Ini adalah cerpen yang kubuat untuk dimasukan dalam lomba... bertema HIV AIDS...
Sebetulnya aku juga bingung ni cerpen temanya HIV AIDS atau bukan... yang pasti para penyuka yuri subtext mungkin akan menyukainya... :3
Isi cerpen ini 10 halaman...
ini cerpen normalku yang berhasil kubuat untuk pertama kalinya hahaha :v :3
selamat dinikmati :3
*****
Namaku Ida. Aku
adalah siswi SMA yang sedang menikmati masa mudanya yang sedang mekar dengan
indahnya. Walau aku hanya hidup dengan ayahku, tapi aku sangat bersyukur karena
dapat bertemu dengan Nita. Satu-satunya temanku yang sangat kusayang. Semuanya
terasa indah. Benar, semuanya terasa indah, sebelum aku mengetahui yang
sebenarnya tentang diriku. Diriku yang ternyata mengidap penyakit HIV AIDS.
*****
Kuambil termometer
yang berada di dalam mulutku. Aku menghela napas panjang saat melihat angka
yang muncul di layar termometernya.
“Lagi-lagi badanku
panas,” komentarku.
Dengan langkah malas,
kulangkahkan kakiku menuju ke kotak obat yang terletak di bagian ruang makan.
“Kalau tak salah
masih ada...”
“Tak ada...” kataku
dengan nada kecewa, saat melihat bungkus kosong obat yang ada didalamnya.
“Terpaksa harus ke apotik deh.”
*****
Apotik Serba Ada,
itulah nama apotik yang kukunjungi. Apotik itu buka 24 jam dan letaknya tak
jauh dari rumah. Tapi kalau lagi malas, ya tetap saja malas walau jarak yang
harus ditempuh itu dekat.
Seorang laki-laki
muda muncul saat aku membuka pintu apotik. Dari penampilan dan guratan di
wajahnya, kelihatannya selisih umurnya tak jauh dari diriku. Dia tersenyum
manis kepadaku yang memandangnya dengan takut-takut. Bukan karena dia
menakutkan atau gimana, aku yang memang tak terbiasa berhadapan dengan orang
asing. Entah kenapa setiap berhadapan dengan orang asing aku merasa ketakutan.
“Selamat malam. Ada
yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada ramah.
Aku cuma mengangguk
tanpa menjawab pertanyaannya. Kemudian kumasukkan tangan kananku ke dalam tas
untuk mengambil bungkusan obatku. Tentu saja, supaya aku tak perlu menjelaskan
nama-nama obat yang susah itu. Laki-laki penjaga apotik itu mengawasiku sebelum
akhirnya dia berkata sesuatu yang mengejutkanku.
“Kamu… Ida kan?”
tanyanya.
Aku terkejut saat
mendengar namaku disebut oleh laki-laki itu. “Ma-maaf. Bagaimana mas bisa tahu nama
saya ya?” tanyaku balik.
“Ternyata beneran,
Ida. Ini aku, Gilang. Tetangga sebelahmu dulu. Apa kamu masih ingat?” katanya
dengan nada riang. Pertanyaanku dijawabnya dengan kalimat yang membuatku harus
mengolah otak untuk sementara waktu.
“Gilang?” Kucoba
mengingat orang yang ada dihadapanku ini dengan petunjuk "tetangga
sebelahku dulu". Butuh waktu beberapa menit untuk menemukan ingatan
tentang orang dihadapanku ini.
“Oh! Mas Gilang yang
autis itu?” tanyaku memastikan ingatan yang berhasil kutemukan di otakku.
Mas Gilang langsung menunjukkan
wajah tak senang saat mendengar perkataanku tersebut. “Siapa tadi yang kamu
sebut autis?”
Aku cuma bisa nyengir
kuda. “Habis mas itu kalau dipanggil nama sering nggak pernah ada reaksi.
Makanya banyak yang bilang kalau mas Gilang itu terkena autis,” jelasku panjang
lebar. Kemudian aku pun mengganti topik pembicaraan dengan bertanya,
“Ngomong-ngomong, mas kerja disini?”
“Begitulah.
Sebenarnya baru dua hari ini aku kerja disini,” jawabnya dengan nada ramah
seperti biasa. Lega deh rasanya.
“Kamu mau beli apa?”
tanyanya.
“Obat-obat ini mas,”
jawabku seraya mengeluarkan bungkus obat dari dalam tas. Mas Gilang menunjukkan
ekspresi terkejut saat melihat bungkus obat yang kutunjukkan padanya. “Ini
kan…”
*****
Pagi yang indah,
matahari bersinar dengan cerahnya, burung-burung berkicau dan angin sepoi-sepoi
bertiup. Atau… harusnya pagi ini akan menjadi pagi yang indah jika aku juga
ikut menikmatinya seperti yang biasa kulakukan. Sayangnya, aku tak bisa
melakukannya. Percakapanku dengan ayah setelah pulang dari apotik masih segar
dalam ingatanku.
“Ayah. Apa ayah
sibuk? Aku… Ada yang ingin kubicarakan dengan ayah,” kataku dengan ekspresi
serius pada ayah yang baru saja pulang dari kantor.
“Kenapa kamu formal sekali,
Ida. Rileks. Rileks. Santailah sedikit. Tenang saja, hari ini ayah punya banyak
waktu luang,” kata ayah santai seraya duduk di salah satu kursi yang ada di
sekitar meja makan.
“Lalu apa yang ingin
kamu bicarakan?” kata ayah dengan sikap yang masih santai.
“Ayah… Hm... Itu...
Mmm... A-apa aku terkena HIV AIDS?”
Ayah diam. Tak
menjawab pertanyaan yang kuajukan padanya. Tapi aku berhasil menangkap ekspresi
kaget yang muncul di wajahnya walau hanya beberapa deitk sebelum ayah kembali menjadi
dirinya yang seperti biasa, santai.
“Kamu itu blak-blakan
sekali, ya. Mirip sekali dengan ibumu,” katanya tanpa menjawab pertanyaanku
lagi. Jujur aku sebal mendengarnya. Hari ini sudah dua kali aku bertanya, tapi
pertanyaanku tak di jawab langsung.
Ayah menghela napas
panjang. “Padahal aku ingin menahannya lebih lama lagi. Tapi sepertinya kamu
sudah mengetahuinya. Jawabannya adalah iya,” katanya.
Kugebrak meja yang
ada dihadapanku dan berkata dengan suara yang tinggi, “Kenapa ayah tak segera memberitahuku!?”
Ayah sudah pasti
kaget dengan reaksiku itu. Tapi sepertinya dia memakluminya karena detik
berikutnya dia berkata, “Ayah berencana akan memberitahumu ketika kamu sudah
lulus SMA. Supaya kamu tak terlalu kaget. Apa boleh buat… ternyata kamu sudah
mengetahuinya terlebih dahulu.”
Sorot mata ayah
tiba-tiba menajam, nada suaranya berubah menjadi dingin saat dia bertanya,
“Lalu darimana kamu mengetahuinya?”
Jujur melihat ayah
berubah seperti itu aku jadi ketakutan. Baru kali ini aku melihat ayah dengan
sorot mata dan bertanya dengan nada seperti itu. “Mm... Itu... Tadi... Obatnya
habis. Jadi aku membelinya, karena suhu badanku tadi agak meninggi. Saat
itulah, apotekernya memberitahuku tentang obat-obat itu...” jawabku dengan
takut-takut. Sudah tak tersisa lagi diriku yang tegas sebelumnya.
“Ayah tak perlu
khawatir. Sekarang suhu badanku sudah kembali normal lagi, setelah minum obat.”
tambahku cepat-cepat.
“Jadi dari situ ya…”
kata ayah sambil menghembuskan napas panjang. Setelah itu suasana menjadi
hening. Kami terdiam untuk beberapa menit.
“Ibumu… meninggal
gara-gara penyakit itu. Sebulan setelah dia melahirkanmu. Kondisinya terus
memburuk selama dua hari dan akhirnya dia pun menghembuskan napas terakhirnya.
Setelah kepergiannya, ayah pun memeriksakan kesehatanmu. Apakah kamu punya
penyakit itu atau tidak. Sebetulnya ayah sudah menduga kamu mempunyainya karena
ayah dan ibumu sudah terinfeksi. Tapi sedikit berharap tak apakan? Sayangnya
harapan hanyalah harapan. Kamu juga sudah terinfeksi virus HIV AIDS. Setelah
itu, ayah pun memutuskan untuk tinggal dikota lain. Kota yang terletak di pulau
yang berbeda saat ibumu masih hidup,” jelasnya panjang lebar.
Kutatap langit biru
dengan tatapan menerawang. Masih tak percaya dengan cerita yang kudengar dari
ayah semalam. Masih belum dapat mengakui penyakit yang kuderita sejak aku masih
kecil.
Angin pagi yang
berhembus menggoyangkan dua kunciranku kekanan dan kekiri, sementara pikiranku
semakin tenggelam. Tenggelam terus ke kegelapan tanpa dasar. Saat sedang
tenggelam dalam pikiranku, aku mendengar suara yang sangat kukenal memanggil
namaku. Menarik diriku yang tenggelam ke permukaan. Aku pun membalikkan badanku
ke arah sumber suara.
Seorang gadis yang
usianya tak jauh dariku dengan rambut di ikat satu ke belakang muncul dengan
senyum menghiasi wajahnya, saat aku melihat ke arahnya. Namanya adalah Nita.
Satu-satunya temanku yang kusayang. Jika kau melihatnya pertama kali kesan cewek
model yang akan kau dapatkan. Nita mempunyai tinggi 178 cm dengan bodi ramping.
Kulitnya eksotis, sawo matang, dengan rambut hitam lurus sebahu yang dikuncir
ekor kuda.
Setiap kali dia
berjalan, perempuan, laki-laki, tua muda pasti memandangnya dan memuji
kecantikannya. Sudah pasti aku yang berjalan disebelahnya tak luput dari
sorotan dan penilaian. Jika melihat ekspresi mereka saat menatapku aku yakin
sekali mereka berkata jelek tentangku.
Rambutku memang lurus
sama seperti Nita, hanya saja warnanya coklat kusam. Sudah begitu, aku hanya
bisa menguncir dua rambutku. Badanku kecil dan pendek dengan kulit putih pucat
yang kelihatan sekali sering sakit. Jika aku mengatakan aku tak pernah iri
dengan Nita, kelihatan sekali bohongnya. Aku pernah ingin punya kulit seperti Nita,
badan setinggi Nita, dan rambut sehitam Nita. Cuma ingin saja sih, tak sampai
memakai sesuatu atau melakukan sesuatu agar keinginanku tercapai karena aku
terlalu malas melakukannya. Alhasil inilah aku. Saat aku berjalan disampingnya,
kelihatan sekali bedanya. Walau kami berdua memakai seragam putih abu-abu
dengan model yang sama.
Nita itu orang
terkuat yang pernah kukenal, bahkan lebih kuat dari ayahku. Bagaimana tidak?
Dia itu pernah mewakili negara Indonesia di olimpiade bidang bela diri. Terus, minggu
kemarin dia berhasil menghajar preman-preman kampung berbadan besar yang hendak
menggangguku dan masih banyak lagi.
“Oh, Nita. Selamat
pagi,” sapaku. Benar. Suara Nitalah yang berhasil menarikku ke permukaan.
Sehingga aku tak berhasil tenggelam jauh ke dalam kegelapan.
Wajahnya yang semula
bersinar penuh bahagia berubah saat melihat raut wajahku. “Kamu kenapa? Kok
murung? Sedang ada masalah ya?” tanyanya dengan raut wajah khawatir.
Kugelengkan kepalaku seraya berkata, “Nggak. Aku hanya sedikit tak enak badan
saja.”
“Sudah minum obat?”
Aku mengangguk. “Sudah. Tapi mungkin efeknya baru terasa nanti setelah sampai
di kelas.”
“O… gitu. Syukurlah…”
katanya dengan nada lega. Dalam hati aku merasa lega karena dia tak perlu mencemaskanku.
Rasanya sangat menyakitkan saat dia mengkhawatirkan kondisiku. Seperti sudah
melakukan kesalahan berat kepadanya. Kemudian, keheningan memeluk kami berdua
untuk beberapa menit sampai Nita membuka topik pembicaraan “Oh ya, tadi malam
ada…”
Dan aku memotong
pembicaraan itu dengan berkata, “Maaf, Nita. Ada yang harus kulakukan di kelas.
Jadi aku duluan.” Lalu berlari meninggalkannya yang kebingungan dengan
tingkahku yang tergesa-gesa. Nita memang berhasil menarikku ke permukaan, tapi
aku tak ingin Nita ikut tenggelam bersamaku. Lebih tepatnya aku tak ingin dia
ketularan penyakitku. Karena itulah, aku pun melepaskan genggaman tanganku dari
dirinya, supaya cuma aku saja yang tenggelam ke dalam kegelapan ini.
Setelah aku pergi
meninggalkannya, Nita berkata kepada dirinya sendiri, “Ada yang harus dilakukan
di kelas? Kan aku satu kelas dengannya juga, tapi kok aku tak tau ya?
Jangan-jangan hari ini piketnya Ida. Ah iya, pasti begitu. Pantas dia
tergesa-gesa begitu.” Dan akhirnya dia pun mendapat kesimpulan yang salah.
******
Selama istirahat,
Nita terus saja mengikuti sambil berusaha mengajakku ngobrol tanpa mempedulikan
diriku yang terus berusaha untuk menjauhinya. Saat kupelankan langkahku dia
ikut memelankan langkahnya. Saat kupercepat langkahku, dia juga mempercepat
langkahnya. Dia sama sekali tak mengatakan apapun tentang aku yang berusaha
menjauhinya. Mungkin dia tak menyadarinya. Mungkin dia mengira aku sedang
sibuk. Kalau begitu, aku harus mengatakannya dengan jelas kepadanya.
“Terus, ibuku…”
“Hei, Nita. Bisakah
kamu tak mendekatiku?” potongku, karena sudah tak tahu harus gimana lagi agar
dia menjauhiku. Nita diam sesaat.
“Kenapa?” tanyanya
kemudian. Aku memilih untuk pergi meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab
pertanyaannya. Sebaliknya, nita mengikutiku di belakang sambil memanggil-manggil
namaku. “Hoi, Ida! Ida! Hoi, Ida!”
Kuabaikan dirinya yang
terus memanggil namaku. Tak perlu waktu lama, dia pun terbakar emosinya. “Ida…”
PLAK! Kutepis tangannya yang memegang bahuku dengan keras. Ekspresi terkejut
terlihat jelas diwajahnya. Sebetulnya aku juga kaget dengan apa yang kulakukan
dan ingin segera minta maaf. Tapi, kuurungkan niat itu dan memilih untuk memunggunginya.
“Jangan dekati aku
lagi,” kataku, kemudian pergi meninggalkannya begitu saja.
Angin berhembus
dengan agak kencang. Nita hanya memegang tangannya yang telah kutepis untuk
beberapa menit sebelum akhirnya mulai berjalan ke kelas.
*****
Sejak kejadian itu,
Nita pun mulai tak mendekatiku lagi. Saat berangkat, saat di kelas, dan juga
saat pulang sekolah. Kami tak lagi berdekatan seperti sebelumnya. Tak ada
sapaan, saling tukar senyum, atau tertawa bersama lagi. Semuanya telah menjadi
kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan.
“Aku tak boleh
menangis. Aku harus kuat. Demi dirinya…” kataku pada diriku sendiri.
Dan, hal yang tak pernah kuduga terjadi padaku. Aku jatuh pingsan saat hendak
menuju ke perpustakaan. Saat kubuka ke dua mataku, yang ada dihadapanku adalah
Nita yang wajahnya pucat, pakaiannya lusuh, dan ekspresi khawatir yang terlihat
jelas di wajahnya.
“Kamu tak apa?”
tanyanya dengan nada cemas yang terdengar jelas sekali.
Kuubah posisiku yang
semula berbaring menjadi duduk dengan gerakan perlahan. Kutatap kedua matanya,
lalu berkata dengan nada dingin, “Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan
dekati aku.”
Nita kaget mendengar
perkataanku itu. “Ha? Maksudmu a…”
Kupotong perkataannya
dengan nada menyindir, “Kamu tuli ya? Kan sudah kukatakan jangan dekati aku.
Atau jangan-jangan kamu tak mengerti bahasa Indonesia ya?”
Hening sesaat.
“Maafkan aku,” kata
Nita seraya meninggalkan ruang UKS dengan ekspresi sedih yang tertahan.
Saat langkah kaki
Nita sudah tak terdengar lagi, bu Wina, orang yang bekerja di UKS berkata dari
balik tirai putih yang memisahkan tempat aku tidur dengan sisi ruang UKS
lainnya, “Dia datang kesini dengan keringat membasahi bajunya, wajah yang
pucat, dan raut wajah yang mencemaskan sesuatu loh. Lalu dia terus menemanimu
dengan duduk di sebelahmu sampai kamu membuka mata. Apa kamu tak terlalu kasar padanya
tadi?”
“Itu bukan urusan
anda,” jawabku pendek.
“Galaknya,”
sindirnya.
“Tanggung jawab guru
adalah menjaga muridnya ketika disekolah. Karena itu, guru juga punya hak untuk
memberikan saran agar murid-muridnya tak berjalan ke arah yang salah,”
tambahnya.
“Tapi itu bukan
berarti seorang guru mempunyai hak untuk ikut campur urusan pribadi muridnya,”
bantahku dengan nada datar.
“Begitukah? Tapi…
jangan lupa kalau aku ini sahabat ibumu.”
Bu Wina masih tak mau
kalah. Begitu juga dengan diriku. “Lalu, aku harus bereaksi seperti apa, bu
guru? Anda sahabat ibu saya, bukan sahabat saya. Selain itu, ibu saya sudah
meninggal lama sekali. Atau…”
Aku sengaja
menghentikan perkataanku supaya menarik rasa penasaran bu Wina. Dan berhasil.
“Atau?” tanyanya dengan nada penasaran yang terdengar dengan sangat jelas.
“Atau jangan-jangan
ibu punya niat untuk memberitahukan semua orang disekolah ini tentang penyakit
saya?” Bu Wina diam tak menjawab atau membalas.
“Karena ibu adalah
sahabat ibu saya, saya yakin ibu pasti tahu penyakit apa yang membuat ibu saya
meninggal. Ditambah lagi anda adalah guru UKS di sekolah ini. Jadi anda juga
pasti tahu penyakit apa yang diderita oleh saya. Jika ibu ingin memberitahukan
kepada semuanya, saya tidak akan menahannya,” tambahku tentu saja dengan nada
menyindir yang bisa membuat orang terbakar amarahnya.
Sayangnya, bukan kata-kata
penuh emosi yang kudengar darinya, melainkan tawa yang sangat keras. “Hahaha.
Tenang saja. Aku tidak sekejam itu. Aku hanya ingin mengatakan bersikaplah
untuk lebih jujur dengan orang yang dekat denganmu. Ingat! Kamu hidup di dunia
ini tidak sendirian. Jika kamu merasa kesepian kamu bisa berbincang-bincang
denganku disini. Lumayan untuk menghabiskan waktu luangku selama masih dapat
bernapas.”
Setelah itu,
terdengar suara kursi yang digeser dari balik tirai. “Tolong jaga UKS ya,” kata
bu Wina sebelum pergi meninggalkanku yang sibuk mencerna perkataannya.
Sendirian.
*****
Jam dinding yang
menggantung di kelas masih menunjukkan jam 6.00 dan aku sudah berada di kelas
sendirian. Ini semua gara-gara ayahku yang mengajak berangkat bersamanya. Jika
saja tadi aku menolaknya, pasti aku tak perlu menghabiskan waktuku di kelas ini
sendirian.
Walaupun biasanya aku
tetap memilih sendirian ketika ada siswa yang lainnya, tapi tetap saja rasa
sepinya berbeda.
“Kelasnya jadi terasa
sangat sunyi dan sepi.”
Aku menghela napas
panjang.
“Terlalu lama untuk
menunggu jam pertama. Ini semua gara-gara ayah, kalau saja tadi dia tak
mengajakku berangkat bersamanya,” gerutuku.
Karena bosan, kuambil
sebuah novel dari dalam tasku. Saat hendak membacanya, aku melihat Nita yang
berdiri di pintu kelas dengan wajah terkejut. Begitu juga dirinya yang
memandangku dengan wajah terkejut. Detik berikutnya, aku memfokuskan diriku ke
buku yang ada dihadapanku. Pura-pura tak menyadari keberadaannya. Begitu juga dengan
Nita, yang berjalan ke arah tempat duduknya yang letaknya berada di baris
diagonal kanan dari tempat dudukku. Hening sesaat sebelum akhirnya, Nita
mendekati tempat dudukku dan menggebrak mejaku dengan kedua tangannya. BRAK!
Aku berkata dengan
nada dingin, “Harus berapa kali kukatakan jangan…”
Perkataanku dipotong
oleh Nita sebelum aku sempat menyelesaikannya. “Dekati aku lagi? Aku sudah
hapal dengan hal itu. Hanya saja, aku sudah tak tahan lagi,” katanya dengan
nada dingin seraya menatap langsung ke dua mataku. Kemudian dia menggenggam
tanganku dan memerintahku untuk mengikutinya. “Ikut aku!”
Tentu saja aku tak
menuruti perkataannya. “Lepaskan tanganku!” seruku sambil berusaha melepaskan
genggamannya. Nita diam saja tak menggubris perintahku. Hanya saja, genggaman
tangannya semakin mengencang, dan menyakiti pergelangan tanganku.
“Sakit! Lepas…” Aku
mencoba meronta, melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku. Tapi,
genggamannya terlalu kuat.
“Tak akan kulepas,
sampai kamu menuruti perintahku. Ikuti aku atau kupatahkan tanganmu,” katanya
dengan nada datar seraya menatapku dengan tatapan tajam. Kutatap balik dengan
tatapan tak kalah tajamnya. Kemudian menyerah karena semakin aku meronta
semakin kuat genggamannya. Selain itu, aku juga tak ingin tanganku dipatahkan
olehnya. Bagi Nita pasti bukan hal yang sulit untuk mematahkan tanganku.
“Baiklah. Aku akan
mengikutimu,” jawabku.
Nita tak menjawab
apa-apa. Dia hanya diam saja sambil melepaskan genggamannya dari pergelangan
tanganku. Kupegang pergelangan tanganku yang memerah, bekas digenggam oleh Nita
tadi. Rasanya masih sakit tapi aku mencoba menunjukkan wajah datar. Nita masih
tetap memandangku, kelihatannya dia menungguku untuk bergerak. Karena itulah,
kucoba melangkahkan kakiku mendekatinya. Ternyata dugaanku benar, Nita
melangkah keluar kelas saat aku mendekatinya.
“Kita mau kemana?”
tanyaku saat kita berdua melewati ruang guru.
“Diam dan ikuti saja!”
perintahnya. Aku pun menurut. Saat aku mengikutinya, aku merasa, sudah lama
sekali tak melihat punggung Nita dari belakang sedekat ini. Tentu saja. Sudah
sebulan aku menjauhinya, begitu pun dengan dirinya yang menjauhiku karena menuruti
perintahku. Semuanya kulakukan supaya Nita tak tertular HIV AIDS. Penyakit
menular yang kuderita saat ini.
Setelah berjalan
beberapa menit akhirnya, Nita menghentikan langkahnya di belakang gedung
sekolah. Nita balikkan badannya ke arahku, dan berkata, “Ada yang ingin
kubicarakan denganmu.”
“Disini?” tanyaku dan
mendapat anggukan kepala dari dirinya.
“Ada yang ingin
kutanyakan padamu disini. Ida… Apa kamu membenciku?” Aku terkejut mendengar
pertanyaannya. “Pertanyaan apa itu...”
“Jawab saja, iya atau
tidak,” potong Nita dengan suara yang agak meninggi. Aku ketakutan saat
mendengar bentakannya itu.
“Aku… aku tak
membencimu,” jawabku dengan mengalihkan pandanganku ke arah lain. Berusaha
menyembunyikan rasa takutku.
“Jika kau tak membenciku,
kenapa kau menyuruhku menjauhimu? Dan juga, kenapa kau mengatakan aku tak
membencimu sambil memandang ke arah lain? Apa kau membohongiku?” Aku diam, tak
menjawab pertanyaannya.
“Ternyata begitu ya… Padahal
kamu bilang, kamu tak membenciku? Kukira, kamu berbeda dengan yang lainnya.
Ternyata kamu sama saja dengan mereka. Munafik!” serunya.
Kata munafik yang
terlontar dari mulutnya bagai anak panah yang menusuk tepat di jantungku.
Sangat sakit sekali. Aku memang membohonginya dengan menyuruhnya menjauhiku
sambil memasang wajah dingin. Semua itu kulakukan untuk melindunginya. Aku
berusaha agar tak menangis, karena ini semua demi dirinya. Demi orang yang
berada dihadapanku, supaya dia tak mengalami hal yang sama denganku. Tapi saat
orang yang kamu lindungi mengatakan hal yang sudah kamu lakukan dengan bersusah
payah dengan nada mengejek dan meremehkan. Emosiku langsung naik.
Kukepalkan tanganku
erat-erat sambil menggeram, “Kamu… tak tahu apa-apa.” Kugertakkan kuat-kuat
gigiku, menahan amarah yang akan meledak.
“Ha? Kamu bilang
apa?”
“Orang yang tak tahu
apa-apa, sebaiknya diam saja!” bentakku dengan nada yang sangat jelas seraya
menatap matanya dengan tajam.
Benar. Orang yang tak
tahu apa-apa sebaiknya diam saja… “Selamanya…”
Sepertinya perkataanku berhasil membuat Nita marah. Buktinya dia menarik
kerahku ke arahnya. Namun itu hanya bertahan beberapa detik saja. Setelah itu,
dia melepaskannya.
Dia kepalkan tangan
kanannya, kemudian meninju tembok yang berada di sisi kirinya dengan satu kali
tinju yang sangat keras. Mengerahkan semua amarahnya ke tembok yang tak
bersalah itu. Setelah meninju tembok itu, dia berkata dengan nada tenang, “Hei,
Ida. Akan kutanya sekali lagi. Apa kamu ingin aku menjauhimu?”
“Iya,” jawabku cepat
dan tanpa ragu.
“Kenapa?”
“Itu bukan…” Sebelum
aku sempat menyelesaikan perkataanku, Nita memotongnya dengan suara yang agak
keras, “Itu sudah menjadi urusanku!”
“Tapi… itu akan berubah
menjadi bukan urusanku lagi, tergantung jawaban-jawaban yang kamu berikan,”
tambahnya dengan nada suara yang tenang.
“Katakan alasannya,
kenapa aku harus menjauhimu?” tanyanya. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku ke
bawah, memilih diam tak menjawab.
“Apa karena kamu
membenciku?” Aku tetap diam tak menjawab, tapi kedua tanganku terkepal.
“Ho… Jadi karena kamu
membenciku ya… sejak kapan?” Sementara kepalan tanganku semakin kuat, mulutku
masih tertutup rapat.
“Jangan-jangan sejak
awal berteman denganku, kamu sudah membenciku? Kamu pura-pura menjadi temanku
untuk memanfaatkanku. Atau karena ingin menusukku dari belakang?” Ingin sekali
aku teriak Bukan… kamu salah paham Nita! Tapi mulutku sudah terkunci rapat.
Nita masih terus
menyindirku. “Padahal selama ini aku menganggapmu sebagai teman berhargaku.
Tapi kamu menganggapku sebagai pengganggu.” Air mataku hampir menetes saat
mendengar perkatannya. Bukan… kamu salah paham Nita. Aku tak pernah
menganggapmu sebagai penggangu.
“Maaf karena selama
ini aku telah mengganggumu. Tapi sekarang kamu bisa tenang karena aku tak akan
mengganggumu lagi,” katanya dengan nada yang melembut. Aku masih menutup
mulutku tak menjawab ataupun membalas perkataannya.
“Selamat tinggal,
Ida,” kata Nita seraya melangkah pergi meninggalkanku.
Baru dua langkah yang
diambil Nita, aku bergumam, “Jangan…”
Nita yang mendengar
gumamanku menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku.
“Jangan seenaknya
memutuskan apa yang ada dipikiranku!” teriakku.
“Kamu tidak mengerti
apa-apa! Jadi jangan asal main tuduh!” lanjutku masih sambil teriak. Nita yang
tak terima dengan perkataanku membalas dengan suara tak kalah keras, “Jangan
asal tuduh gimana?! Bukannya sudah jelas kalau kamu membenciku?!”
“Jelas apanya! Kamu
ini bodoh sekali ya!” balasku.
“Aku memang bodoh!
Buktinya nilai tesku kemarin jelek semua!” balasnya dengan jawaban yang
sebetulnya di luar topik.
Aku menyeringai
mendengar jawabannya, dan membentaknya lagi, “Ternyata kamu menyadarinya juga
kalau kamu itu bodoh! Tapi kenapa kamu tak berusaha belajar!”
“Aku sudah belajar
sekeras yang kubisa! Tapi otakku memang sudah tumpul dari sananya, mau diapain
seperti apa juga tak akan berubah!”
“Kamu seharusnya tak
menyerah! Semua pasti ada jalannya!”
“Itu tak ada
hubungannya denganmu!” balasnya. Perkataan Nita seperti sebuah batu yang
dilempar ke arah kepalaku. Padahal hanya satu kalimat sederhana “Itu tak ada
hubungannya denganmu”. Tapi
ternyata rasanya sakit sekali saat mendengar kalimat itu dari orang yang selama
ini berusaha untuk kau lindungi. “Tentu saja ada… aku ini kan…” Kuhentikan
kata-kataku untuk beberapa detik, kemudian air mataku langsung jatuh saat aku
meneruskan perkataanku yang sempat terhenti tadi dengan nada lirih. “Temanmu…”
Nita merasa bersalah
saat dia melihatku menangis. “Ida…”
“Aku…hiks…
selalu…hiks… berusaha melindungimu…hiks.” Air mataku terus menerus jatuh tanpa
bisa kutahan.
“Apa maksudmu dengan
melindungiku?” Diamku membuat Nita berang. Dia memegang kedua lengan atasku
kuat-kuat sambil berkata dengan suara keras, “Aku tanya, apa maksudmu dengan
melindungiku!”
Kutepis kedua
tangannya yang memegangi lengan atasku, kemudian berjalan melewatinya. Baru
beberapa langkah yang kuambil, langkahku terhenti karena dihentikan oleh Nita
yang menggenggam tangan kananku.
“Lepaskan…”
perintahku.
“Tak akan kulepas
sebelum kamu menjelaskan maksudmu melindungiku,” kata Nita. Kugertakkan
gigiku kuat-kuat. Mencoba untuk menahan emosi agar tak meledak.
“Ida…” Panggilannya
dengan nada memohon berhasil membuatku meledak. “Aku tak mau kamu ketularan
penyakitku! Aku sudah terinfeksi HIV AIDS! Selama ini, aku berusaha menjauhimu
supaya kamu tak tertular. Supaya kamu juga tak terkena penyakit ini. Tapi
kenapa… kenapa kamu…”
Tiba-tiba Nita
memelukku. Suatu tindakan yang benar-benar mengejutkan. “Nita…”
“Syukurlah…
syukurlah…” kata Nita dengan nada lega sambil memelukku.
“Tunggu, maksudmu apa…”
Nita memotong perkataanku. “Syukurlah… kukira kamu membenciku. Ternyata cuma
HIV AIDS.”
“HIV AIDS kamu bilang
cuma…”
Nita melepas pelukannya.
Dia tersenyum kepadaku sambil berkata, “Tentu saja. Bagiku, dibenci olehmu
adalah persoalan yang sangaaat berat. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan
jika kamu membenciku.”
“Tapi… HIV itu…” Nita
mendekatkan jari telunjuknya kemulutku membuatku langsung terdiam.
“Kamu tak perlu
khawatir. Aku itu tipe orang yang tak gampang sakit. Jadi tak akan semudah itu
tertular penyakitmu,” kata Nita dengan senyum masih menghiasi wajahnya.
Mendengar perkataannya, melihat senyumannya. Tangisku pun pecah.
Setelah menghabiskan
beberapa menit dengan menangis, rasanya entah kenapa aku merasa sangat lega.
Kemudian kami pun memilih untuk duduk di bawah salah satu pohon yang terletak
di belakang gedung sekolah.
“Akhirnya semuanya
hanya salah paham belaka. Coba kamu mengatakannya sebelumnya. Aku tak akan
stress seperti ini.” Perkataan Nita membuatku penasaran. “Kamu… stress?”
“Tentu saja. Aku
stress memikirkan apa kesalahanku kepadamu sampai aku kesulitan untuk tidur.
Kamu harus bertanggung jawab,” jawab Nita sambil menyandarkan kepalanya ke
pundakku.
“Kamu mau apa?”
tanyaku melihat kelakuannya yang tak dapat kutebak.
“Sudah jelaskan,
kalau aku mau tidur. Bukannya tadi aku sudah bilang kalau aku sebulan ini aku
terus kesulitan tidur? Dan entah kenapa duduk disampingmu seperti ini membuatku
nyaman dan ngantuk.” katanya dengan mata mengantuk. Disusul dengan bunyi bel,
tanda pelajaran akan dimulai.
“Tapi bel pelajaran kan
sudah berbunyi,” kataku mengingatkan.
“Aku juga dengar.
Tapi, tak apa kan kalau sesekali membolos? Aku benar-benar mengantuk sekali.”
Setelah berkata begitu, Nita sudah tidur dengan pulasnya.
“Cepatnya…” kataku
dengan nada sepelan mungkin, tak ingin membangunkannya.
Angin sepoi-sepoi dan
rindangnya daun-daun yang menutupi cahaya matahari, membuatku ikut mengantuk.
“Semoga kita berdua dapat terus bersama seperti ini. Selamanya…” kataku sebelum
akhirnya ikut tertidur.
— THE END —
Namaku Ida. Aku
adalah siswi SMA yang sedang menikmati masa mudanya yang sedang mekar dengan
indahnya. Walau aku hanya hidup dengan ayahku, tapi aku sangat bersyukur karena
dapat bertemu dengan Nita. Satu-satunya temanku yang sangat kusayang. Semuanya
terasa indah. Benar, semuanya terasa indah, sebelum aku mengetahui yang
sebenarnya tentang diriku. Diriku yang ternyata mengidap penyakit HIV AIDS.
*****
Kuambil termometer
yang berada di dalam mulutku. Aku menghela napas panjang saat melihat angka
yang muncul di layar termometernya.
“Lagi-lagi badanku
panas,” komentarku.
Dengan langkah malas,
kulangkahkan kakiku menuju ke kotak obat yang terletak di bagian ruang makan.
“Kalau tak salah
masih ada...”
“Tak ada...” kataku
dengan nada kecewa, saat melihat bungkus kosong obat yang ada didalamnya.
“Terpaksa harus ke apotik deh.”
*****
Apotik Serba Ada,
itulah nama apotik yang kukunjungi. Apotik itu buka 24 jam dan letaknya tak
jauh dari rumah. Tapi kalau lagi malas, ya tetap saja malas walau jarak yang
harus ditempuh itu dekat.
Seorang laki-laki
muda muncul saat aku membuka pintu apotik. Dari penampilan dan guratan di
wajahnya, kelihatannya selisih umurnya tak jauh dari diriku. Dia tersenyum
manis kepadaku yang memandangnya dengan takut-takut. Bukan karena dia
menakutkan atau gimana, aku yang memang tak terbiasa berhadapan dengan orang
asing. Entah kenapa setiap berhadapan dengan orang asing aku merasa ketakutan.
“Selamat malam. Ada
yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada ramah.
Aku cuma mengangguk
tanpa menjawab pertanyaannya. Kemudian kumasukkan tangan kananku ke dalam tas
untuk mengambil bungkusan obatku. Tentu saja, supaya aku tak perlu menjelaskan
nama-nama obat yang susah itu. Laki-laki penjaga apotik itu mengawasiku sebelum
akhirnya dia berkata sesuatu yang mengejutkanku.
“Kamu… Ida kan?”
tanyanya.
Aku terkejut saat
mendengar namaku disebut oleh laki-laki itu. “Ma-maaf. Bagaimana mas bisa tahu nama
saya ya?” tanyaku balik.
“Ternyata beneran,
Ida. Ini aku, Gilang. Tetangga sebelahmu dulu. Apa kamu masih ingat?” katanya
dengan nada riang. Pertanyaanku dijawabnya dengan kalimat yang membuatku harus
mengolah otak untuk sementara waktu.
“Gilang?” Kucoba
mengingat orang yang ada dihadapanku ini dengan petunjuk "tetangga
sebelahku dulu". Butuh waktu beberapa menit untuk menemukan ingatan
tentang orang dihadapanku ini.
“Oh! Mas Gilang yang
autis itu?” tanyaku memastikan ingatan yang berhasil kutemukan di otakku.
Mas Gilang langsung menunjukkan
wajah tak senang saat mendengar perkataanku tersebut. “Siapa tadi yang kamu
sebut autis?”
Aku cuma bisa nyengir
kuda. “Habis mas itu kalau dipanggil nama sering nggak pernah ada reaksi.
Makanya banyak yang bilang kalau mas Gilang itu terkena autis,” jelasku panjang
lebar. Kemudian aku pun mengganti topik pembicaraan dengan bertanya,
“Ngomong-ngomong, mas kerja disini?”
“Begitulah.
Sebenarnya baru dua hari ini aku kerja disini,” jawabnya dengan nada ramah
seperti biasa. Lega deh rasanya.
“Kamu mau beli apa?”
tanyanya.
“Obat-obat ini mas,”
jawabku seraya mengeluarkan bungkus obat dari dalam tas. Mas Gilang menunjukkan
ekspresi terkejut saat melihat bungkus obat yang kutunjukkan padanya. “Ini
kan…”
*****
Pagi yang indah,
matahari bersinar dengan cerahnya, burung-burung berkicau dan angin sepoi-sepoi
bertiup. Atau… harusnya pagi ini akan menjadi pagi yang indah jika aku juga
ikut menikmatinya seperti yang biasa kulakukan. Sayangnya, aku tak bisa
melakukannya. Percakapanku dengan ayah setelah pulang dari apotik masih segar
dalam ingatanku.
“Ayah. Apa ayah
sibuk? Aku… Ada yang ingin kubicarakan dengan ayah,” kataku dengan ekspresi
serius pada ayah yang baru saja pulang dari kantor.
“Kenapa kamu formal sekali,
Ida. Rileks. Rileks. Santailah sedikit. Tenang saja, hari ini ayah punya banyak
waktu luang,” kata ayah santai seraya duduk di salah satu kursi yang ada di
sekitar meja makan.
“Lalu apa yang ingin
kamu bicarakan?” kata ayah dengan sikap yang masih santai.
“Ayah… Hm... Itu...
Mmm... A-apa aku terkena HIV AIDS?”
Ayah diam. Tak
menjawab pertanyaan yang kuajukan padanya. Tapi aku berhasil menangkap ekspresi
kaget yang muncul di wajahnya walau hanya beberapa deitk sebelum ayah kembali menjadi
dirinya yang seperti biasa, santai.
“Kamu itu blak-blakan
sekali, ya. Mirip sekali dengan ibumu,” katanya tanpa menjawab pertanyaanku
lagi. Jujur aku sebal mendengarnya. Hari ini sudah dua kali aku bertanya, tapi
pertanyaanku tak di jawab langsung.
Ayah menghela napas
panjang. “Padahal aku ingin menahannya lebih lama lagi. Tapi sepertinya kamu
sudah mengetahuinya. Jawabannya adalah iya,” katanya.
Kugebrak meja yang
ada dihadapanku dan berkata dengan suara yang tinggi, “Kenapa ayah tak segera memberitahuku!?”
Ayah sudah pasti
kaget dengan reaksiku itu. Tapi sepertinya dia memakluminya karena detik
berikutnya dia berkata, “Ayah berencana akan memberitahumu ketika kamu sudah
lulus SMA. Supaya kamu tak terlalu kaget. Apa boleh buat… ternyata kamu sudah
mengetahuinya terlebih dahulu.”
Sorot mata ayah
tiba-tiba menajam, nada suaranya berubah menjadi dingin saat dia bertanya,
“Lalu darimana kamu mengetahuinya?”
Jujur melihat ayah
berubah seperti itu aku jadi ketakutan. Baru kali ini aku melihat ayah dengan
sorot mata dan bertanya dengan nada seperti itu. “Mm... Itu... Tadi... Obatnya
habis. Jadi aku membelinya, karena suhu badanku tadi agak meninggi. Saat
itulah, apotekernya memberitahuku tentang obat-obat itu...” jawabku dengan
takut-takut. Sudah tak tersisa lagi diriku yang tegas sebelumnya.
“Ayah tak perlu
khawatir. Sekarang suhu badanku sudah kembali normal lagi, setelah minum obat.”
tambahku cepat-cepat.
“Jadi dari situ ya…”
kata ayah sambil menghembuskan napas panjang. Setelah itu suasana menjadi
hening. Kami terdiam untuk beberapa menit.
“Ibumu… meninggal
gara-gara penyakit itu. Sebulan setelah dia melahirkanmu. Kondisinya terus
memburuk selama dua hari dan akhirnya dia pun menghembuskan napas terakhirnya.
Setelah kepergiannya, ayah pun memeriksakan kesehatanmu. Apakah kamu punya
penyakit itu atau tidak. Sebetulnya ayah sudah menduga kamu mempunyainya karena
ayah dan ibumu sudah terinfeksi. Tapi sedikit berharap tak apakan? Sayangnya
harapan hanyalah harapan. Kamu juga sudah terinfeksi virus HIV AIDS. Setelah
itu, ayah pun memutuskan untuk tinggal dikota lain. Kota yang terletak di pulau
yang berbeda saat ibumu masih hidup,” jelasnya panjang lebar.
Kutatap langit biru
dengan tatapan menerawang. Masih tak percaya dengan cerita yang kudengar dari
ayah semalam. Masih belum dapat mengakui penyakit yang kuderita sejak aku masih
kecil.
Angin pagi yang
berhembus menggoyangkan dua kunciranku kekanan dan kekiri, sementara pikiranku
semakin tenggelam. Tenggelam terus ke kegelapan tanpa dasar. Saat sedang
tenggelam dalam pikiranku, aku mendengar suara yang sangat kukenal memanggil
namaku. Menarik diriku yang tenggelam ke permukaan. Aku pun membalikkan badanku
ke arah sumber suara.
Seorang gadis yang
usianya tak jauh dariku dengan rambut di ikat satu ke belakang muncul dengan
senyum menghiasi wajahnya, saat aku melihat ke arahnya. Namanya adalah Nita.
Satu-satunya temanku yang kusayang. Jika kau melihatnya pertama kali kesan cewek
model yang akan kau dapatkan. Nita mempunyai tinggi 178 cm dengan bodi ramping.
Kulitnya eksotis, sawo matang, dengan rambut hitam lurus sebahu yang dikuncir
ekor kuda.
Setiap kali dia
berjalan, perempuan, laki-laki, tua muda pasti memandangnya dan memuji
kecantikannya. Sudah pasti aku yang berjalan disebelahnya tak luput dari
sorotan dan penilaian. Jika melihat ekspresi mereka saat menatapku aku yakin
sekali mereka berkata jelek tentangku.
Rambutku memang lurus
sama seperti Nita, hanya saja warnanya coklat kusam. Sudah begitu, aku hanya
bisa menguncir dua rambutku. Badanku kecil dan pendek dengan kulit putih pucat
yang kelihatan sekali sering sakit. Jika aku mengatakan aku tak pernah iri
dengan Nita, kelihatan sekali bohongnya. Aku pernah ingin punya kulit seperti Nita,
badan setinggi Nita, dan rambut sehitam Nita. Cuma ingin saja sih, tak sampai
memakai sesuatu atau melakukan sesuatu agar keinginanku tercapai karena aku
terlalu malas melakukannya. Alhasil inilah aku. Saat aku berjalan disampingnya,
kelihatan sekali bedanya. Walau kami berdua memakai seragam putih abu-abu
dengan model yang sama.
Nita itu orang
terkuat yang pernah kukenal, bahkan lebih kuat dari ayahku. Bagaimana tidak?
Dia itu pernah mewakili negara Indonesia di olimpiade bidang bela diri. Terus, minggu
kemarin dia berhasil menghajar preman-preman kampung berbadan besar yang hendak
menggangguku dan masih banyak lagi.
“Oh, Nita. Selamat
pagi,” sapaku. Benar. Suara Nitalah yang berhasil menarikku ke permukaan.
Sehingga aku tak berhasil tenggelam jauh ke dalam kegelapan.
Wajahnya yang semula
bersinar penuh bahagia berubah saat melihat raut wajahku. “Kamu kenapa? Kok
murung? Sedang ada masalah ya?” tanyanya dengan raut wajah khawatir.
Kugelengkan kepalaku seraya berkata, “Nggak. Aku hanya sedikit tak enak badan
saja.”
“Sudah minum obat?”
Aku mengangguk. “Sudah. Tapi mungkin efeknya baru terasa nanti setelah sampai
di kelas.”
“O… gitu. Syukurlah…”
katanya dengan nada lega. Dalam hati aku merasa lega karena dia tak perlu mencemaskanku.
Rasanya sangat menyakitkan saat dia mengkhawatirkan kondisiku. Seperti sudah
melakukan kesalahan berat kepadanya. Kemudian, keheningan memeluk kami berdua
untuk beberapa menit sampai Nita membuka topik pembicaraan “Oh ya, tadi malam
ada…”
Dan aku memotong
pembicaraan itu dengan berkata, “Maaf, Nita. Ada yang harus kulakukan di kelas.
Jadi aku duluan.” Lalu berlari meninggalkannya yang kebingungan dengan
tingkahku yang tergesa-gesa. Nita memang berhasil menarikku ke permukaan, tapi
aku tak ingin Nita ikut tenggelam bersamaku. Lebih tepatnya aku tak ingin dia
ketularan penyakitku. Karena itulah, aku pun melepaskan genggaman tanganku dari
dirinya, supaya cuma aku saja yang tenggelam ke dalam kegelapan ini.
Setelah aku pergi
meninggalkannya, Nita berkata kepada dirinya sendiri, “Ada yang harus dilakukan
di kelas? Kan aku satu kelas dengannya juga, tapi kok aku tak tau ya?
Jangan-jangan hari ini piketnya Ida. Ah iya, pasti begitu. Pantas dia
tergesa-gesa begitu.” Dan akhirnya dia pun mendapat kesimpulan yang salah.
******
Selama istirahat,
Nita terus saja mengikuti sambil berusaha mengajakku ngobrol tanpa mempedulikan
diriku yang terus berusaha untuk menjauhinya. Saat kupelankan langkahku dia
ikut memelankan langkahnya. Saat kupercepat langkahku, dia juga mempercepat
langkahnya. Dia sama sekali tak mengatakan apapun tentang aku yang berusaha
menjauhinya. Mungkin dia tak menyadarinya. Mungkin dia mengira aku sedang
sibuk. Kalau begitu, aku harus mengatakannya dengan jelas kepadanya.
“Terus, ibuku…”
“Hei, Nita. Bisakah
kamu tak mendekatiku?” potongku, karena sudah tak tahu harus gimana lagi agar
dia menjauhiku. Nita diam sesaat.
“Kenapa?” tanyanya
kemudian. Aku memilih untuk pergi meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab
pertanyaannya. Sebaliknya, nita mengikutiku di belakang sambil memanggil-manggil
namaku. “Hoi, Ida! Ida! Hoi, Ida!”
Kuabaikan dirinya yang
terus memanggil namaku. Tak perlu waktu lama, dia pun terbakar emosinya. “Ida…”
PLAK! Kutepis tangannya yang memegang bahuku dengan keras. Ekspresi terkejut
terlihat jelas diwajahnya. Sebetulnya aku juga kaget dengan apa yang kulakukan
dan ingin segera minta maaf. Tapi, kuurungkan niat itu dan memilih untuk memunggunginya.
“Jangan dekati aku
lagi,” kataku, kemudian pergi meninggalkannya begitu saja.
Angin berhembus
dengan agak kencang. Nita hanya memegang tangannya yang telah kutepis untuk
beberapa menit sebelum akhirnya mulai berjalan ke kelas.
*****
Sejak kejadian itu,
Nita pun mulai tak mendekatiku lagi. Saat berangkat, saat di kelas, dan juga
saat pulang sekolah. Kami tak lagi berdekatan seperti sebelumnya. Tak ada
sapaan, saling tukar senyum, atau tertawa bersama lagi. Semuanya telah menjadi
kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan.
“Aku tak boleh
menangis. Aku harus kuat. Demi dirinya…” kataku pada diriku sendiri.
Dan, hal yang tak pernah kuduga terjadi padaku. Aku jatuh pingsan saat hendak
menuju ke perpustakaan. Saat kubuka ke dua mataku, yang ada dihadapanku adalah
Nita yang wajahnya pucat, pakaiannya lusuh, dan ekspresi khawatir yang terlihat
jelas di wajahnya.
“Kamu tak apa?”
tanyanya dengan nada cemas yang terdengar jelas sekali.
Kuubah posisiku yang
semula berbaring menjadi duduk dengan gerakan perlahan. Kutatap kedua matanya,
lalu berkata dengan nada dingin, “Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan
dekati aku.”
Nita kaget mendengar
perkataanku itu. “Ha? Maksudmu a…”
Kupotong perkataannya
dengan nada menyindir, “Kamu tuli ya? Kan sudah kukatakan jangan dekati aku.
Atau jangan-jangan kamu tak mengerti bahasa Indonesia ya?”
Hening sesaat.
“Maafkan aku,” kata
Nita seraya meninggalkan ruang UKS dengan ekspresi sedih yang tertahan.
Saat langkah kaki
Nita sudah tak terdengar lagi, bu Wina, orang yang bekerja di UKS berkata dari
balik tirai putih yang memisahkan tempat aku tidur dengan sisi ruang UKS
lainnya, “Dia datang kesini dengan keringat membasahi bajunya, wajah yang
pucat, dan raut wajah yang mencemaskan sesuatu loh. Lalu dia terus menemanimu
dengan duduk di sebelahmu sampai kamu membuka mata. Apa kamu tak terlalu kasar padanya
tadi?”
“Itu bukan urusan
anda,” jawabku pendek.
“Galaknya,”
sindirnya.
“Tanggung jawab guru
adalah menjaga muridnya ketika disekolah. Karena itu, guru juga punya hak untuk
memberikan saran agar murid-muridnya tak berjalan ke arah yang salah,”
tambahnya.
“Tapi itu bukan
berarti seorang guru mempunyai hak untuk ikut campur urusan pribadi muridnya,”
bantahku dengan nada datar.
“Begitukah? Tapi…
jangan lupa kalau aku ini sahabat ibumu.”
Bu Wina masih tak mau
kalah. Begitu juga dengan diriku. “Lalu, aku harus bereaksi seperti apa, bu
guru? Anda sahabat ibu saya, bukan sahabat saya. Selain itu, ibu saya sudah
meninggal lama sekali. Atau…”
Aku sengaja
menghentikan perkataanku supaya menarik rasa penasaran bu Wina. Dan berhasil.
“Atau?” tanyanya dengan nada penasaran yang terdengar dengan sangat jelas.
“Atau jangan-jangan
ibu punya niat untuk memberitahukan semua orang disekolah ini tentang penyakit
saya?” Bu Wina diam tak menjawab atau membalas.
“Karena ibu adalah
sahabat ibu saya, saya yakin ibu pasti tahu penyakit apa yang membuat ibu saya
meninggal. Ditambah lagi anda adalah guru UKS di sekolah ini. Jadi anda juga
pasti tahu penyakit apa yang diderita oleh saya. Jika ibu ingin memberitahukan
kepada semuanya, saya tidak akan menahannya,” tambahku tentu saja dengan nada
menyindir yang bisa membuat orang terbakar amarahnya.
Sayangnya, bukan kata-kata
penuh emosi yang kudengar darinya, melainkan tawa yang sangat keras. “Hahaha.
Tenang saja. Aku tidak sekejam itu. Aku hanya ingin mengatakan bersikaplah
untuk lebih jujur dengan orang yang dekat denganmu. Ingat! Kamu hidup di dunia
ini tidak sendirian. Jika kamu merasa kesepian kamu bisa berbincang-bincang
denganku disini. Lumayan untuk menghabiskan waktu luangku selama masih dapat
bernapas.”
Setelah itu,
terdengar suara kursi yang digeser dari balik tirai. “Tolong jaga UKS ya,” kata
bu Wina sebelum pergi meninggalkanku yang sibuk mencerna perkataannya.
Sendirian.
*****
Jam dinding yang
menggantung di kelas masih menunjukkan jam 6.00 dan aku sudah berada di kelas
sendirian. Ini semua gara-gara ayahku yang mengajak berangkat bersamanya. Jika
saja tadi aku menolaknya, pasti aku tak perlu menghabiskan waktuku di kelas ini
sendirian.
Walaupun biasanya aku
tetap memilih sendirian ketika ada siswa yang lainnya, tapi tetap saja rasa
sepinya berbeda.
“Kelasnya jadi terasa
sangat sunyi dan sepi.”
Aku menghela napas
panjang.
“Terlalu lama untuk
menunggu jam pertama. Ini semua gara-gara ayah, kalau saja tadi dia tak
mengajakku berangkat bersamanya,” gerutuku.
Karena bosan, kuambil
sebuah novel dari dalam tasku. Saat hendak membacanya, aku melihat Nita yang
berdiri di pintu kelas dengan wajah terkejut. Begitu juga dirinya yang
memandangku dengan wajah terkejut. Detik berikutnya, aku memfokuskan diriku ke
buku yang ada dihadapanku. Pura-pura tak menyadari keberadaannya. Begitu juga dengan
Nita, yang berjalan ke arah tempat duduknya yang letaknya berada di baris
diagonal kanan dari tempat dudukku. Hening sesaat sebelum akhirnya, Nita
mendekati tempat dudukku dan menggebrak mejaku dengan kedua tangannya. BRAK!
Aku berkata dengan
nada dingin, “Harus berapa kali kukatakan jangan…”
Perkataanku dipotong
oleh Nita sebelum aku sempat menyelesaikannya. “Dekati aku lagi? Aku sudah
hapal dengan hal itu. Hanya saja, aku sudah tak tahan lagi,” katanya dengan
nada dingin seraya menatap langsung ke dua mataku. Kemudian dia menggenggam
tanganku dan memerintahku untuk mengikutinya. “Ikut aku!”
Tentu saja aku tak
menuruti perkataannya. “Lepaskan tanganku!” seruku sambil berusaha melepaskan
genggamannya. Nita diam saja tak menggubris perintahku. Hanya saja, genggaman
tangannya semakin mengencang, dan menyakiti pergelangan tanganku.
“Sakit! Lepas…” Aku
mencoba meronta, melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku. Tapi,
genggamannya terlalu kuat.
“Tak akan kulepas,
sampai kamu menuruti perintahku. Ikuti aku atau kupatahkan tanganmu,” katanya
dengan nada datar seraya menatapku dengan tatapan tajam. Kutatap balik dengan
tatapan tak kalah tajamnya. Kemudian menyerah karena semakin aku meronta
semakin kuat genggamannya. Selain itu, aku juga tak ingin tanganku dipatahkan
olehnya. Bagi Nita pasti bukan hal yang sulit untuk mematahkan tanganku.
“Baiklah. Aku akan
mengikutimu,” jawabku.
Nita tak menjawab
apa-apa. Dia hanya diam saja sambil melepaskan genggamannya dari pergelangan
tanganku. Kupegang pergelangan tanganku yang memerah, bekas digenggam oleh Nita
tadi. Rasanya masih sakit tapi aku mencoba menunjukkan wajah datar. Nita masih
tetap memandangku, kelihatannya dia menungguku untuk bergerak. Karena itulah,
kucoba melangkahkan kakiku mendekatinya. Ternyata dugaanku benar, Nita
melangkah keluar kelas saat aku mendekatinya.
“Kita mau kemana?”
tanyaku saat kita berdua melewati ruang guru.
“Diam dan ikuti saja!”
perintahnya. Aku pun menurut. Saat aku mengikutinya, aku merasa, sudah lama
sekali tak melihat punggung Nita dari belakang sedekat ini. Tentu saja. Sudah
sebulan aku menjauhinya, begitu pun dengan dirinya yang menjauhiku karena menuruti
perintahku. Semuanya kulakukan supaya Nita tak tertular HIV AIDS. Penyakit
menular yang kuderita saat ini.
Setelah berjalan
beberapa menit akhirnya, Nita menghentikan langkahnya di belakang gedung
sekolah. Nita balikkan badannya ke arahku, dan berkata, “Ada yang ingin
kubicarakan denganmu.”
“Disini?” tanyaku dan
mendapat anggukan kepala dari dirinya.
“Ada yang ingin
kutanyakan padamu disini. Ida… Apa kamu membenciku?” Aku terkejut mendengar
pertanyaannya. “Pertanyaan apa itu...”
“Jawab saja, iya atau
tidak,” potong Nita dengan suara yang agak meninggi. Aku ketakutan saat
mendengar bentakannya itu.
“Aku… aku tak
membencimu,” jawabku dengan mengalihkan pandanganku ke arah lain. Berusaha
menyembunyikan rasa takutku.
“Jika kau tak membenciku,
kenapa kau menyuruhku menjauhimu? Dan juga, kenapa kau mengatakan aku tak
membencimu sambil memandang ke arah lain? Apa kau membohongiku?” Aku diam, tak
menjawab pertanyaannya.
“Ternyata begitu ya… Padahal
kamu bilang, kamu tak membenciku? Kukira, kamu berbeda dengan yang lainnya.
Ternyata kamu sama saja dengan mereka. Munafik!” serunya.
Kata munafik yang
terlontar dari mulutnya bagai anak panah yang menusuk tepat di jantungku.
Sangat sakit sekali. Aku memang membohonginya dengan menyuruhnya menjauhiku
sambil memasang wajah dingin. Semua itu kulakukan untuk melindunginya. Aku
berusaha agar tak menangis, karena ini semua demi dirinya. Demi orang yang
berada dihadapanku, supaya dia tak mengalami hal yang sama denganku. Tapi saat
orang yang kamu lindungi mengatakan hal yang sudah kamu lakukan dengan bersusah
payah dengan nada mengejek dan meremehkan. Emosiku langsung naik.
Kukepalkan tanganku
erat-erat sambil menggeram, “Kamu… tak tahu apa-apa.” Kugertakkan kuat-kuat
gigiku, menahan amarah yang akan meledak.
“Ha? Kamu bilang
apa?”
“Orang yang tak tahu
apa-apa, sebaiknya diam saja!” bentakku dengan nada yang sangat jelas seraya
menatap matanya dengan tajam.
Benar. Orang yang tak
tahu apa-apa sebaiknya diam saja… “Selamanya…”
Sepertinya perkataanku berhasil membuat Nita marah. Buktinya dia menarik
kerahku ke arahnya. Namun itu hanya bertahan beberapa detik saja. Setelah itu,
dia melepaskannya.
Dia kepalkan tangan
kanannya, kemudian meninju tembok yang berada di sisi kirinya dengan satu kali
tinju yang sangat keras. Mengerahkan semua amarahnya ke tembok yang tak
bersalah itu. Setelah meninju tembok itu, dia berkata dengan nada tenang, “Hei,
Ida. Akan kutanya sekali lagi. Apa kamu ingin aku menjauhimu?”
“Iya,” jawabku cepat
dan tanpa ragu.
“Kenapa?”
“Itu bukan…” Sebelum
aku sempat menyelesaikan perkataanku, Nita memotongnya dengan suara yang agak
keras, “Itu sudah menjadi urusanku!”
“Tapi… itu akan berubah
menjadi bukan urusanku lagi, tergantung jawaban-jawaban yang kamu berikan,”
tambahnya dengan nada suara yang tenang.
“Katakan alasannya,
kenapa aku harus menjauhimu?” tanyanya. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku ke
bawah, memilih diam tak menjawab.
“Apa karena kamu
membenciku?” Aku tetap diam tak menjawab, tapi kedua tanganku terkepal.
“Ho… Jadi karena kamu
membenciku ya… sejak kapan?” Sementara kepalan tanganku semakin kuat, mulutku
masih tertutup rapat.
“Jangan-jangan sejak
awal berteman denganku, kamu sudah membenciku? Kamu pura-pura menjadi temanku
untuk memanfaatkanku. Atau karena ingin menusukku dari belakang?” Ingin sekali
aku teriak Bukan… kamu salah paham Nita! Tapi mulutku sudah terkunci rapat.
Nita masih terus
menyindirku. “Padahal selama ini aku menganggapmu sebagai teman berhargaku.
Tapi kamu menganggapku sebagai pengganggu.” Air mataku hampir menetes saat
mendengar perkatannya. Bukan… kamu salah paham Nita. Aku tak pernah
menganggapmu sebagai penggangu.
“Maaf karena selama
ini aku telah mengganggumu. Tapi sekarang kamu bisa tenang karena aku tak akan
mengganggumu lagi,” katanya dengan nada yang melembut. Aku masih menutup
mulutku tak menjawab ataupun membalas perkataannya.
“Selamat tinggal,
Ida,” kata Nita seraya melangkah pergi meninggalkanku.
Baru dua langkah yang
diambil Nita, aku bergumam, “Jangan…”
Nita yang mendengar
gumamanku menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku.
“Jangan seenaknya
memutuskan apa yang ada dipikiranku!” teriakku.
“Kamu tidak mengerti
apa-apa! Jadi jangan asal main tuduh!” lanjutku masih sambil teriak. Nita yang
tak terima dengan perkataanku membalas dengan suara tak kalah keras, “Jangan
asal tuduh gimana?! Bukannya sudah jelas kalau kamu membenciku?!”
“Jelas apanya! Kamu
ini bodoh sekali ya!” balasku.
“Aku memang bodoh!
Buktinya nilai tesku kemarin jelek semua!” balasnya dengan jawaban yang
sebetulnya di luar topik.
Aku menyeringai
mendengar jawabannya, dan membentaknya lagi, “Ternyata kamu menyadarinya juga
kalau kamu itu bodoh! Tapi kenapa kamu tak berusaha belajar!”
“Aku sudah belajar
sekeras yang kubisa! Tapi otakku memang sudah tumpul dari sananya, mau diapain
seperti apa juga tak akan berubah!”
“Kamu seharusnya tak
menyerah! Semua pasti ada jalannya!”
“Itu tak ada
hubungannya denganmu!” balasnya. Perkataan Nita seperti sebuah batu yang
dilempar ke arah kepalaku. Padahal hanya satu kalimat sederhana “Itu tak ada
hubungannya denganmu”. Tapi
ternyata rasanya sakit sekali saat mendengar kalimat itu dari orang yang selama
ini berusaha untuk kau lindungi. “Tentu saja ada… aku ini kan…” Kuhentikan
kata-kataku untuk beberapa detik, kemudian air mataku langsung jatuh saat aku
meneruskan perkataanku yang sempat terhenti tadi dengan nada lirih. “Temanmu…”
Nita merasa bersalah
saat dia melihatku menangis. “Ida…”
“Aku…hiks…
selalu…hiks… berusaha melindungimu…hiks.” Air mataku terus menerus jatuh tanpa
bisa kutahan.
“Apa maksudmu dengan
melindungiku?” Diamku membuat Nita berang. Dia memegang kedua lengan atasku
kuat-kuat sambil berkata dengan suara keras, “Aku tanya, apa maksudmu dengan
melindungiku!”
Kutepis kedua
tangannya yang memegangi lengan atasku, kemudian berjalan melewatinya. Baru
beberapa langkah yang kuambil, langkahku terhenti karena dihentikan oleh Nita
yang menggenggam tangan kananku.
“Lepaskan…”
perintahku.
“Tak akan kulepas
sebelum kamu menjelaskan maksudmu melindungiku,” kata Nita. Kugertakkan
gigiku kuat-kuat. Mencoba untuk menahan emosi agar tak meledak.
“Ida…” Panggilannya
dengan nada memohon berhasil membuatku meledak. “Aku tak mau kamu ketularan
penyakitku! Aku sudah terinfeksi HIV AIDS! Selama ini, aku berusaha menjauhimu
supaya kamu tak tertular. Supaya kamu juga tak terkena penyakit ini. Tapi
kenapa… kenapa kamu…”
Tiba-tiba Nita
memelukku. Suatu tindakan yang benar-benar mengejutkan. “Nita…”
“Syukurlah…
syukurlah…” kata Nita dengan nada lega sambil memelukku.
“Tunggu, maksudmu apa…”
Nita memotong perkataanku. “Syukurlah… kukira kamu membenciku. Ternyata cuma
HIV AIDS.”
“HIV AIDS kamu bilang
cuma…”
Nita melepas pelukannya.
Dia tersenyum kepadaku sambil berkata, “Tentu saja. Bagiku, dibenci olehmu
adalah persoalan yang sangaaat berat. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan
jika kamu membenciku.”
“Tapi… HIV itu…” Nita
mendekatkan jari telunjuknya kemulutku membuatku langsung terdiam.
“Kamu tak perlu
khawatir. Aku itu tipe orang yang tak gampang sakit. Jadi tak akan semudah itu
tertular penyakitmu,” kata Nita dengan senyum masih menghiasi wajahnya.
Mendengar perkataannya, melihat senyumannya. Tangisku pun pecah.
Setelah menghabiskan
beberapa menit dengan menangis, rasanya entah kenapa aku merasa sangat lega.
Kemudian kami pun memilih untuk duduk di bawah salah satu pohon yang terletak
di belakang gedung sekolah.
“Akhirnya semuanya
hanya salah paham belaka. Coba kamu mengatakannya sebelumnya. Aku tak akan
stress seperti ini.” Perkataan Nita membuatku penasaran. “Kamu… stress?”
“Tentu saja. Aku
stress memikirkan apa kesalahanku kepadamu sampai aku kesulitan untuk tidur.
Kamu harus bertanggung jawab,” jawab Nita sambil menyandarkan kepalanya ke
pundakku.
“Kamu mau apa?”
tanyaku melihat kelakuannya yang tak dapat kutebak.
“Sudah jelaskan,
kalau aku mau tidur. Bukannya tadi aku sudah bilang kalau aku sebulan ini aku
terus kesulitan tidur? Dan entah kenapa duduk disampingmu seperti ini membuatku
nyaman dan ngantuk.” katanya dengan mata mengantuk. Disusul dengan bunyi bel,
tanda pelajaran akan dimulai.
“Tapi bel pelajaran kan
sudah berbunyi,” kataku mengingatkan.
“Aku juga dengar.
Tapi, tak apa kan kalau sesekali membolos? Aku benar-benar mengantuk sekali.”
Setelah berkata begitu, Nita sudah tidur dengan pulasnya.
“Cepatnya…” kataku
dengan nada sepelan mungkin, tak ingin membangunkannya.
Angin sepoi-sepoi dan
rindangnya daun-daun yang menutupi cahaya matahari, membuatku ikut mengantuk.
“Semoga kita berdua dapat terus bersama seperti ini. Selamanya…” kataku sebelum
akhirnya ikut tertidur.
— THE END —
Tidak ada komentar:
Posting Komentar