menarik diriku yang tenggelam ke permukaan. Aku pun membalikkan badanku ke arah sumber suara.

Seorang gadis yang usianya tak jauh dariku dengan rambut di ikat satu ke belakang muncul dengan senyum menghiasi wajahnya, saat aku melihat ke arahnya. Namanya adalah Nita. Satu-satunya temanku yang kusayang. Jika kau melihatnya pertama kali kesan cewek model yang akan kau dapatkan. Nita mempunyai tinggi 178 cm dengan bodi ramping. Kulitnya eksotis, sawo matang, dengan rambut hitam lurus sebahu yang dikuncir ekor kuda.

Setiap kali dia berjalan, perempuan, laki-laki, tua muda pasti memandangnya dan memuji kecantikannya. Sudah pasti aku yang berjalan disebelahnya tak luput dari sorotan dan penilaian. Jika melihat ekspresi mereka saat menatapku aku yakin sekali mereka berkata jelek tentangku.

Rambutku memang lurus sama seperti Nita, hanya saja warnanya coklat kusam. Sudah begitu, aku hanya bisa menguncir dua rambutku. Badanku kecil dan pendek dengan kulit putih pucat yang kelihatan sekali sering sakit. Jika aku mengatakan aku tak pernah iri dengan Nita, kelihatan sekali bohongnya. Aku pernah ingin punya kulit seperti Nita, badan setinggi Nita, dan rambut sehitam Nita. Cuma ingin saja sih, tak sampai memakai sesuatu atau melakukan sesuatu agar keinginanku tercapai karena aku terlalu malas melakukannya. Alhasil inilah aku. Saat aku berjalan disampingnya, kelihatan sekali bedanya. Walau kami berdua memakai seragam putih abu-abu dengan model yang sama.

Nita itu orang terkuat yang pernah kukenal, bahkan lebih kuat dari ayahku. Bagaimana tidak? Dia itu pernah mewakili negara Indonesia di olimpiade bidang bela diri. Terus, minggu kemarin dia berhasil menghajar preman-preman kampung berbadan besar yang hendak menggangguku dan masih banyak lagi.

“Oh, Nita. Selamat pagi,” sapaku. Benar. Suara Nitalah yang berhasil menarikku ke permukaan. Sehingga aku tak berhasil tenggelam jauh ke dalam kegelapan.

Wajahnya yang semula bersinar penuh bahagia berubah saat melihat raut wajahku. “Kamu kenapa? Kok murung? Sedang ada masalah ya?” tanyanya dengan raut wajah khawatir. Kugelengkan kepalaku seraya berkata, “Nggak. Aku hanya sedikit tak enak badan saja.”

“Sudah minum obat?” Aku mengangguk. “Sudah. Tapi mungkin efeknya baru terasa nanti setelah sampai di kelas.”

“O… gitu. Syukurlah…” katanya dengan nada lega. Dalam hati aku merasa lega karena dia tak perlu mencemaskanku. Rasanya sangat menyakitkan saat dia mengkhawatirkan kondisiku. Seperti sudah melakukan kesalahan berat kepadanya. Kemudian, keheningan memeluk kami berdua untuk beberapa menit sampai Nita membuka topik pembicaraan “Oh ya, tadi malam ada…”

Dan aku memotong pembicaraan itu dengan berkata, “Maaf, Nita. Ada yang harus kulakukan di kelas. Jadi aku duluan.” Lalu berlari meninggalkannya yang kebingungan dengan tingkahku yang tergesa-gesa. Nita memang berhasil menarikku ke permukaan, tapi aku tak ingin Nita ikut tenggelam bersamaku. Lebih tepatnya aku tak ingin dia ketularan penyakitku. Karena itulah, aku pun melepaskan genggaman tanganku dari dirinya, supaya cuma aku saja yang tenggelam ke dalam kegelapan ini.

Setelah aku pergi meninggalkannya, Nita berkata kepada dirinya sendiri, “Ada yang harus dilakukan di kelas? Kan aku satu kelas dengannya juga, tapi kok aku tak tau ya? Jangan-jangan hari ini piketnya Ida. Ah iya, pasti begitu. Pantas dia tergesa-gesa begitu.” Dan akhirnya dia pun mendapat kesimpulan yang salah.

******

Selama istirahat, Nita terus saja mengikuti sambil berusaha mengajakku ngobrol tanpa mempedulikan diriku yang terus berusaha untuk menjauhinya. Saat kupelankan langkahku dia ikut memelankan langkahnya. Saat kupercepat langkahku, dia juga mempercepat langkahnya. Dia sama sekali tak mengatakan apapun tentang aku yang berusaha menjauhinya. Mungkin dia tak menyadarinya. Mungkin dia mengira aku sedang sibuk. Kalau begitu, aku harus mengatakannya dengan jelas kepadanya.

“Terus, ibuku…”

“Hei, Nita. Bisakah kamu tak mendekatiku?” potongku, karena sudah tak tahu harus gimana lagi agar dia menjauhiku. Nita diam sesaat.

“Kenapa?” tanyanya kemudian. Aku memilih untuk pergi meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab pertanyaannya. Sebaliknya, nita mengikutiku di belakang sambil memanggil-manggil namaku. “Hoi, Ida! Ida! Hoi, Ida!”

Kuabaikan dirinya yang terus memanggil namaku. Tak perlu waktu lama, dia pun terbakar emosinya. “Ida…” PLAK! Kutepis tangannya yang memegang bahuku dengan keras. Ekspresi terkejut terlihat jelas diwajahnya. Sebetulnya aku juga kaget dengan apa yang kulakukan dan ingin segera minta maaf. Tapi, kuurungkan niat itu dan memilih untuk memunggunginya.

“Jangan dekati aku lagi,” kataku, kemudian pergi meninggalkannya begitu saja.
Angin berhembus dengan agak kencang. Nita hanya memegang tangannya yang telah kutepis untuk beberapa menit sebelum akhirnya mulai berjalan ke kelas.

*****

Sejak kejadian itu, Nita pun mulai tak mendekatiku lagi. Saat berangkat, saat di kelas, dan juga saat pulang sekolah. Kami tak lagi berdekatan seperti sebelumnya. Tak ada sapaan, saling tukar senyum, atau tertawa bersama lagi. Semuanya telah menjadi kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan.

“Aku tak boleh menangis. Aku harus kuat. Demi dirinya…” kataku pada diriku sendiri.

          Dan, hal yang tak pernah kuduga terjadi padaku. Aku jatuh pingsan saat hendak menuju ke perpustakaan. Saat kubuka ke dua mataku, yang ada dihadapanku adalah Nita yang wajahnya pucat, pakaiannya lusuh, dan ekspresi khawatir yang terlihat jelas di wajahnya.

“Kamu tak apa?” tanyanya dengan nada cemas yang terdengar jelas sekali.

Kuubah posisiku yang semula berbaring menjadi duduk dengan gerakan perlahan. Kutatap kedua matanya, lalu berkata dengan nada dingin, “Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan dekati aku.”

Nita kaget mendengar perkataanku itu. “Ha? Maksudmu a…”

Kupotong perkataannya dengan nada menyindir, “Kamu tuli ya? Kan sudah kukatakan jangan dekati aku. Atau jangan-jangan kamu tak mengerti bahasa Indonesia ya?”

Hening sesaat.

“Maafkan aku,” kata Nita seraya meninggalkan ruang UKS dengan ekspresi sedih yang tertahan.

Saat langkah kaki Nita sudah tak terdengar lagi, bu Wina, orang yang bekerja di UKS berkata dari balik tirai putih yang memisahkan tempat aku tidur dengan sisi ruang UKS lainnya, “Dia datang kesini dengan keringat membasahi bajunya, wajah yang pucat, dan raut wajah yang mencemaskan sesuatu loh. Lalu dia terus menemanimu dengan duduk di sebelahmu sampai kamu membuka mata. Apa kamu tak terlalu kasar padanya tadi?”

“Itu bukan urusan anda,” jawabku pendek.

“Galaknya,” sindirnya.

“Tanggung jawab guru adalah menjaga muridnya ketika disekolah. Karena itu, guru juga punya hak untuk memberikan saran agar murid-muridnya tak berjalan ke arah yang salah,” tambahnya.

“Tapi itu bukan berarti seorang guru mempunyai hak untuk ikut campur urusan pribadi muridnya,” bantahku dengan nada datar.

“Begitukah? Tapi… jangan lupa kalau aku ini sahabat ibumu.”

Bu Wina masih tak mau kalah. Begitu juga dengan diriku. “Lalu, aku harus bereaksi seperti apa, bu guru? Anda sahabat ibu saya, bukan sahabat saya. Selain itu, ibu saya sudah meninggal lama sekali. Atau…”

Aku sengaja menghentikan perkataanku supaya menarik rasa penasaran bu Wina. Dan berhasil. “Atau?” tanyanya dengan nada penasaran yang terdengar dengan sangat jelas.

“Atau jangan-jangan ibu punya niat untuk memberitahukan semua orang disekolah ini tentang penyakit saya?” Bu Wina diam tak menjawab atau membalas.

“Karena ibu adalah sahabat ibu saya, saya yakin ibu pasti tahu penyakit apa yang membuat ibu saya meninggal. Ditambah lagi anda adalah guru UKS di sekolah ini. Jadi anda juga pasti tahu penyakit apa yang diderita oleh saya. Jika ibu ingin memberitahukan kepada semuanya, saya tidak akan menahannya,” tambahku tentu saja dengan nada menyindir yang bisa membuat orang terbakar amarahnya.

Sayangnya, bukan kata-kata penuh emosi yang kudengar darinya, melainkan tawa yang sangat keras. “Hahaha. Tenang saja. Aku tidak sekejam itu. Aku hanya ingin mengatakan bersikaplah untuk lebih jujur dengan orang yang dekat denganmu. Ingat! Kamu hidup di dunia ini tidak sendirian. Jika kamu merasa kesepian kamu bisa berbincang-bincang denganku disini. Lumayan untuk menghabiskan waktu luangku selama masih dapat bernapas.”

Setelah itu, terdengar suara kursi yang digeser dari balik tirai. “Tolong jaga UKS ya,” kata bu Wina sebelum pergi meninggalkanku yang sibuk mencerna perkataannya. Sendirian.

*****

Jam dinding yang menggantung di kelas masih menunjukkan jam 6.00 dan aku sudah berada di kelas sendirian. Ini semua gara-gara ayahku yang mengajak berangkat bersamanya. Jika saja tadi aku menolaknya, pasti aku tak perlu menghabiskan waktuku di kelas ini sendirian.

Walaupun biasanya aku tetap memilih sendirian ketika ada siswa yang lainnya, tapi tetap saja rasa sepinya berbeda.

“Kelasnya jadi terasa sangat sunyi dan sepi.”

Aku menghela napas panjang.

“Terlalu lama untuk menunggu jam pertama. Ini semua gara-gara ayah, kalau saja tadi dia tak mengajakku berangkat bersamanya,” gerutuku.

Karena bosan, kuambil sebuah novel dari dalam tasku. Saat hendak membacanya, aku melihat Nita yang berdiri di pintu kelas dengan wajah terkejut. Begitu juga dirinya yang memandangku dengan wajah terkejut. Detik berikutnya, aku memfokuskan diriku ke buku yang ada dihadapanku. Pura-pura tak menyadari keberadaannya. Begitu juga dengan Nita, yang berjalan ke arah tempat duduknya yang letaknya berada di baris diagonal kanan dari tempat dudukku. Hening sesaat sebelum akhirnya, Nita mendekati tempat dudukku dan menggebrak mejaku dengan kedua tangannya. BRAK!

Aku berkata dengan nada dingin, “Harus berapa kali kukatakan jangan…”

Perkataanku dipotong oleh Nita sebelum aku sempat menyelesaikannya. “Dekati aku lagi? Aku sudah hapal dengan hal itu. Hanya saja, aku sudah tak tahan lagi,” katanya dengan nada dingin seraya menatap langsung ke dua mataku. Kemudian dia menggenggam tanganku dan memerintahku untuk mengikutinya. “Ikut aku!”

Tentu saja aku tak menuruti perkataannya. “Lepaskan tanganku!” seruku sambil berusaha melepaskan genggamannya. Nita diam saja tak menggubris perintahku. Hanya saja, genggaman tangannya semakin mengencang, dan menyakiti pergelangan tanganku.

“Sakit! Lepas…” Aku mencoba meronta, melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku. Tapi, genggamannya terlalu kuat.

“Tak akan kulepas, sampai kamu menuruti perintahku. Ikuti aku atau kupatahkan tanganmu,” katanya dengan nada datar seraya menatapku dengan tatapan tajam. Kutatap balik dengan tatapan tak kalah tajamnya. Kemudian menyerah karena semakin aku meronta semakin kuat genggamannya. Selain itu, aku juga tak ingin tanganku dipatahkan olehnya. Bagi Nita pasti bukan hal yang sulit untuk mematahkan tanganku.

“Baiklah. Aku akan mengikutimu,” jawabku.

Nita tak menjawab apa-apa. Dia hanya diam saja sambil melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku. Kupegang pergelangan tanganku yang memerah, bekas digenggam oleh Nita tadi. Rasanya masih sakit tapi aku mencoba menunjukkan wajah datar. Nita masih tetap memandangku, kelihatannya dia menungguku untuk bergerak. Karena itulah, kucoba melangkahkan kakiku mendekatinya. Ternyata dugaanku benar, Nita melangkah keluar kelas saat aku mendekatinya.

“Kita mau kemana?” tanyaku saat kita berdua melewati ruang guru.

“Diam dan ikuti saja!” perintahnya. Aku pun menurut. Saat aku mengikutinya, aku merasa, sudah lama sekali tak melihat punggung Nita dari belakang sedekat ini. Tentu saja. Sudah sebulan aku menjauhinya, begitu pun dengan dirinya yang menjauhiku karena menuruti perintahku. Semuanya kulakukan supaya Nita tak tertular HIV AIDS. Penyakit menular yang kuderita saat ini.

Setelah berjalan beberapa menit akhirnya, Nita menghentikan langkahnya di belakang gedung sekolah. Nita balikkan badannya ke arahku, dan berkata, “Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

“Disini?” tanyaku dan mendapat anggukan kepala dari dirinya.

“Ada yang ingin kutanyakan padamu disini. Ida… Apa kamu membenciku?” Aku terkejut mendengar pertanyaannya. “Pertanyaan apa itu...”

“Jawab saja, iya atau tidak,” potong Nita dengan suara yang agak meninggi. Aku ketakutan saat mendengar bentakannya itu.

“Aku… aku tak membencimu,” jawabku dengan mengalihkan pandanganku ke arah lain. Berusaha menyembunyikan rasa takutku.

“Jika kau tak membenciku, kenapa kau menyuruhku menjauhimu? Dan juga, kenapa kau mengatakan aku tak membencimu sambil memandang ke arah lain? Apa kau membohongiku?” Aku diam, tak menjawab pertanyaannya.

“Ternyata begitu ya… Padahal kamu bilang, kamu tak membenciku? Kukira, kamu berbeda dengan yang lainnya. Ternyata kamu sama saja dengan mereka. Munafik!” serunya.

Kata munafik yang terlontar dari mulutnya bagai anak panah yang menusuk tepat di jantungku. Sangat sakit sekali. Aku memang membohonginya dengan menyuruhnya menjauhiku sambil memasang wajah dingin. Semua itu kulakukan untuk melindunginya. Aku berusaha agar tak menangis, karena ini semua demi dirinya. Demi orang yang berada dihadapanku, supaya dia tak mengalami hal yang sama denganku. Tapi saat orang yang kamu lindungi mengatakan hal yang sudah kamu lakukan dengan bersusah payah dengan nada mengejek dan meremehkan. Emosiku langsung naik.

Kukepalkan tanganku erat-erat sambil menggeram, “Kamu… tak tahu apa-apa.” Kugertakkan kuat-kuat gigiku, menahan amarah yang akan meledak.

“Ha? Kamu bilang apa?”

“Orang yang tak tahu apa-apa, sebaiknya diam saja!” bentakku dengan nada yang sangat jelas seraya menatap matanya dengan tajam.

Benar. Orang yang tak tahu apa-apa sebaiknya diam saja… “Selamanya…” Sepertinya perkataanku berhasil membuat Nita marah. Buktinya dia menarik kerahku ke arahnya. Namun itu hanya bertahan beberapa detik saja. Setelah itu, dia melepaskannya.

Dia kepalkan tangan kanannya, kemudian meninju tembok yang berada di sisi kirinya dengan satu kali tinju yang sangat keras. Mengerahkan semua amarahnya ke tembok yang tak bersalah itu. Setelah meninju tembok itu, dia berkata dengan nada tenang, “Hei, Ida. Akan kutanya sekali lagi. Apa kamu ingin aku menjauhimu?”

“Iya,” jawabku cepat dan tanpa ragu.

“Kenapa?”

“Itu bukan…” Sebelum aku sempat menyelesaikan perkataanku, Nita memotongnya dengan suara yang agak keras, “Itu sudah menjadi urusanku!”

“Tapi… itu akan berubah menjadi bukan urusanku lagi, tergantung jawaban-jawaban yang kamu berikan,” tambahnya dengan nada suara yang tenang.

“Katakan alasannya, kenapa aku harus menjauhimu?” tanyanya. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku ke bawah, memilih diam tak menjawab.

“Apa karena kamu membenciku?” Aku tetap diam tak menjawab, tapi kedua tanganku terkepal.

“Ho… Jadi karena kamu membenciku ya… sejak kapan?” Sementara kepalan tanganku semakin kuat, mulutku masih tertutup rapat.

“Jangan-jangan sejak awal berteman denganku, kamu sudah membenciku? Kamu pura-pura menjadi temanku untuk memanfaatkanku. Atau karena ingin menusukku dari belakang?” Ingin sekali aku teriak Bukan… kamu salah paham Nita! Tapi mulutku sudah terkunci rapat.

Nita masih terus menyindirku. “Padahal selama ini aku menganggapmu sebagai teman berhargaku. Tapi kamu menganggapku sebagai pengganggu.” Air mataku hampir menetes saat mendengar perkatannya. Bukan… kamu salah paham Nita. Aku tak pernah menganggapmu sebagai penggangu.

“Maaf karena selama ini aku telah mengganggumu. Tapi sekarang kamu bisa tenang karena aku tak akan mengganggumu lagi,” katanya dengan nada yang melembut. Aku masih menutup mulutku tak menjawab ataupun membalas perkataannya.

“Selamat tinggal, Ida,” kata Nita seraya melangkah pergi meninggalkanku.

Baru dua langkah yang diambil Nita, aku bergumam, “Jangan…”

Nita yang mendengar gumamanku menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku.

“Jangan seenaknya memutuskan apa yang ada dipikiranku!” teriakku.

“Kamu tidak mengerti apa-apa! Jadi jangan asal main tuduh!” lanjutku masih sambil teriak. Nita yang tak terima dengan perkataanku membalas dengan suara tak kalah keras, “Jangan asal tuduh gimana?! Bukannya sudah jelas kalau kamu membenciku?!”

“Jelas apanya! Kamu ini bodoh sekali ya!” balasku.

“Aku memang bodoh! Buktinya nilai tesku kemarin jelek semua!” balasnya dengan jawaban yang sebetulnya di luar topik.

Aku menyeringai mendengar jawabannya, dan membentaknya lagi, “Ternyata kamu menyadarinya juga kalau kamu itu bodoh! Tapi kenapa kamu tak berusaha belajar!”

“Aku sudah belajar sekeras yang kubisa! Tapi otakku memang sudah tumpul dari sananya, mau diapain seperti apa juga tak akan berubah!”

“Kamu seharusnya tak menyerah! Semua pasti ada jalannya!”

“Itu tak ada hubungannya denganmu!” balasnya. Perkataan Nita seperti sebuah batu yang dilempar ke arah kepalaku. Padahal hanya satu kalimat sederhana “Itu tak ada hubungannya denganmu”. Tapi ternyata rasanya sakit sekali saat mendengar kalimat itu dari orang yang selama ini berusaha untuk kau lindungi. “Tentu saja ada… aku ini kan…” Kuhentikan kata-kataku untuk beberapa detik, kemudian air mataku langsung jatuh saat aku meneruskan perkataanku yang sempat terhenti tadi dengan nada lirih. “Temanmu…”

Nita merasa bersalah saat dia melihatku menangis. “Ida…”

“Aku…hiks… selalu…hiks… berusaha melindungimu…hiks.” Air mataku terus menerus jatuh tanpa bisa kutahan.

“Apa maksudmu dengan melindungiku?” Diamku membuat Nita berang. Dia memegang kedua lengan atasku kuat-kuat sambil berkata dengan suara keras, “Aku tanya, apa maksudmu dengan melindungiku!”

Kutepis kedua tangannya yang memegangi lengan atasku, kemudian berjalan melewatinya. Baru beberapa langkah yang kuambil, langkahku terhenti karena dihentikan oleh Nita yang menggenggam tangan kananku.

“Lepaskan…” perintahku.

“Tak akan kulepas sebelum kamu menjelaskan maksudmu melindungiku,” kata Nita.  Kugertakkan gigiku kuat-kuat. Mencoba untuk menahan emosi agar tak meledak.

“Ida…” Panggilannya dengan nada memohon berhasil membuatku meledak. “Aku tak mau kamu ketularan penyakitku! Aku sudah terinfeksi HIV AIDS! Selama ini, aku berusaha menjauhimu supaya kamu tak tertular. Supaya kamu juga tak terkena penyakit ini. Tapi kenapa… kenapa kamu…”

Tiba-tiba Nita memelukku. Suatu tindakan yang benar-benar mengejutkan. “Nita…”

“Syukurlah… syukurlah…” kata Nita dengan nada lega sambil memelukku.

“Tunggu, maksudmu apa…” Nita memotong perkataanku. “Syukurlah… kukira kamu membenciku. Ternyata cuma HIV AIDS.”

“HIV AIDS kamu bilang cuma…”

Nita melepas pelukannya. Dia tersenyum kepadaku sambil berkata, “Tentu saja. Bagiku, dibenci olehmu adalah persoalan yang sangaaat berat. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika kamu membenciku.”

“Tapi… HIV itu…” Nita mendekatkan jari telunjuknya kemulutku membuatku langsung terdiam.

“Kamu tak perlu khawatir. Aku itu tipe orang yang tak gampang sakit. Jadi tak akan semudah itu tertular penyakitmu,” kata Nita dengan senyum masih menghiasi wajahnya. Mendengar perkataannya, melihat senyumannya. Tangisku pun pecah.

Setelah menghabiskan beberapa menit dengan menangis, rasanya entah kenapa aku merasa sangat lega. Kemudian kami pun memilih untuk duduk di bawah salah satu pohon yang terletak di belakang gedung sekolah.

“Akhirnya semuanya hanya salah paham belaka. Coba kamu mengatakannya sebelumnya. Aku tak akan stress seperti ini.” Perkataan Nita membuatku penasaran. “Kamu… stress?”

“Tentu saja. Aku stress memikirkan apa kesalahanku kepadamu sampai aku kesulitan untuk tidur. Kamu harus bertanggung jawab,” jawab Nita sambil menyandarkan kepalanya ke pundakku.

“Kamu mau apa?” tanyaku melihat kelakuannya yang tak dapat kutebak.

“Sudah jelaskan, kalau aku mau tidur. Bukannya tadi aku sudah bilang kalau aku sebulan ini aku terus kesulitan tidur? Dan entah kenapa duduk disampingmu seperti ini membuatku nyaman dan ngantuk.” katanya dengan mata mengantuk. Disusul dengan bunyi bel, tanda pelajaran akan dimulai.

“Tapi bel pelajaran kan sudah berbunyi,” kataku mengingatkan.

“Aku juga dengar. Tapi, tak apa kan kalau sesekali membolos? Aku benar-benar mengantuk sekali.” Setelah berkata begitu, Nita sudah tidur dengan pulasnya.

“Cepatnya…” kataku dengan nada sepelan mungkin, tak ingin membangunkannya.

Angin sepoi-sepoi dan rindangnya daun-daun yang menutupi cahaya matahari, membuatku ikut mengantuk. “Semoga kita berdua dapat terus bersama seperti ini. Selamanya…” kataku sebelum akhirnya ikut tertidur.


   THE END —





Tidak ada komentar:

Posting Komentar